Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskotek dan Sudut Pandang Manusia tentang "Dugem"

19 Desember 2019   08:02 Diperbarui: 19 Desember 2019   08:13 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber suryamalang.tribunnews.com

Dalam kehidupan manusia ada hitam ada putih, Tidak semua pengin hitam, perlu putih juga. Tidak semua menganggap beribadah tekun sebagai tujuan. Banyak yang menganggap beribadah itu membuang- buang waktu, rejeki terbuang oleh banyaknya berdoa dan merenung. Yang tekun beragama menganggap bahwa mereka yang terlalu suntuk bekerja sebagai orang  kafir, murtad terlalu mementingkan duniawi.

Yang merasa hidup dalam balutan ibadah yang kental menganggap bahwa pelacuran, dunia hiburan, dugem/dunia malam itu sebagai tindak kufur, maksiat. Tetapi bagi mereka yang bergerak dalam dunia hiburan manusia mempunyai talenta untuk menciptakan kegembiraan dengan berkesenian, bermusik berjoget, meskipun banyak orang yang menyimpangkan tujuan mulia dari bermusik dan berjoget.

Dugaan saya mungkin gubernur benar- benar menyelami bahwa Diskotik pun berperan membantu pemprov DKI menyerap wisatawan. Diskotik bagaimanapun stigmanya membantu manusia kota melepaskan diri dari masalah- masalah yang membelitnya.

Jakarta itu unik, ketika ada gagasan untuk mewujudkan kebinnekaan dan menjaga toleransi beragama, banyak peribadahan mengundang penceramah yang jelas- jelas memecah belah. Seperti kontra dengan cita -  cita negara untuk menyuburkan sikap toleransi. Para penceramah itu dengan merdekanya menjelek- jelekkan keyakinan lain. Di speaker pula yang bergema dari loteng tempat ibadah tersebut.

Tentu banyak yang mendengar dan memang itu tujuannya didengar, tetapi sadarkah ketika menjelek- jelekkan keyakinan lain itu ada perasaan sakit oleh mereka yang kebetulan mempunyai keyakinan lain tetapi gamblang mendengar dari telinganya. Rasanya sakit tetapi mau apa lagi. Itulah keragaman hidup.

Tinggal di negara yang sedang"terbengong- bengong" oleh narasi- narasi penceramah yang memukau. Mungkin semua agama mempunyai kecenderungan untuk iri, dengki dan khawatir terhadap persebaran keyakinan lain, sehingga perlu melakukan antisipasi dengan membentengi diri lewat narasi keji, yaitu fitnah!

Diskotik bagaimanapun lebih menggelegar oleh suara- suara musik, menggelegar oleh suara- suara desahan yang hanya didengar mereka sendiri. Mereka tidak sempat berpikir menebarkan fitnah, tidak sempat membuat narasi kebencian. Kalau ada bau- bau alkohol sedikit dari sekerat bir, khan tidak berimbas pada orang banyak. Mereka terlokalisir di suatu tempat yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga musik yang menggelegar itu teredam.

Pahami saja maksud gubernur baik, bahwa diskotik pun perlu diberi penghargaan sebagai tempat meredam kemarahan, meredam emosi dan menyalurkan bakat berjoget tanpa mengintimidasi manusia lain karena sudah terlokalisir. Jika ada yang nyinyir bahwa diskotik itu tempat maksiat , lebih maksiat siapa oleh para penceramah yang terus menggelorakan kebencian, menggelorakan perlawanan, mempertahankan kesombongan karena menganggap diri sendiri termulia.

Yang tahu bahwa seseorang mulia itu orang lain. Mereka melihat dari tindak- tanduk, cara bicara, cara bertutur, penghormatannya pada yang lemah tidak berdaya. Jika karena balutan simbol- simbol kesucian yang melekat dibadan saja apakah banyak yang tahu bahwa kelakuan para pemuja simbol kesucian itu hampir mirip seperti tingkah laku ahli taurat yang lebih senang show, memperlihatkan didepan umum bahwa mereka sudah berdoa.

Padahal urusan agama dan keyakinan itu adalah urusan bathin . Disamping berdoa di ruang khusus,dialog dengan Tuhan bisa dilakukan dengan diam, sambil bekerja, sambil membantu membersihkan gorong, gorong, bisa sambil memilah- milah sampah yang tercecer di jalanan. (ora et labora berdoa sambil bekerja)

Yang terjadi sekarang banyak manusia lebih suka dipuji ketika ia dengan bangga dilihat mengikuti ritual agama. Terlihat suci dalam genderang kemegahan upacara yang kadang beda antara penampakan kesehariannya yang ternyata berbeda 180 derajad. Di saat lain ia gagah menggunakan atribut keagamaan di saat lain ia sedang keliling sebagai rentenir yang keji menagih utang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun