Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memaknai Sebuah Peristiwa Dukacita

20 Juli 2021   07:11 Diperbarui: 20 Juli 2021   07:22 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Joko Dwiatmoko

Kesedihan boleh jadi sedang dialami banyak orang. Yang tidak di duga datang tiba, berita sedih tentang kematian, tentang kehilangan orang- orang tercinta, tentang kenangan yang muncul saat orang yang dicintai, segala ingatan memori membandang dari kebaikan - orang orang yang meninggal. Itu terjadi pada kita, anda, mereka, teman- teman yang ditinggal selama- lamanya oleh pasangan, anak, kerabat dekat, sahabat karib.

Tetapi peristiwa kehilangan akan selalu menjadi milik manusia karena kehidupan di dunia tidak akan abadi. Selalu saja muncul peristiwa kelahiran, kebahagiaan, kesedihan, kesukacitaan, keberuntungan, dan diakhiri dengan kematian. Itu siklus manusia. Ada natalitas ada mortalitas. Tetapi baru- baru ini ini ada banyak kesedihan datang, ada banyak kematian membandang, bahkan seperti berondongan peluru. Tiba tiba dua tahun belakangan makam di mana- mana penuh.

Air mata yang belum kering, menetes lagi sampai banyak yang kehabisan air mata kecuali dan hanya tepekur sedih memandang cakrawala dan berharap peristiwa tragis cepat berlalu. Ternyata itulah yang terjadi pada manusia, tidak berdaya ketika sudah dihadapkan pada kuasa -- Nya. Siapapun mau kaya, miskin, pejabat, artis,pengusaha, konglomerat tidak berdaya menghadapi terjangan wabah dua tahun belakangan ini. 

Bumi banjir air mata, demikian penuh dengan peristiwa yang menyedihkan seperti menggulung hasrat manusia akhir- akhir ini yang begitu penuh nafsu menguasai alam semesta. Arogansi, sopan santun, hasrat memaki- maki di media sosial, senang bila orang lain jatuh terjerembab, mengambil yang bukan haknya, banyak manusia yang ingin menguasai dunia dengan cara tidak wajar.

Wajar saja seperti ada peristiwa yang tidak pernah diharap manusia, wabah yang demikian mengubah wajah bumi, peristiwa yang membuat manusia tertunduk, meskipun ada banyak manusia yang dengan sombongnya tidak pernah mengakui bahwa wabah itu sebuah peringatan pada manusia. Mereka seperti menantang, seperti mencoba melawan takdir, melawan kenyataan.

Banyak manusia tidak patuh, ngeyel meskipun suatu saat ia seperti tertampar ketika tidak berdaya merasakan terjangan penyakit yang ia tantangnya. Sebelumnya ia seperti menjadi wakil dari penguasa alam, mengkotbahi banyak orang, memprovokasi pengikutnya untuk tidak mempercayai peristiwa hingga ia lebih dahulu dijemput maut karena sesuatu yang tidak dipercayainya. 

Demikian akhir -- akhir ini seperti banyak nabi palsu, yang mendaku sebagai wakil Tuhan, yang menggebu memberi khotbah membara, tetapi dengan niat jaya bagi ia dan pengikutnya tapi melenyapkan saudara lain yang kebetulan tidak seiman dan sepaham.

Ada banyak orang yang ingin berbicara atas nama religius, bukan wujud transendensi spiritualitas bermakna kasih sayang, dan cinta kasih sesama manusia, tetapi arogansi kelompok yang membenci kelompok lain dan hanya menganggap dirinya dan keyakinannya lah yang paling benar. Yang tidak sejalan boleh dilenyapkan atas nama kepercayaan berdasarkan tafsiran sendiri.

Muncul terorisme, muncul ketidak nyamanan dan ancaman pembunuhan atas nama spiritualitas. Datang dari agama yang katanya menawarkan bahasa kasih, ajaran cinta kasih dan sujud runduk pada Yang Maha Pencipta. Tetapi mengapa dengan agama manusia saling serang, saling bunuh, saling tikam. Bagaimana manusia memaknai cinta kasihnya. Apakah hanya sebatas bibir, tanpa melibatkan hati nurani ?

Manusia ternyata menyimpan jutaan misteri. Banyak hal yang tidak terselami, banyak gelombang negatif, tidak sedikit pengaruh positif mewarnai bumi alam semesta. Namun akhir - akhir ini rasanya kecepatan komunikasi, kemajuan teknologi, modernitas telah mengubah wajah bumi. Pelan- pelan bumi memanas, air di sudut bumi baik di antartika maupun di dekat Australia semakin mencair. 

Efek rumah kaca, banyaknya hutan yang berganti wajah menjadi pemukiman, pabrik dan kota, telah membuat bumi semakin tidak sehat, oksigen menipis, sementara penyakit semakin beragam.

Yang dulunya hidup dalam aturan tata krama, teratur dan saling respek dan suasana gotong royong yang kental, lebih sibuk pada benda baru. Di situ mereka saling memaki, saling mencaci, riuh seperti ada sekat- sekat yang membuat manusia satu dengan yang lainnya saling curiga mencurigai.

Duka cita adalah sebuah peristiwa biasa sebetulnya, namun menjadi lebih dramatis karena banyak kabar akibat sebuah peristiwa besar yang sampai saat ini belum bisa diatasi dengan tuntas, sampai kapan manusia tidak tahu. Hanya menjalani kehidupan dalam suasana penuh ketidakpastian. Semoga badai cepat berlalu, manusia kembali beraktivitas tanpa ancaman dan manusia kembali ke jati dirinya sebagai manusia homo socius, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Sebuah relasi sosial yang didasari rasa saling membutuhkan.

Mari berdoa agar manusia semakin mengerti dalam kelemahan manusia peristiwa duka cita adalah siklus dan peristiwa wajar sebagai sebuah permenungan agar manusia selalu menanamkan kebaikan sebelum dijemput maut. Itulah sebuah refleksi dari penulis, semoga pembaca bisa saling introspeksi. Mari berdoa bersama agar covid segera berlalu. Salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun