Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

(9 Tahun Kompasiana) Sempat Kesal, Melupakan dan Rindu Kembali Menulis

25 Oktober 2017   14:37 Diperbarui: 25 Oktober 2017   16:23 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
setelah membaca wajib hukumnya menulis (Ilustrasi dari kontenesia.com)

Menguji Konsistensi Menulis

Kompasiana, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses kreatifku dalam menulis. Januari 2010  iseng membaca blog-blog yang ada di internet. Waktu itu belum banyak platform blog yang menarik. Kebanyakan blog adalah blog pribadi yang jarang menampilkan tanggapan pembaca dengan komentar-komentar yang terkesan intelek. Kompasiana  pada mulanya adalah blog yang ditujukan untuk ajang refreshing para wartawan Kompas kemudian berubah menjadi blog warga. Siapa saja boleh bergabung dan menulis asal mempunyai akun yang terdaftar. Sebelumnya aku memang seringkali menulis untuk jurnal berita khusus di organisasiku waktu itu.

Kebetulan aku memang suka membaca kolom sastra dan opini. Di internet kegiatan membaca berita akhirnya menggiring untuk mencoba mengenal jurnalisme warga. Dari dulu sebetulnya aku suka dunia jurnalistik dan tulis menulis. Tahun 1990 an  sampai 2001 an hobi menulisku aku kumpulkan dalam bentuk kliping serta foto copyan. Menulisnya masih dengan tulisan tangan dan kemudian baru dipindahkan filenya dengan mesin ketik. Untuk bisa mengetik dengan mesin manual butuh perjuangan, serta banyak tantangannya.

Yang menyenangkan bagiku adalah ketika tulisanku pernah masuk di kolom opini Bernas. Sayangnya tulisanku di Bernas itu hilang yang masih ada hanya bukti kwitansi honor menulis.Sungguh membanggakan bisa menulis di koran dan majalah(sempat menjadi kontributor tulisan di majalah Praba). Ada sebuah tantangan  khusus ketika berhasil mencari informasi tentang sosok yang menginspirasi misalnya. Dari proses wawancara sampai tulisan jadi dan akhirnya bisa dipublikasikan (dulu belum ada blog ).

Senyum manis mengembang membaca tulisan-tulisanku di koran atau majalah. Rasanya sebuah prestise sendiri bila sudah bisa menulis di koran. Sayangnya aku bukan orang yang konsisten menekuni bidang penulisan. Ketika  diterima menjadi guru, aku bahkan sempat melupakan hobi menulis. Tahun 2001 sampai 2006 tidak banyak aktif, tetapi koleksi tulisan di buku, untuk cerpen dan sekedar menulis masalah apapun cinta, kesialan, kecewa, tetap ada di buku tulis sebagai sebuah diari atau sekedar curhat masalah pribadi.

Aku terbiasa membaca tulisan yang cukup berat (opini Kompas, Catatan Pinggir Gunawan Muhammad, Kolom Budiarto Sambazy dan rubrik cerpen dan kolom budaya. Rasanya aku bisa seperti mereka yang terbiasa menulis dengan diksi, kata-kata bersayap nan indah serta kedalaman pengetahuan yang dimiliki penulis. Acuanku  adalah koran-koran nasional yang biasa kubaca kala senggang dan sampai sekarang  masih sering duduk manis di ruang perpustakaan kantor untuk melahap bacaan yang aku suka.

Menulis itu belajar terus menerus

Ternyata jika hanya membaca saja kemampuan menulis tidaklah sekonyong-konyong bagus, aku mesti terus  berlatih untuk menyusun kalimat hingga enak dibaca pembaca. Menulis itu bukan hanya mengkhayal  berandai-andai bisa terkenal seperti Andrea Hirata, Pramudya Ananta Toer, Tere Liye, Triyanto Triwikromo, Agus Noor, atau Seno Gumira Ajidarma. Boleh jadi aku mengenal penulis-penulis langganan  nongol di koran tetapi tanpa aksi praktik percuma saja membaca tanpa menulis.

Ketika mengenal Kompasiana aku mulai sadar ternyata banyak penulis berbakat yang dengan suka rela menulis tidak dibayar hanya berharap tulisannya dibaca dan diapresiasi. Ribuan artikel terus membanjiri Kompasiana dan banyak feature yang kadang lebih menggelitik daripada tulisan di media mainstream.

tangkap ide dan menulislah segera (ide keren.com)
tangkap ide dan menulislah segera (ide keren.com)
Di Kompasiana  interaksi antar penulis tersalurkan dengan munculnya kolom komentar sebagai tempat berbagi, menyapa, saling sindir, saling kritik. Tipe-tipe penulispun macam- macam ada yang pro pemerintah ada yang asal beda dan ada yang oposan sejati. Banyak rekan kompasianer berasal dari praktisi media. Mereka bisa menulis tanpa tersekat oleh konteks tulisan yang akan terpotong di media redaksi. Menulis politik di Kompasiana bisa langsung terlihat bagaimana antusiasme pembaca menanggapi artikel yang tayang. Para penulis membahas politik dengan sudut pandang yang berbeda, tapi yang menarik adalah polemik yang dimunculkan artikel politik bisa seperti debat para politikus yang panas membara.

Akhirnya aku yang merasa berpengalaman menulis di masa lalu seperti amat kecil dibandingkan para penulis kompasiana. Mereka mempunyai energi luar biasa, pandai berkomunikasi, mempunyai wadah untuk berbagi dengan membentuk komunitas. Mula-mula aku terus terang minder dengan membaca tulisan teman-teman, tapi bagaimanapun menulis adalah sebuah panggilan hati, aku tidak peduli apakah tulisanku tidak dibaca atau terkomentari, yang penting menulis setelah itu semuanya diserahkan kepada forum pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun