Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompas dan Jejak Sejarah, dari Orde Lama sampai Reformasi

29 Juni 2019   11:58 Diperbarui: 30 Juni 2019   22:40 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi (foto oleh Joko Dwi)

Dalam era jurnalisme dengan prinsip kecepatan, kecepatan dan kecepatan, media mainstream memang tampak terengah - engah  kalah dengan media online yang bisa mengikuti berita dari detik ke detik. Kelemahan media tanpa verifikasi dan mengandalkan kecepatan adalah kualitas tulisan dan kurangnya kontrol redaksi. 

Pada media mainstream berita yang tampil sudah melewati pergumulan, rapat- rapat redaksi hingga akhirnya menjadi karya yang disajikan kepada khalayak.

Kompas masih bisa eksis karena bisnis- bisnis lainnya yang mampu menutup celah kerugian. Sebab hanya mengandalkan media mainstream bisa berarti bunuh diri atau mati pelan- pelan. 

Ketika koran lainnya sudah kembang kempis mengikuti perkembangan zaman Kompas yang berani bertahan karena hampir semua instansi masih berlangganan Kompas sebagai acuan media yang bijak.

Jakob Oetama yang pernah menjadi seorang guru telah meletakkan dasar jurnalistik pada tempatnya. Kompas masih menjadi acuan berita yang netral dan berimbang, tidak partisan. 

Pada Kompas perusahaan dan orang - orang kaya masih bisa memanfaatkan jasanya untuk mencantumkan iklan baris dan iklan digital. Seperti menara Kompas yang menjulang Kompas perlu mempertahankan diri sebagai media yang menjulang dalam hal kecepatan beritanya dan ketinggian mutu kualitas tulisannya. 

Jika banyak pejabat dan penguasa menyembunyikan jejak sejarah Kompas dapat menjadi museum peradaban tentang bagaimana sebuah media tampil di publik yang layak dibaca jutaan pembaca dan menjadi corong untuk meluruskan sejarah yang sengaja dipelintir. 

Tanpa perlu frontal melawan media bisa menjadi pengkritik penguasa dengan kata- kata halus dan bijak. Ninok Leksono wartawan yang berkiprah di Kompas selama 35 tahun menjadi saksi bagaimana Kompas jatuh bangun, sempat dibreidel namun kemudian dengan rendah hati Jakob Oetama meminta maaf dan meneken pakta integritas supaya medianya tetap hidup. 

Setelah sukses Kompas tidak sepi kritik dan itulah yang akan menjadi bahasan yang akan selalu hadir selaras dengan berita- berita yang muncul di Kompas.

Membaca Kompas Meluaskan Pengetahuan dan Bijak Berpikir

Dari Kompas Minggu jadi mengenal penulis cerpen muda Faisal Oddang yang baru saja memenangi penghargaan sebagai penulis Cerpen terbaik Kompas 2019 bersama Raudal Tanjung Banua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun