Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK), begitulah penulis menggambarkan tentang pameran "Goro Goro Bhinneka Keramik" yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia mulai tanggal 30 November sampai 12 Desember 2017. Pergulatan seni rupa BK (Butet Kertaredjasa) secara intens adalah saat ia masuk SSRI(Sekolah Seni Rupa Indonesia). Sebelum pindah di Bugisan dan berganti nama dengan SMSR lokasi SSRI di Karangmalang (di tengah tengah kampus UGM dan IKIP Jogja; sekarang UNY).
Selama di SSRI Butet sibuk berkarya sketsa, vignette (vignet) melukis dan juga aktif dalam kegiatan teater. Talentanya di bidang kesenian memang luar biasa. Maklum karena ia lahir dalam suasana kesenian yang kental. Ayahnya Bagong Kussudiardjo adalah penari terkenal yang banyak melahirkan koreografi yang dikenal baik di Indonesia maupun luar negeri. Bagong juga seorang pelukis, masih keturunan raja (Yogyakarta). Tidak heran hasrat berkesenian BK ibaratnya seperti luapan mata air pegunungan, deras dan banyak ide-de yang bermunculan dan tidak pernah kering ide.
Butet pernah meneruskan kuliah di perguruan tinggi seni rupa tapi ia men-drop out-kan diri untuk secara mendalami secara total kegiatan berkeseniannya. "Adol conthong atau cangkem" Istilah kasar untuk pekerja teater yang mengandalkan mulut sebagai modal berkeseniannya. Bk amat piawai memainkan monolog, memainkan teater serta menggerakkan organisasi kesenian yang digelutinya sepenuh jiwa. Nyatanya dari totalitas berkeseniannya ia bisa menjadi "orang" dan dikenal sebagai seniman komplet, komedian, aktor, perupa, organisator handal hingga bisa menggerakkan ruang-ruang kreatif dan bernilai entertainer.Â
Ia adalah entrepreneur sejati yang kebetulan adalah seorang seniman. Bolak-balik ia datang ke Jakarta dan pulang kembali ke Jogja. Bersama Teater Gandrik, Teater Mandiri, Orkes Sinten Remen, Kua etnika, dan beberapa job untuk film-film nasional seperti Petualangan Sherina, Pemahat Borobudur dan di televisi yang berakhir tahun 2017 ini adalah Republik Sentilan Sentilun. Pada media jurnalistik Butet masih aktif mengisi rubrik Komik Kertun di Media Indonesia Minggu.
Kritik pedasnya saat menulis serta melakukan monolog termanifestasikan di karya seni rupanya. Jarang mendengar atau Melihat jejak BK di dunia seni rupa tiba-tiba dia muncul berpameran seni rupa di Galeri Nasional Indonesia pula. Bagi kalangan senirupawan tentu seperti yang digambarkan Suwarno Wisetrotomo (penulis, kurator, dosen ISI Yogyakarta, serta teman seangkatannya di SSRI) seperti menyalip di tikungan. Dengan medium keramik BK seperti biasa melontarkan kritik atau pasemon lewat seni rupa.
Karyanya demikian komikal, bebas tidak terikat oleh aturan-aturan teori seni rupa. Karya BK adalah gabungan dari kriya, Keramik yang dikonsep untuk ruangan, tetapi dalam karyanya terkandung nilai-nilai filosofi tinggi kesenian Jawa serta religiusitas Kristen seperti apa yang diimaninya. BK tidak takut dituduh mengkianati agamanya dengan sindiran-sindiran visual, nyatanya agama hanyalah baju, bukan yang disembah, bukan yang sedang diberhalakan seperti saat ini di mana agama dijadikan komoditas politik. Menjadi pemicu bagi konflik antar massa dan media sosial.
Simbol-simbol dalam karya keramik Butet Kartaredjasa
Telah terjadi degradasi alang kepalang terhadap agama. BK menampilkan karya karya pameonya dengan bahasa simbol atau falsafah Jawa yang dikenal sebagai pengingat jejak budaya Jawa seperti "rejeki mriki santhet minggat"Â (rejeki datang, santhet kabur/minggat), "aja dumeh" (baca ojo dumeh yang berarti jangan meremehkan), "eling sangkan paraning dumadi", "urip mung mampir ngguyu", "becik ketitik ala ketara", "adjining diri saka lathi".
Semua yang bisa dikritik BK tanpa tedeng aling-eling ia kemukakan. Bahkan agama yang saat ini tengah sensi juga tidak luput dari sasaran kritiknya. Itulah Butet Kartaredjasa yang menamakan pamerannya dengan Pameran Tunggal Seni Visual Goro Goro Bhinneka Keramik. Selamat datang BK di rimba visual semoga terus berkarya dan menginspirasi kesenian untuk terus bergerak dan menjadi ujung tombak kesenian untuk mengkritisi negara yang masih mencari bentuk dan saat ini sedang mabuk oleh hegemoni agama yang sering menjadi pemicu disharmoni masyarakat yang pada kenyataannya memang berbhinneka.