Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Balada Sinetron Antara Benci dan Rindu

11 Juni 2021   15:19 Diperbarui: 11 Juni 2021   15:45 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: via popmama.com

Sebetulnya saya sudah bosan melihat konflik yang terjadi di sinetron. Ceritanya bagus hanya pada intronya, pada episode-episode awal. Logikanya masih bisa dicerna dan masuk akal, namun semakin lama konflik yang dibangun mulai mengikuti arus pasar, kesan dramatisnya semakin liar tapi alur ceritanya semakin ngawur.

Cerita Asal Dramatis dengan Logika Kacau

Melihat plotnya, penokohannya serta setting ceritanya kadang tidak nyambung, cenderung mengikuti arus pasar yang mendasarkan keseruan berdasarkan rating dari penilaian survey entah dari mana. 

Sebetulnya saya bisa menebak pemain sebetulnya sudah bosan, sudah mulai jenuh tetapi permintaan produser, juga rating iklan masih tinggi maka ada semacam pemaksaan untuk mengimprovisasi cerita dengan menambah tokoh yang masuk sehingga konflik tetap terjaga tapi alur cerita sudah jauh dari naskah/ novel/ script awal karena muncul improvisasi, tergantung permintaan pemirsa, atau supaya serialnya tetap tersambung sampai beratus - ratus episode bahkan sampai ribuan.

Kadang malah tokoh utamanya silih berganti, dan ketika ada bintang yang terlibat kasus narkoba, ceritanya langsung direkayasa pemainnya pergi keluar kota atau ada sebuah tragedi yang menyebabkan pemain hilang entah dengan kecelakaan, kuliah ke luar negeri atau mati secara tidak wajar.

Itulah sinetron yang bersifat kejar tayang kadang digarap dengan terburu- buru, tanpa memikirkan alur ceritanya logis atau tidak. Namun semakin kesal, benci dan bosan selalu ada kerinduan untuk menyaksikannya karena tidak banyak tontonan menarik di jam primetime yang menarik.

Mengejar Rating mengesampingkan Kualitas

Sinetron yang hadir di televisi besar semacam RCTI dan SCTV itu yang selalu berkejaran dalam hal rating, semakin rating tinggi maka semakin banyak kue iklan yang mampir, dengan demikian semakin banyak pendapatan dari acara andalah  yaitu sinetron.

Pemain utamanya pun semakin tajir melintir karena bermain dengan jumlah episode lebih dari 100 dan tentu pundi- pundi mengalir di setiap episode. Bintang semacam Arya Saloka,  Amanda Manopo, Cinta Brian, Antonio Blanco Jr, Stevan William, Verrel Bramasta, Michelle Ziudith, Ranty Maria, Hako van Der Veken. Rangga Azof,  dan lain -- lain pun semakin kaya raya dengan bayaran per episode.

Kalau melihat dan mengikuti ceritanya, kadang ingin tertawa sendiri melihat logika cerita yang seringkali ngawur, ada kesengajaan untuk mengulur- ulur cerita, membuat yang seharusnya terbongkar namun dibuat panjang agar tidak segera terbongkar kejahatan dari si antagonis, terkadang kasihan melihat tokoh utamanya yang perannya terlalu baik, selalu dibuli, selalu mendapat tekanan dan sasaran fitnah, serta menjadi obyek penderita terus menerus.

Yang jahat selalu pintar mencari kesalahan pemain protagonisnya dan pemain protagonisnya baiknya kebangetan. Apakah memang disengaja oleh penulis skenario seperti misalnya di SCTV  penulis novel Lupus, Hilman Hariwijaya tampaknya tidak bisa idealis, ia akan mengikuti apa kata produser dan permintaan pasar, serta selera penonton.

Tontonan berkualitas dan mencerdaskan saat ini kalah dengan tuntutan rating yang berorientasi pada pendapatan iklan dan tuntutan masyarakat yang menginginkan drama mencekam, yang mengaduk -- aduk emosi. Bukan lagi alur cerita mencerdaskan, penuh edukasi dan tuntunan.

Kadang pula nilai -- nilai agama terlalu dipaksakan diselib diselingi dengan cerita- cerita bombastis yang malah mengajarkan manusia permisif pada perselingkuhan, maraknya mafia dan trik -- trik kejahatan yang terpampang dan menjadi tontonan gratis anak kecil dan ABG. Mereka (anak kecil dan abg) sering menerima cerita- cerita visual tentang kekerasan, kejahatan seksual dan drama- drama rumah tangga yang otomotis mempengaruhi psikologi mereka.

Panjangnya durasi dan tontonan kejar tayang membuat minat belajar menjadi rendah. Namun disamping banyak kekurangan pada sinetron di televisi nasional selalu saja ada kerinduan untuk menonton. 

Meskipun di depan televisi selalu mulut pemirsa tampak senewen dengan adegan yang kurang logis dan aneh, emosi terhadap tokoh utamanya yang sering digambarkan gampang ditipu karena sosoknya yang terlalu baik, pemaaf, sehingga sering dimanfaatkan oleh tokoh antagonis yang culas dan malah sering beruntung selalu bisa membuli tokoh utamanya.

Sampai ke mana munculnya kualitas dari sinetron nasional. Terasa dilematis karena sebagian besar penonton punya kecenderungan menonton sebagai sarana hiburan, tidak peduli tontonan mendidik atau atau sekedar bombastis. Mereka asyik nonton sambil ditemani camilan juga WA grup untuk membicarakan adegan - adegan sinetron.

Kritikan Sepintas Lalu

Kalau yang mengkritik dan memberi masukan hanya segelintir mana manjur. Memang benar kenyataan kalau dikatakan Menonton Sinetron itu antara benci dan rindu. Benci oleh cerita yang berlarut- larut tidak selesai- selesai... kangen dengan wajah- wajah cantik dan ganteng. Benci oleh logika yang sering tidak masuk akal, kangen oleh lanjutan cerita saat nasib tokohnya berada dalam tekanan dan butuh jawaban apa yang terjadi selanjutnya. Nah bingung khan. 

Kalau tidak ingin emosional ya tidak usah menonton televisi, cari saja kesibukan yang lain menulis contohnya. Dengan menulis manusia menjadi cerdas karena selalu mengolah rasa dan pikirnya. Apalagi tulisan bisa dibukukan dan disimpan di blog atau dikirimkan ke media sosial dan media mainstream. Pasti sejarah akan mencatat jejak pikiran penulis. Kalau sibuk menonton sinetron kejar tayang kapan produktif berkreasi? Salam Literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun