Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompas dan Jejak Sejarah, dari Orde Lama sampai Reformasi

29 Juni 2019   11:58 Diperbarui: 30 Juni 2019   22:40 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi (foto oleh Joko Dwi)

Kompas tahun ini merayakan Ulang Tahun yang ke-54 (28 Juni 2019). Menilik umurnya Kompas telah melewati babak Akhir orde lama, menyusuri jejak- jejak orde baru, menjadi saksi keruntuhan dua orde itu dan melangkah pada orde reformasi yang penuh gejolak politik. 

Seperti orang yang sudah kenyang pengalaman hidup Kompas menyusur momentum tanpa gelegak jiwa yang besar untuk mengritik tajam dan penguasa. 

Kata- kata Kompas benar- benar di tata untuk tidak menggedor emosi penguasa yang suka senewen jika dikritik dan main gusur serta breidel jika tidak taat aturan main. 

54 tahun bertahan sebagai media yang bijak dalam memilih kata kadang sering dikritik terlalu lembek saat menyerukan fakta dan tidak berani frontal saat menghadapi penguasa yang represif, istilah kasarnya main aman.

Prinsip Kompas yang Luwes Mengikuti Zaman dan Orde

Teringat kata kata latin Fortiter in re, sed suaviter in modo teguh dalam perkara, luwes atau lentur dalam cara . Saya hampir setia mengikuti kompas terutama membeli koran edisi Sabtu Minggu (sebab saya akan membaca kompas dari senin sampai jumat di kantor. 

Di koran Sabtu Minggu saat libur saya lebih suka bacaan ringan, gaya hidup, puisi, kolom terutama seni budaya. Puisi, cerpen, travelling dan bacaan artikel inspiratif.

Terus terang dalam hal keberanian mengungkapkan fakta Tempolah jagonya, tetapi untuk bacaan intelek dan bijak kompaslah tepatnya. Pendiri Kompas P K Ojong dan Jakob Oetama sering berbeda pendapat dalam hal prinsip jurnalistik dan idealisme pemberitaan. Namun keduanya adalah orang-orang terpilih yang mewarnai sejarah pemberitaan dari masa ke masa.

Tidak banyak media konvensional, media cetak besar yang bisa bertahan selama 54 tahun, Kompas mampu dan tetap eksis sampai sekarang adalah sebuah pencapaian hebat. 

Ekspansinya menggurita dari publishing, sampai hotel dan properti. Ekspansi usaha itu tentunya dimaklumi karena jika hanya mengandalkan koran dan perusahaan media akan berakhir rugi dan bahkan bisa- bisa gulung tikar. 

Ketika era manual dan konvensional dianggap kuno mau tidak mau Kompas pun harus berani berspekulasi medianya tidak tergerus perkembangan zaman. Menjejak digital, merambah keinginan warga dengan menampung hasrat warga yang hobi menulis menjadi jurnalisme warga semacam kompasiana.

Dalam era jurnalisme dengan prinsip kecepatan, kecepatan dan kecepatan, media mainstream memang tampak terengah - engah  kalah dengan media online yang bisa mengikuti berita dari detik ke detik. Kelemahan media tanpa verifikasi dan mengandalkan kecepatan adalah kualitas tulisan dan kurangnya kontrol redaksi. 

Pada media mainstream berita yang tampil sudah melewati pergumulan, rapat- rapat redaksi hingga akhirnya menjadi karya yang disajikan kepada khalayak.

Kompas masih bisa eksis karena bisnis- bisnis lainnya yang mampu menutup celah kerugian. Sebab hanya mengandalkan media mainstream bisa berarti bunuh diri atau mati pelan- pelan. 

Ketika koran lainnya sudah kembang kempis mengikuti perkembangan zaman Kompas yang berani bertahan karena hampir semua instansi masih berlangganan Kompas sebagai acuan media yang bijak.

Jakob Oetama yang pernah menjadi seorang guru telah meletakkan dasar jurnalistik pada tempatnya. Kompas masih menjadi acuan berita yang netral dan berimbang, tidak partisan. 

Pada Kompas perusahaan dan orang - orang kaya masih bisa memanfaatkan jasanya untuk mencantumkan iklan baris dan iklan digital. Seperti menara Kompas yang menjulang Kompas perlu mempertahankan diri sebagai media yang menjulang dalam hal kecepatan beritanya dan ketinggian mutu kualitas tulisannya. 

Jika banyak pejabat dan penguasa menyembunyikan jejak sejarah Kompas dapat menjadi museum peradaban tentang bagaimana sebuah media tampil di publik yang layak dibaca jutaan pembaca dan menjadi corong untuk meluruskan sejarah yang sengaja dipelintir. 

Tanpa perlu frontal melawan media bisa menjadi pengkritik penguasa dengan kata- kata halus dan bijak. Ninok Leksono wartawan yang berkiprah di Kompas selama 35 tahun menjadi saksi bagaimana Kompas jatuh bangun, sempat dibreidel namun kemudian dengan rendah hati Jakob Oetama meminta maaf dan meneken pakta integritas supaya medianya tetap hidup. 

Setelah sukses Kompas tidak sepi kritik dan itulah yang akan menjadi bahasan yang akan selalu hadir selaras dengan berita- berita yang muncul di Kompas.

Membaca Kompas Meluaskan Pengetahuan dan Bijak Berpikir

Dari Kompas Minggu jadi mengenal penulis cerpen muda Faisal Oddang yang baru saja memenangi penghargaan sebagai penulis Cerpen terbaik Kompas 2019 bersama Raudal Tanjung Banua.

Dari Kompas jadi mengenal tulisan feature bola yang menginspirasi dari Romo Sindhunata SJ.Kolom kolom dari Alisa Wahid, kolomnis asal Perancis Jean Couteau, Seno Gumira Ajidarma, Kritikus dan pengamat seni rupa kawakan dari Agus Dermawan T dan amsih banyak lagi penulis yang menginspirasi.

Saya yang bodoh dan merasa semakin bodoh saat membaca tulisan- tulisan di buku ingin terus berkembang dan berusaha menduplikasi kata - kata Kompas. Artikel Kompas ternyata mempunyai memberi kritikan tanpa membuat emosi penguasa menjadi receh. Kritik kompas yang terukur membuat media ini sampai sekarang terus bertahan.

Semoga Kompas terus bertahan di tengah gempuran media- media online yang membanjir. Bagaimanapun bagusnya sebuah kecepatan akses berita di media online harus tetap mempunyai panutan media konvensional yang mengajak orang berpikir bijak dan tidak mudah termakan isu receh. 

Jika Mengikuti dengan rutin berita, artikel dan kolom di Kompas seperti melihat jejak sejarah Indonesia. Usia 54 adalah usia matang. Pahit getirnya jejak sejarah sudah dilewati, ketika pernah dibreidel tetapi mampu bangkit lagi, Dengan sedikit mengalah untuk bangkit dan berjuang lagi, bertahan bahkan sampai memiliki media elektronik Kompas akan selalu di hati. Pertahankan amanat hati nurani rakyat. 

Rakyat dan masyarakat masih butuh edukasi untuk mengolah informasi yang mampu memberi inspirasi bukan memprovokasi atau lebih mengandalkan berita hoaks.

 Selamat Ulang Tahun Kompas yang ke 54 semoga tetap Jaya.

Referensi dari 85 Tahun Jakob Oetama Yuk, Pak Jakob Berujar disusun dan dan dikumpulkan oleh Ninok Leksono, Kompas Media Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun