Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku, Juni dan Uban di Kepala

8 Juni 2019   07:34 Diperbarui: 8 Juni 2019   07:38 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejatinya  tidak tahu mau jadi apa aku ketika besar. Aku hanya menjalani hidup, bisa menarik nafas pagi hari dan tertidur saat malam. Alangkah bahagianya mereka yang mempunyai target untuk apa ia hidup, sebab setiap detik, menit, jam adalah sebuah rancangan dan target.

Aku bahkan hanya sesekali merenung, sesekali berdoa dan sesekali merencanakan dan mencita- citakan, selanjutnya kugantungkan harapan pada perjalanan waktu. Begitu cepat waktu berputar sehingga tidak terasa rambut satu persatu memutih,  kulit pelan- pelan mengeriput, dan otak semakin lama semakin melambat.

Perjalanan waktu cepat karena aku melaju tanpa pernah menata rencana demi rencana. Ternyata semakin lama ujian kehidupan bukannya meredup tetapi semakin terang. Banyak tantangan yang mesti dilalui dengan kesiap darah membuncah dan emosi yang merunyamkan pikiran. Tubuhpun semakin limbung dan tulang semakin renta menerima beban.

Darah semakin mengental menerima makanan rupa- rupa yang susah tertolak. Manusia sepertiku sering kalap saat menyesap kenikmatan meskipun kenyataanya adalah racun bagi kesehatan raga. Aku semakin larut dalam daur hidup yang merangkak dalam senja.

Aku mengingat bulan Juni, pada tengah bulan lebih satu setrip kata orang aku lahir. Ibuku kesakitan mendorong diriku hadir menghentak dunia dengan suara tangisan. Tepat ketika malam mulai merangkak di hari Selasa kliwon, tetapi sudah terhitung Rabu legi.

Yang aku tahu setiap bulan Juni, hujan jarang menyapa dan hanya langit membiru yang membuat udara terasa dingin mengigit dan suasana tampak mbediding*)

Aku seringkali menyesal tetapi percuma sebab waktu tidak mungkin bisa kembali. Mengapa tidak aku kumpulkan kata dalam sebakul buku yang seharusnya sudah aku cetak jauh- jauh hari. Ternyata khayalanku mencengkeram lamunan hingga waktu tidak terasa berputar. Sementara teman- temanku sudah menggenggam dunia aku masih berkhayal tentang apakah cita- cita masa datang. Kini saat senja menjelang baru kugeber kata, sedangkan tenaga tinggal  menyisakan keringat sebutir yang harus dirasa sesak dada ketika diajak berpacu.

Guratan keriput di jidat semakin rapat, rambut putih semakin berlembah hingga kemilau keperakan lebih lebat daripada warna- warna hitam yang hanya muncul di sela- selanya. Harusnya kau sudah menggenggam dunia bukannya menekuri warna- warna rambutmu.

Aku dan bulan Juni selalu beriring melangkah saling mengingatkan untuk kembali mengulas hidup yang berpacu. Pada satu titik kelahiran mengingatkan bahwa manusia harus siap pada deretan ujian demi ujian dan  di sudut lainnya senja semakin berbayang dan malam gelap semakin dekat.

Jakarta, 8 Juni 2019

*)mbediding: udara sangat dingin hingga tubuh menggigil jika tidak memakai baju yang hangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun