Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersesat di Belantara Kota

16 Mei 2018   20:36 Diperbarui: 17 Mei 2018   12:21 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:sketsa pulpen karya ign joko dwiatmoko (foto oleh joko dwi)

Sudah tujuh hari aku tiba di Jakarta belum satu pekerjaan layak yang bisa kutemui. Hampir mustahil mereka menerimaku hanya berbekal badan tanpa ketrampilan memadai. 

Jakarta banyak menyediakan lahan pekerjaan, tetapi hanya tersedia untuk mereka yang berpendidikan dan yang mempunyai penampilan bersih. Aku datang, tanpa ketrampilan hanya berdasarkan tekat dan kenekatan. 

Barangkali bisalah seberuntung artis- artis tenar yang sempat menggelandang di Jakarta ini. Dari sobekan-sobekan kertas yang kutemukan aku  melihat  Olga, Sule, dan sederet artis lainnya yang susah payah membangun karier di belantara Jakarta dan mereka berhasil menjadi "orang". Apa salahnya aku mencoba. Toh yang akan menanggung derita aku sendiri. Biarlah menggelandang sebentar dan aku yakin akan menemukan pekerjaan yang sesuai.

Mungkin banyak pendatang seperti aku menggebu-gebu untuk mendapatkan pekerjaan layak. Otak-otak instan seperti aku ingin sekali cepat mendapat pekerjaan dengan gaji di atas UMR. Mungkin sama sepemikiran bahwa kelak jika pulang pas lebaran nanti  sudah bisa membanggakan diri menjadi perantau sukses yang mampu menangguk harta, pulang membawa cerita sukses.

Bayangan itu pelan-pelan mulai luntur, sudah  seminggu hanya luntang - lantung tidak  karuan. Bekal uang semakin menipis tetapi tidak ada satupun pekerjaan tergenggam. Setiap senja aku mulai gelisah sebab jika malam tiba aku harus mencari tempat berteduh atau tempat merebahkan diri.  Jika aku nekat tidur di taman yang ada aku hanya akan diusir oleh petugas trantip,dari satuan polisi pamong praja atau Satpol PP. 

Mereka itu keji tidak berperikemanusiaan dan tegaan. Masa karena tidak tidak punya identitas dan tempat tinggal tetap aku harus terus berlari menghindar dan terus bersembunyi dari kejaran mereka. Capek, tapi itu resiko yang harus kutanggung, menjadi gelandangan yang terlalu pemilih dalam pekerjaan.

Padahal jika aku nekat mendatangi  toko-toko bangunan yang sering menggunakan tenaga jemputan untuk mengangkut  semen, besi-besi kerangka dan memindahkan batu bata dari truk ke lantai toko pasti ada yang bisa dikerjakan. 

Dari awal aku hanya membayangkan menjadi artis dan orang kantoran. Aku bawa fotocopian ijasah dan sedikit portofolio tentang pekerjaanku sebagai cameo sebuah film.

Tapi sepanjang pengalamanku mencari cari alamat yang ada hubungannya dengan production house semua menolak dengan alasan, penampilan yang tidak meyakinkan. Kuingat sudah  7 hari tidur beralaskan rerumputan kering di sebuah taman dengan beratapkan langit. Ada dua hari aku nebeng tidur di Mushola karena hujan yang mengguyur membuat jalan serta taman-taman becek.  

Saat terang aku terus melangkah mencari alamat- alamat yang kutuju sambil menghitung lembaran uang yang semakin sedikit di kantong. Aku sudah belajar dari sinetron untuk tidak sembarangan memperlihatkan barang berharga, nanti bisa diincar preman atau orang jahat yang berkeliaran di Jakarta.

Hampir putus asa aku menyusuri Jakarta ini. Uangku tinggal duapuluh ribu hanya cukup untuk makan dua kali dengan lauk yang amat sederhana. Aku ingin mengutuk keberuntunganku, memaki Tuhan karena telah menelantarkan aku, tapi aku tarik makianku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun