Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Yang Alim Jangan ke Jakarta Ya, Pliss!"

16 Juni 2019   21:08 Diperbarui: 16 Juni 2019   21:15 2441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jakarta bukan tempat ramah bagi orang alim dan polos . salah satu tempat para urban mencari rejeki di Jakarta Barat(foto oleh Joko Dwi)

Kalau njenengan orang Jawa dan pengin menjejak kota Njakarta, mending pikirkan masak- masak. Nggih. Apalagi panjenengan yang alim dan punya potensi sebagai orang alim. Wah njenengan keliru jika ke Jakarta bermodal ramah dan murah senyum.

Pikirkan Kalau Mau Ke Jakarta

Itu belum cukup, anda harus berani menampilkan muka galak, dan sangar alias serem. Kalau alim dan sopan, sekali lagi mikir yang panjang Mas, mbak. Di tempat njenengan masih banyak hal bisa digali dan dijadikan peluang bekerja. 

Toh meskipun tidak sebanyak Jakarta anda masih bisa mengayunkan kaki dan menggerakkan tangan untuk latihan topeng ireng atau memainkan uyon- uyon di sebuah padepokan kelurahan. Kalau cuma ingin mengeruk uang dan membawanya lagi saat lebaran bisa saja sih. 

Tetapi njenengan tidak tahu bahwa banyak suka duka - hidup di Jakarta. Kalau anda beruntung anda bisa menjadi jutawan, milyarder atau konglomerat tapi jika tidak anda akan membuat Jakarta semakin semrawut oleh orang- orang yang terobsesi kaya tetapi tidak punya nyali untuk bersaing dengan muka- muka sangar di jalanan dan di kantor- kantor.

Boleh lihat di kantor Direktur akan menekan asisten managernya, mengambil peruntungan jika mendapatkan deal dari investor atau klien yang menggiurkan dan mencampakkan anak buahnya. 

Asistenpun menekan bawahannya si supervisor sehingga terjadi tekan menekan. Siapa yang kuat mereka yang menang. Tidak usah bermimpi seperti di desa yang bisa bergotong royong dengan tulus. Di Jakarta semuanya perlu fulus.

Wajah Tidak Menjamin Seseorang Alim

Jika anda melihat orang Jakarta ramah dan selalu senyum jangan percaya sepenuh hati, bisa jadi di hatinya sedang melancarkan taktik dan itu politik untuk mendapatkan simpati. 

Jadi meskipun saya ramah dan selalu senyum anda tidak boleh nggah nggih saja, perlu dilihat wajah saya, sorot mata saya. Jangan mudah tertipu hanya karena klimis dan murah senyum.

Orang yang kuat bertahun- tahun tinggal di Jakarta tentu karena sudah pernah merasakan bagaimana kerasnya hidup di Jakarta. Jangan dikira saya yang mentereng pulang membawa mobil berarti sukses dan dengan entengnya anda minta list sumbangan untuk pembangunan desa. Hahaha, setiap hari saya ini sebetulnya selalu berhitung. 

Listrik mahal, PAM mahal, transportasi mahal, masih harus misuh- misuh ketika mobil disenggol motor di sebuah jalan sempit perkampungan padat(penjaringan, Pedongkelan, Kalideres, Kapuk, Warakas).

Kalau masih alim mending njenengan mikir untuk membatalkan niat ke Jakarta. Apakah anda  mau menambah jumlah pencoleng, jambret, copet dan orang- orang tidak tahu malu yang pura- pura miskin dengan menjadi pengemis. Anda pasti ngakak lihat pengemis gemuk jalan- jalan di sepanjangan gelaran kaki lima. Wong gemuk sehat kok ngemis, la yang kurus ceking mau jadi apa?

Ke Jakarta Setelah Lebaran?

Kalau setelah lebaran anda niat ke Jakarta jangan hanya karena ajakan teman anda yang dipikirkan, tetapi lihat ke depannya. Jika setiap hari jalan tidak pernah sepi pengendara motor, mobil atau sekedar memanfaatkan moda trasportasi online itu mungkin kamuflase. Lihat saja sampai di kontrakan atau kost- kost -- an mereka itu sebetulnya sedang menangis. 

Mereka sedang berhitung dengan waktu. Bisa makan setiap hari saja sudah bagus. Memang benar ke Jakarta itu modalnya tidak malu, ndableg dan pasang muka seram, tetapi Jakarta dengan pendapatan pas- pasan hanya membuat anda sakit liver, ginjal dan jantung. Sepanjang hari harus menahan rasa, serik, dendam karena melihat betapa susah benar mengatur orang Jakarta yang banyak maunya. Bagaimana tidak serik dan marah jika banyak orang pesta gila- gilaan di dekat gubuk- gubuk liar. 

Pada permukiman mewah di dalam komplek mereka bisa pesta sbu dan mabuk anggur, tetapi sebalik tembok orang- orang masih mengais sampah plastik masih layak pakai untuk dijual ke pengepul yang menghargai barang "Ora mbejaji"(tidak layak). Tetapi apaboleh buat uang memang harus dicari meskipun harus menggadaikan urat malu. Mending jangan gengsi deh kalau ingin bisa bertahan lama di Jakarta.

meskipun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Membuka lebar- lebar pada para pendatang yang bekerja di Jakarta bukan berarti mudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai kalau hanya modal nekat (foto oleh Joko Dwi)
meskipun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Membuka lebar- lebar pada para pendatang yang bekerja di Jakarta bukan berarti mudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai kalau hanya modal nekat (foto oleh Joko Dwi)
Kalau belum pernah merasakan bagaimana menderitanya kebanjiran jangan panggil Aye orang Jakarte. Jakarta itu langganan banjir. Tidak tanggung- tanggung. Karena Bogor dan sekitarnya merasa sayang pada orang Jakarta maka mereka merelakan airnya tumpah ruah di Jakarta. 

Jika anda ingin nostalgia maka sekali- kali berpapasan dengan kotoran manusia atau kotoran lain, tentunya saat musim banjir tiba. Kalau genangan di sawah bisa untuk menyuburkan tanaman di Jakarta itu trauma genangan, apalagi genangannya seatap rumah di gang Petogogan Jakarta Selatan.

Jakarta, Itu Bukan pilihan utama lagi lho Mas, Bro, sis, Mbak. Mending ke Kalimantan saja atau ke pulau lain. Ya kalau Jakarta nanti masih ibu kota, kalau sudah pensiun jadi Ibu Kota Negara, apa bangganya tinggal di Jakarta. 

Saya malah iri dengan kehidupan desa yang masih guyup tidak mudah terprovokasi oleh era post truth yang njelehi(membosankan). Kalau hanya bisa main game online dan main WA kenapa harus ke Jakarta. 

Di daerah juga sudah gampang. Mau ngojek di daerah njenengan malah lowongannya masih banyak, Njenengan masih bisa ronda malam dan nonton Jantilan sambil tebar pesona.

Apa sih menariknya Jakarta, yang buang sampah saja mesti bayar, yang untuk mendapatkan fasilitas wah harus bisa berlagak orang kaya. Padahal mobil saja sewaan dan pavilion dan rumah mewah mesti googling untuk mendapatkan diskon paling murah.

Jangan cepat percaya dengan tampang klimis ginuk ginuk di media sosial, apalagi wajah mulusnya. Bisa jadi hanya aplikasi gratis di gadget untuk membuat seolah - olah bertampang borjuis dan berlagak selebritas. Ternyata hanya penjaga warnet aplusan.

Punya Modal Apa anda Ke Jakarta?

Telunjuk gue tuh sakti banget. Tinggal tunjuk dan ngacung saja, mau mobil atau sepeda motor semua nurut. Brenti atau jalan  ikut, telunjuk gue,"Kata Pak Ogah di ujung sebuah perumahan di selatan Jakarta. (kolom Kompas Minggu, 16 Juni 2019, Kata Kota "Jakarta Tak Menarik Lagi" oleh Agus Hermawan)

Jakarta memang sudah terbuka untuk pendatang. Suka- suka anda datang dan mengadu nasib, tapi jika setiap hari njenengan nangis pengin pulang, berarti anda tidak bakat menjadi orang Njakarta. 

Kalau Saya sih baru 20 tahun meskipun malu- malu kadang- kadang saya juga sering memasang tampang serem, maksudnya agar mereka yang datang setiap tahun datang ke Jakarta mikir... tidak semua anak desa dan daerah berbondong- bondong memenuhi Jakarta. Yang sudah tinggal di Jakarta saja sedang mikir untuk balik ke kampung suatu ketika.Nderek Langkung Nyuwun pamit. Salam Damai Selalu.

Ide tulisan ini muncul ketika membaca kolom Kompas Minggu, 16 Juni 2019, Kata Kota "Jakarta Tak Menarik Lagi" oleh Agus Hermawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun