Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jakarta, Ambisi, Mafia dan Kemacetan

4 April 2021   18:22 Diperbarui: 4 April 2021   18:28 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Problema Kota Besar adalah Kemacetan, juga mafia tanah

Di tahun ini 2021 saya dan keluarga memutuskan pindah dari Jakarta. Untuk alasan spesifik biar kami sendiri yang tahu, namun secara umum pengin merasakan kehidupan lebih tenang di luar Jakarta, meskipun resikonya jatah transportasi bertambah.

Pengin merasakan ketenangan yang sebenarnya dari apa yang dinamakan rumah kluster dengan jaminan keamanan. Di Jakarta, meskipun hidup dan tinggal di rumah yang berlabel kluster, namun hidup di tengah perkampungan membuat apa yang dinamakan kluster menjadi tidak berarti. Sebab setiap hari anak - anak masih dengan bebas main layang - layang, menyisakan sampah benang yang setiap hari selalu saja bikin repot, terutama yang punya kendaraan roda. Benang membelit perputaran roda membuat masalah pada perputaran roda dan harus pergi ke bengkel untuk memperbaikinya.

Sebagai warga Jakarta sejak 2001 dan sekarang sudah tahun 2021 asam garam Jakarta sudah pernah dirasakan, terendam banjir sampai melihat betapa seramnya aksi kriminal  jaringan mafia pencurian motor di dor di depan mata dan terjadi kejar- kejaran antara mereka, menyaksikan penggerebekan pengedar narkoba, melihat anak - anak mojok dan asyik dengan gawai di gang- gang tikus sekitar perkampungan, tawuran masal, beringasnya pelajar di jalanan sampai membuat pengendara was -- was, karena mereka membawa batu dan berbagai senjata.

Kalau menjadi warga Jakarta harus mempunyai ambisi kuat untuk bertahan dan bersaing. Banyak orang berkompetisi untuk bisa hidup di tengah ganasnya ibu kota ( kata orang yang pernah merasakan betapa susahnya hidup di Jakarta tanpa ketrampilan menunjang ). 

Di sisi lain hati - hati dengan orang berpenampilan rapi jali, seperti tampak terpelajar namun ujung- ujungnya ia adalah orang mafia, entah mafia tanah, mafia tenaga kerja dan berbagai rayuan mulut manis lainnya yang ujung- ujungnya duit. Mereka menawarkan jasa entah mengurus balik nama rumah atau pembayaran , pengurusan ke Bank dan notaris, namun ternyata tidak benar-benar membantu malah, mereka meminta uang terus padahal tidak diurus, sengaja diulur untuk tambang uang.

Mereka tidak tahu bahwa untuk membayar mereka banyak orang pontang - panting gali lubang tutup lubang, tapi apa peduli mereka, pedulinya ya hanya cuan atau uang. Mafia di Jakarta memang akut, sebelumnya saya mulai optismis ketika gubernur Jakarta dipimpin Jokowi dan diteruskan Ahok, tapi setelah itu tampaknya mafia kembali marak di masa gubernur setelahnya.

Jakarta menjadi ajang pesta pada mafia dan mereka memanfaatkan lemahnya kepemimpinan dan baru saya tahu untuk menjadi orang kaya raya dengan banyak proyek besar maka dalam hal cuan harus keji dan masa bodo. 

Saya sebetulnya takut juga jika menyinggung masalah mafia. Ia seperti mempunyai mulut julit, gampang berkilah dan malah ganti memojokkan orang yang lemah dan tertekan oleh kuatnya jaring kekuasaan mereka. Jadinya orang yang lemah semakin menjerit yang kaya semakin kaya karena punya banyak senjata untuk merampas atau memojokkan misalnya pengutang atau orang yang terpepet tidak punya uang lalu menggadaikan rumah dan akhirnya tidak terjerat bunga tinggi dan akhirnya tanah melayang, dia sendiri masih harus membayar kekurangan uang.

Hidup di Jakarta benar - benar harus waspada ekstra, jangan mudah termakan rayuan orang berpenampilan perlente, pikir-  pikir dulu sebelum berhutang pada lembaga rente sebab kalau sudah terjerat, penderitaanlah ujung- ujungnya.

Bicara tentang kemacetan Jakarta, jangan ditanya. Kalau ingin bertahan di Jakarta lama ya harus siap mengalami kemacetan di mana -- mana baik di jalan besar maupun jalan kecil maupun gang- gang di Jakarta. Tahun ini memang belum begitu macet parah seperti sebelumnya karena faktor wabah covid 19 namun jika nanti sudah normal lagi bisa dibayangkan kemacetan Jakarta seperti apa,

Mungkin Jakarta memang layak diperintah oleh pemimpin bertangan besi, yang tidak takut gertakan entah pejabat maupun mafia, Jakarta itu kompleks, harus bisa menahan diri dan tahan mental. Sebab caci maki, umpatan, ujaran kebencian yang selalu tertuju pada pimpinannya. Perputaran uang di Jakarta memang menggiurkan namun warganya harus selalu waspada sebab mungkin saja perputaran itu hanya milik kaum berduit saja, tapi bisa juga pada mereka yang ulet dan pantang menyerah serta bisa memanfaatkan peluang apapun hingga menjadi sumber rejeki.

Otak harus selalu jalan, kreatifitas perlu dimaksimalkan agar tidak hanya menjadi penonton tapi mampu memanfaatkan peluang menjadi sumber rejeki. Untungnya saya kerja dengan mengandalkan kerja daring, belum lagi masuk ke sebuah gedung dengan banyaknya kerumunan. Yayasan tempat kerja masih sanggup mengganji dan masih mampu memutarkan uang untuk kesejahteraan karyawannya.

Semoga saja aura rumah baru di luar kota mampu memaksimalkan pekerjaan saya. Bekerja dari rumah dengan modal kuota internet dan komunikasi jarak jauh. Karena tahun 2020 - 2021 memang harus merubah kebiasaan dan membiasakan diri dengan perubahan. 

Covid 19 membuat saya mesti hati hati menjaga kesehatan, juga menjaga mental agar tidak turun imun tubuh serta harus tetap optimis bahwa jika seseorang yakin terhadap hidupnya banyak kesempatan untuk tetap bisa bekerja, juga pekerjaan sampingan yang bisa diandalkan untuk menambah income.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun