Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sebagai Penulis Saya Selalu Menjadi "Buzzer" bagi Para Pembaca

15 Februari 2021   17:19 Diperbarui: 18 Februari 2021   01:19 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Glenn Carstens-Peters on Unsplash

Kalau merunut asal kata buzz yaitu dengungan dan Buzzer adalah pendengung. Elite politik, para pengamat, dan mereka yang merasa kesal oleh ulah pendengung di media sosial dan lalu menyalahkan pemerintah sebetulnya tidak perlu gusar. Sebab saat berteriak dan mengeluh saja mereka juga bisa dikatakan pendengung, karena selalu nggerundel, mengeluh, dan menyalahkan.

Sebagai penulis, saat ini rasanya saya selalu mendengung dan tidak henti-hentinya mengetuk hati pembaca dengan tulisan-tulisan saya. Hampir setiap hari menampilkan tema dan judul yang berbeda, membahasa satu isu ke isu lain, bahkan mungkin ratusan kali dengan bahasa berbeda menulis tentang tips menulis.

Saya mendengung dan terus mengganggu pembaca dengan judul-judul yang selalu berbeda. Ribuan kali, tapi ternyata tetap saja ada yang membacanya.

Apakah dengungan saya mengganggu? Mungkin ada yang terganggu ketika saya menulis tentang politik secara subyektif, misalnya saat ini saya tengah menjadi pendukung pemerintah, dan dulu ketika orde baru berusaha menulis dengan kritikan halus tentang sepak terjang orde baru.

Dulu meskipun sebetulnya tidak suka dengan gaya orde baru tapi saya tidak boleh menulis dengan frontal, karena bagaimanapun saya anak pegawai negeri. Dulu orang tua selalu bilang, kamu harus ikut partai pemerintah, ikut apa kata presiden, nggah-nggih karena mereka yang menggaji kita, yang menghidupi kita sebagai pegawai negeri, kalau protes ya bisa dipecat dari pegawai negeri.

Jangankan mendengung keras, mendengung lembut saja mungkin ketakutan karena bisa saja diciduk. Kalau protes, ya paling hanya bicara sesama teman saja. Jadinya akhirnya menggerundel saja. Sekarang enak, banyak orang seperti terlepas dari beban, bebas berkicau bahkan ketika kicauannya tidak pantas pun adalah bagian dari demokrasi.

Orang banyak tersalurkan hasratnya memaki, dan mereka bukan hanya mendengung, malah meraung, dan menggerung-gerung. Kalau ngung bagi orang Jawa lebih pada pemahaman suara, yang muncul dari suara musik tradisional, apalagi ketika sampai tahap ngeng.

Seperti Almarhum Djaduk Ferianto yang bisa menciptakan lagu, dan permainan musik karena sudah dalam tahap ngeng, mendengarkan bukan hanya sekadar memahami partitur dan komposisi, tapi telinganya sudah sangat paham akan perbedaan kecil dari titi nada dan tone serta kedalaman bunyi. Maka apapun bisa dijadikan musik, mau batu, bambu, benda- benda yang bisa menimbulkan bunyi.

Dalam lukisan sudah sampai tahap jiwa kethok. Karena dari goresan, warna dan bentuknya semuanya mengandung arti. Lukisannya seperti halnya jiwanya yang dalam dan luas jangkauan, penuh misteri dan keistimewaan.

Kembali kepada dengungan penulis. Kalau penulis tidak mendengung, ia tidak akan bisa menyampaikan misi kepada pembacanya. Penulis tanpa menulis maka ibaratnya seperti  dengungan tanpa irama. Penulis tanpa membaca ibaratnya seperti gamelan yang dibiarkan bunyi tanpa ada harmoni dan kendali dari pemimpin kerawitannya.

Membaca itu makanan dan nutrisi bagi penulis. Dan penulis bisa mendengung karena ia selalu belajar dari pengalaman, belajar dari bacaan, belajar dari komunikasi anar penulis, belajar dari master penulis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan.

Risiko dari dengungan pasti ada yang suka dan tidak suka. Yang suka akan selalu mendengarkan dengungan penulis setiap penulis mengirimkan artikelnya. Dengan lahap pembaca akan mendengar dan meresapi tiap barisan kata dan kalimatnya. Yang tidak suka ia akan membuat komentar nyelekit bahkan menyakitkan, dan penulis harus siap berani menanggung resiko mendapat kecaman dan kritikan.

Bedanya ada pendengung yang sekedar mendengung, membela dan memaki tapi tidak pernah dengan tekun membaca dan membuat riset dulu sebelum mendengung. Ia menuliskan sebaris status, atau cuitannya sekedar menuruti emosi, menuruti ketidaksukaannya atas tulisan atau informasi sekilas yang masuk ke inderanya baik dari penglihatan, mata bathinnya atau karena hasil dari emosinya membaca status dari oposisi, musuh di media sosialnya.

Media pun mewadahi karena semakin seru cuitan dan saling tikam lewat kata-kata medianya akan semakin terangkat dan tentu saja tidak dipungkiri akan viral dan terkenal. 

Lihat saja banyak media online membuat judul aneh-aneh. Salah satunya hanya untuk menggaet pembaca kepo yang seringnya hanya senang dengan judul heboh tapi mengabaikan isi artikelnya. Apalagi jika menyangkut berita gosip atau berita tentang tokoh yang dibencinya.

Saya tunggu jika saya mengaku menjadi buzzer Rp di judul saya pasti akan ada pembaca yang penasaran bagaimana sih sosok buzzer yang sedang dibicarakan. Apakah mukanya seperti setan ataukah malah cantik kinyis-kinyis? Sebab kalau buzzer tidak jelas ia punya ratusan bahkan ribuan akun dengan gambar yang nyolong pethek, alias tidak sesuai dengan gambaran sebenarnya.

Di media sosial seperti twitter, facebook, instagram orang berlomba-lomba mem-branding diri. Saya jujur ingin selalu menampilkan karya-karya saya baik dari aktivitas menulis, menggambar, atau sesekali mendendangkan kata mesra dan cinta untuk pasangan hidup. 

Untungnya saya mendengung untuk hal-hal yang jarang dikomentari saat menampilkan tulisan budaya, sastra. Coba kalau saya selalu mendengung, membuat status memaki, dan melontarkan kata-kata pedas pada penguasa atau oposannya, pasti banyak akun-akun buzzer yang tidak jelas itu muncul dan komentar.

Contohnya saat saya menulis di Kompasiana dengan judul yang agak menyerempet-nyerempet bahaya, sontak komentar di facebook Kompasiana muncul diskusi seru, sedangkan saya sebagai penulis, cukup membaca dan senyum-senyum.

Kalau dimaki dan komentari tulisan saya, jawaban saya, "Biarkan saja", itu kan bagian dari demokrasi. Hehehe. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun