Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Jakarta Itu Magnet, Anda Bisa Sukses atau Terlunta-lunta

9 Desember 2016   15:08 Diperbarui: 9 Desember 2016   16:44 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kfk kompas.com Kerasnya hidup di Jakarta

Saudara saya balik tanya, “Benar, sudah bulat kau tidak ingin tinggal di Jakarta?”

“Iya, Pak Lik, Mohon maaf jika merepotkan. Saya mohon beri informasi jika ada panggilan kerja sebab saya masih banyak lamaran saya belum dijawab.”

“Oke baiklah, kita sih terbuka jika masih ingin tinggal di sini.”

Pulanglah saya ke kampung halaman dengan wajah menunduk.

Pulang Kampung

Aktivitas di kampung saya padat. Menjadi pengajar ekstrakurikuler pencak silat, malam-malam kelayapan nonton kesenian tradisional, wayang, ketoprak dan ubrak-ubruk dengan seniman kampung belajar teater. Dengan status yang tersandang Penganggur “sibuk”

Jejak karya saya di majalah lokal Jogja tempat saya. Latihan nulis. Dokumentasi pribadi
Jejak karya saya di majalah lokal Jogja tempat saya. Latihan nulis. Dokumentasi pribadi
Di Gereja saya aktif ngompori teman-teman untuk menulis. Maka terbentuklah Majalah gereja yang dijual untuk aktifitas pemuda gereja. Majalah itu membuat saya terhibur setelah gagal menaklukkan Jakarta dengan kepala tertunduk. Saya seperti lebur dalam kesibukan seakan-akan menjadi seorang wartawan (padahal cuma sekelas kampret...eh kampung). Saya punya jabatan mentereng pemimpin redaksi majalah dan teman saya yang pernah bekerja di Gramedia Jakarta eks seminari, yang bagus dan ngganteng menjadi layouter dan  pengetik handal. 

Saya mengandalkan dia yang pengalaman kerja di Gramedia tentu paling tidak mengenal bagaimana mengelola majalah. Kami sering diskusi dan sedikit hiburan dengan minum bir, maklum teman-teman saya memang banyak yang pengangguran padahal sarjana lho. 

Kami dulu merasa tersisih dan risi oleh karena dalam keluarga merasa desa bukan tempatnya sarjana, sarjana ya harus merantau entah ke Jakarta entah ke kota lain yang penting kerja kantoran. Sebagai pengangguran saya terus terbesit untuk menulis dan dikirimkan ke majalah. Mulailah saya kirimkan tulisan ke majalah Praba. Bejone awak tulisan saya diterima, selama hampir setahun saya menjadi koresponden majalah itu dan gerilya ke kampung-kampung untuk mencari sasaran informasi yang akan dijadikan topik tulisan saya. 

Sayapun memutuskan membuat semacam feature bagi tokoh-tokoh yang dipandang tokoh dan bisa dijadikan teladan anak muda. Selama hampir setahun saya berkecimpung dalam dunia tulis menulis dan saya merasa seakan sudah seperti wartawan. Majalah jalan, honor jalan juga sales majalahpun jalan. Tapi tetap saja orang tua saya kurang sreg dengan pekerjaan saya sebagai kuli tinta yang honornya hanya cukup untuk dibuat beli gorengan dan bir.

Apalagi saya sering kelayapan malam, begadang bersama preman-preman yang akrab dengan dunia malam, pemalakan dan minum-minuman. Tentu orang tua mana yang tidak khawatir dengan model pergaulan saya waktu itu, ditambah dengan penampilan saya yang berambut gondrong, dengan baju yang tidak layak (maklum orang tua dua-duanya guru dan pegawai negeri pula, tentu penampilan menjadi sorotan juga). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun