Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apakah Nyaman dengan Media Sosial yang Terlalu Merdeka?

26 Juli 2020   22:48 Diperbarui: 27 Juli 2020   10:24 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di era kini media sosial seakan-akan berperan sebagai jati diri | Sumber: Emapoker via Kompas.com

Di zaman media sosial ini setiap kata-kata terasa sangat tajam mengiris. Apalagi menyangkut, suku, agama, dan ideologi. Banyak perang kata dan perang klaim kebenaran. 

Ini semua adalah hasil kemerdekaan. Jarang muncul pembungkaman dan jarang terjadi saat ini pemberangusan kata-kata kecuali jika sudah menyangkut nama baik politisi, pejabat, dan orang-orang terpandang.

Merdeka dan Makna Kemerdekaan yang Kebablasan

Media sosial telah menumbuhkan kemerdekaan berkata-kata, saking merdekanya malah banyak etika dan sopan santun terabaikan. Debat-debat yang mengarah kepada perbedaan keyakinan, ideologi, dan politik telah membuat manusia Indonesia lupa bahwa Indonesia dulu dihargai karena budaya ketimurannya yang penuh tata krama dan terkenal ramah dan sopan.

Kini kata-kata di media sosial lebih sebagai representasi umpatan dan makian. Bahkan orang-orang yang katanya berintelektual, berpendidikan tinggi, dan menguasai pengetahuan tentang agama kelakuannya sama saja. Media sosial hanya sebagai tempat menumpahkan makian dan pemaksaan kehendak.

Mereka tidak merasa merdeka, dan malah merasa ditekan penguasa sementara banyak pengguna media sosial dengan bebasnya memaki dan memaki, bebas mengakses ilmu pengetahuan dan bebas melakukan perundungan. Mungkin saya salah satunya.

Sudah hampir sebulan lebih saya tidak bicara dan membahas dunia politik, juga dengan agama yang kadang bukan membuat hati damai tetapi merasa meningkat kebenciannya, meningkat rasa sirik menyaksikan keadilan berkeyakinan sendiri telah dilanggar para penganutnya sendiri.

Ada kesombongan para penganut agama (termasuk saya), merasa paling benar, merasa paling suci dengan menunjukkan bagaimana ia (saya, mereka) sudah memakai asesoris agamis hingga terkesan suci, padahal yang disebut orang suci itu (sebenarnya) tidak pernah menunjukkan diri, bila menolong dan membantu orang-orang suci membiarkan dirinya tidak dilihat jejaknya.

Ia menolong dalam diam tanpa koar-koar dan show off. Parahnya di media sosial banyak orang ingin menunjukkan bahwa ia suci karena selalu berdoa dengan ditampilkannya di status media sosialnya. Ia lalu menunjuk orang lain berdosa karena tidak pernah menunjukkan bahwa ia dekat dengan Tuhan.

Di era kini media sosial seakan-akan berperan sebagai jati diri padahal sesungguhnya media sosial kadang hanya menjadi medium untuk menumpahkan kegelisahannya, menumpahkan kekesalannya.

Banyak manusia memaksa diri agar ia menjadi terkenal dengan cara instan, di media sosial ingin dikenal dengan cara konyol untuk menaikkan brandingnya di media sosial dengan cara pansos (panjat sosial). Bahkan kadang harus membuat jantung berdebar, membahayakan keselamatan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun