Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ritual Membaca Koran Sabtu Minggu

17 November 2019   16:57 Diperbarui: 17 November 2019   16:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukan perkara pengalaman dari sisa- sisa manusia yang masih disebut klasik, apalagi yang sudah berkarat dan bisa disebut vintage, sungguh koran itu bisa memberi keseimbangan informasi ditengah berita hoaks yang merebak bagai jamur. Paling tidak membaca tulisan para kolumnis di Kompas misalnya bisa menyerap pengetahuan dari mereka yang biasa menulis kolom seperti Bre Redana, Jean Coeteau, Alisa Wahid, Seno Gumira Ajidarma, Pri GS, Triyanto Triwikromo, Samuel Mulia, Putu Setia, Ono Sarwono, Edi AH Iyubenu, Sujiwo Tejo, Sentilan dari Butet Kertaredjasa.

Dari kolom- kolom para penulis tersohor itu saya bisa belajar banyak bagaimana menyusun opini dengan bahasa- bahasa kiasan, bahasa bahasa yang renyah dan enak dibaca (tentu saja bagi yang masih suka membaca berita serius). Koran atau yang bisa dikatakan media mainstream sarat dengan informasi yang tak lekang dimakan zaman, apalagi rubrik budaya, cerpen, kurasi- kurasi para budayawan saat membahas isu- isu terkini seputar kebudayaan.

Sebetulnya membaca koran itu jauh lebih menyehatkan mata daripada suntuk memelototi gadget. Font- font tulisannya tidak cepat membuat lelah mata. Apalagi ditambah dengan gambar- gambar dan foto yang mendukung.

Saya sendiri sebetulnya ingin mengkampanyekan agar tetap mencintai bacaan- bacaan berkualitas dari koran- koran yang sedang memasuki masa senjakala. Entah mungkin tidak banyak yang seperti saya yang masih melirik dan mencegat tukang koran yang semakin sedikit memajang koran yang dijajakannya. Mereka yang semula menjadi loper koran banyak yang berganti profesi, entah sebagai ojol, sebagai tukang dorong air atau mencoba peruntungan denga menjual minuman yang banya tersebar di jalanan. Saya yang tinggal di Jakarta Barat mulai susah mencari lapak koran. Dulu hampir tiap perempatan, tempat- tempat strategis pasti ada penjual koran dan majalah. Sekarang majalah itu diperlukan dan dicari hanya untuk bungkus makanan, sekarang mencari koran bekas semakin susah.

Kalau saya membaca koran seperti ada yang melihat dengan aneh. Anak saya pernah menyindir "Ngapain beli koran Pa, sudah ada gadget dan internet. Berita internet lebih cepat!". Ya kalau dipikir- pikir ada benarnya sih tetapi susah juga jika hari  Sabtu dan Minggu tidak ada koran.

Pada lembaran koran dan baunya yang khas saya merasa nyaman membacanya. Dan Kebutuhan utnuk terus membacanya itu yang sudah dihilangkan. Jujur. Intensitas memegang HP terus terang lebih banyak daripada memegang koran. Dari yang cuma sebentar dan sekilas itu saya menemukan banyak pengetahuan. Bukan berarti menyepelekan berita di internet, tapi menurut saya keseimbangan pengetahuan dibutuhkan agar tidak terlalu teracuni dengan opini- opini media sosial dan media online yang tendensius. Bisa dikatakan memihak.

Dengan membaca koran terus terang saya tidak bisa blak- blakan saat mengupload tulisan. Ketika menulis di platform blog semacam Kompasiana alur berpikir saya dan cara menulis saya sangat terpengaruh bahasa koran cenderung "main aman". Jika mengkritik, misalnya masalah kebijakan gubernur Jakarta Anies Baswedan jelas tidak bisa sefrontal Ninoy Karundeng, atau Denny Siregar. Balutan- balutan hukum penulisan jurnalistik masih kuat mencengkeram.

Koran dan Kerinduan pada Berita yang Jauh dari Hoaks dan Abal - Abal

Tetapi koran sebaiknya tetap bertahan agar berbagai pengetahuan yang hadir di masyarakat itu tidak melulu hoaks atau berita- berita abal- abal yang cenderung subyektif.

Memang dalam perkembangan teknologi, keberanian mengemukakan pendapat jauh berkembang. Opini tidak seketat ketika menulis di koran. Bahkan banyak orang mengatakan jauh lebih menarik membaca blog semacam kompasiana dibanding koran mainstream. Banyak tulisan cerdas yang bisa muncul tiba- tiba. Kebebasan mengemukakan ide dan mengalirkan tulisan tanpa terbelenggu aturan 5W 1H membuat para penulis bisa berimprovisasi bebas.

Kembali ke ritual membaca koran. Saya sih berharap koran semacam Kompas, Media Indonesia, Sindo, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat tidak segera meredup. Masih banyak yang menanti kehadiran media mainstream. Jikapun akhirnya masa itu tiba di mana koran dan majalah kertas tergantikan oleh media berbasis internet dan digital trend. Ada media yang tetap bertahan untuk memuliakan mata yang terjajah layar virtual. Saya sendiri sudah lebih sepuluh tahun mengikuti berita lewat internet, tetapi setiap hari masih menyediakan waktu untuk membaca buku phisik dan koran yang tidak bisa ditinggalkan. Mas Wartawan koran jangan patah semangat tetap semangat menulis ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun