Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Memandang Oposisi Itu Mulia Asal Jangan Mendendam

15 Juli 2019   09:46 Diperbarui: 15 Juli 2019   10:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pidato Jokowi Membuat Optimisme Masyarakat(ANTARA FOTO/kompas.com)

Secara keseluruhan Pidato Jokowi di Sentul membuat saya bangga dan merasa harus mendukung Jokowi sebagai Presiden 2019 -- 2024. Zaman sekarang memang terjadi perubahan yang amat cepat. Perubahan itu bisa tidak terduga maka bangsa harus adaptif untuk bisa mengejar ketinggalan dengan negara yang terus menemukan inovasi baru dalam teknologi. Kecepatan, efektifitas birokrasi menjadi kunci negara maju.

Dalam demokrasi, mendukung mati-matian seorang kandidat itu boleh. Mendukung dengan militansi yang tinggi itu juga boleh. Menjadi oposisi itu juga sangat mulia. Silakan. Asal jangan oposisi menimbulkan dendam. Asal jangan oposisi menimbulkan kebencian. Apalagi disertai dengan hinaan, cacian, dan makian. Kita memiliki norma-norma agama, etika, tata krama, dan budaya yang luhur.(Cuplikan pidato lengkap Kompas.com dengan Judul:Pidato lengkap Visi Indoensia Jokowi,15 Juli 2019)

Pidato Jokowi tegas Tapi Tidak Otoriter
Penulis melihat visi Jokowi itu begitu tegas saat mengatakan bahwa oposisi itu juga mulia. Beberapa pengamat melihat pidato Jokowi lebih cenderung tegas bukan otoriter.seperti yang dikatakan Nyarwi Ahmad Direktur Presidential Studies --DECODE UGM;

"Jokowi tampak tegas mendukung adanya oposisi. Bahwa oposisi harus sesuai dengan norma ketimuran, dia tekankan demokrasi yang berkeadaban, ini empty signifier lagi,"(detiknews, 15 Juli 2019;Sampaikan Visi Indonesia Jokowi dinilai Makin Percaya Diri).

Yang akan saya garisbawahi dalam pidato Jokowi adalah masalah oposisi. Oposisi selama ini (terutama oleh para peselancar dan petualang politik adalah masalah dendam, ujaran kebencian, menebarkan kata- kata hinaan. Ketika kesumat dendam hadir politik menjadi bibit resistensi terhadap perpecahan. 

Dan saat ini Indonesia tengah rawan terhadap para provokator yang membuat warga resah karena munculnya umpatan, dendam hinaan terhadap simbol negara dalam hal ini kepala negara atau presiden.

Dengan mudah orang mencaci menghina pemerintahan dan karena mereka sedang memainkan peran sebagai oposisi. Jokowi yang petahana terus diserang dengan ujaran kebencian, kata- kata yang menghina. 

Dalam pola pikir mereka oposisi adalah mereka yang berbeda pandangan dalam berbagai masalah dengan pemerintah yang sedang berkuasa hasil dari kontestasi pemilu.

Oposisi itu sebetulnya penyeimbang, alat kontrol dan kritikus yang menjadi mitra bagi pemerintah untuk mengingatkan mengontrol dan memberi pelajaran agar pemerintah berhati -- hati dalam mengambil kebijakan. Masalahnya dalam masa pemerintahan Jokowi alat kontrol terlalu banyak dan menggunakan media sosial untuk menghina, memaki- maki dan menanamkan dendam kepada pemerintah yang berkuasa. 

Dalam  nasari, komentar -- komentar yang muncul di media massa kontrol masyarakat oposan benar- benar diluar batas kalau boleh dikatakan kebablasan. 

Di mana adab sebagai orang timur yang membanggakan diri sebagai orang yang lebih sopan, lebih ramah dan lebih halus tutur bahasanya. Ternyata karena euforia media sosial orang- orang kadang lupa kontrol diri. 

Berwajah religius tetapi mulut dan kata-katanya tidak mencerminkan bungkus visual yang diperlihatkan. Senyum boleh manis tapi kalau pekerjaannya nyinyir dan menghina yang percuma dengan wah cakepnya.

Saya melihat tekanan Presiden terpilih lewat kata- katanya itu seperti ingin mengeluarkan kekesalannya kesuntukannya pada perilaku oposisi yang selalu menggaungkan kebencian, dendam dan upaya balas kata- kata yang nyelekit dan memuakkan.

Rasanya benar kata Jokowi oposisi itu juga mulia tetapi alangkah lebih baik jika tidak disertai dendam, tidak disertai dengan ujaran kebencian dan kata- kata menghina. (Membaca gerak bibirnya dan matanya yang berkaca- kaca) lihat Jokowi sedang memendam keprihatinan mendalam oleh perilaku buruk para oposisi. 

Oposisi memang tidak salah, malah diperlukan sebagai penyeimbang dan alat kontrol. Tetapi oposisi yang sekedar meluntakkan api kebencian, membandangkan hinaan tentu tidak lahir dari oposisi yang mempunyai kontrol emosi yang tinggi untuk mengkritik dan mengarahkan pemerintah mau mengetahui latar belakang kebudayaan setempat.

Hadirnya Oposisi Memberi Keseimbangan

Sangat penting oposisi hadir sebab merekalah teman yang tanpa tedeng aling- aling  berusaha mengingatkan bahwa masih banyak hal harus dibenahi, masih banyak yang harus dikontrol dengan masukan konstruktif. Tetapi para oposisi, politisi oposan rasanya baru bisa menggaungkan pengamatan kritisnya saja. Berbeda itu adalah wajar karena setiap manusia tidak ada yang berwatak sama sempurna, ada saja kekurangannya. Menjadi oposisi dalam arti tetap kritis dan berada diseberang tetapi aktif mengontrol bila terjadi penyimpangan.

Dalam khasanah seni terutama drama, ada yang istilah antagonis dan protagonis. Petahana digambarkan sebagai protagonis sedangkan para pembenci, orang- orang yang berbeda pandangan dan sering nyinyir disebut antagonis.

Oposisi itu mulia karena banyak pekerjaan segera ditangani secara cepat. Tugas oposisi menjadi teman yang kritis melihat celah- celah kelemahan pemerintah dengan opini yang jernih tidak hanya yes man saja pada presiden. 

Dengan kritisnya oposisi tentu akan membuat pemerintahan waspada dan terbantu untuk melakukan koreksi- koreksi dari dalam dari masukan  para oposisi.

Maka dikatakan Jokowi, oposisi itu pekerjaan mulia. Bukan sekedar benci karena organisasinya dan kelompoknya merasa tidak mendapat perhatian lalu membentuk kelompok yang mendeligitimasi pemerintahan. 

Suatu saat oposisi (mungkin) akan menjadi pemenang dalam kontestasi politik. Kedudukan yang berbalikan itu akan mereka alami di mana akan ada pihak yang menyerang kebijakannya. 

Menggiring opini public dengan politik kebencian, politik penghinaan hanya merendahkan martabat bangsa. Konspirasi yang dimulai dari penyebaran hoaks, fitnah dan ujaran kebencian hanya akan membentuk masyarakat menjadi masyarakat pendendam yang akan saling berbalas sampai kapanpun.

Indonesia dan Mindset Masyarakat yang Harus Berubah Menyesuaikan Perkembangan Zaman

Indonesia butuh perubahan pola pikir. Di era global ini yang mau mengikuti perubahan dan terus menyesuaikan dengan perkembangan zamanlah yang yang akan sukses. Mereka yang berpikir monoton, mainstream, dan nikmat berada di zona nyaman akan banyak ketinggalan.

 Perubahan itu begitu cepat dan jika tidak mau menyesuaikan diri maka akan terbirit- birit sendiri. Akhirnya mereka hanya bisa menyalahkan pemerintah, orang lain tetapi tidak mau introspeksi diri.

Saya malah pasang jempol kepada Sandiaga Uno yang jujur mengatakan akan menjadi opisisi. Ya menjadi oposisi itu tidak buruk malah mulia jika dalam kritik- kritiknya disertai dengan solusi dan saran konstruktif. Salam Damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun