Mohon tunggu...
Dwi Atmaja Nuladani
Dwi Atmaja Nuladani Mohon Tunggu... Administrasi - Life is Simple

Don't Forget Happy

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ironi Pendidikan Politik Indonesia sebagai Salah Satu Negara dengan Penerapan Demokrasi Terbesar

29 Juni 2022   12:25 Diperbarui: 29 Juni 2022   12:37 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik mulai dari masih sulitnya perputaran ekonomi pasca pandemi Covid-19, mulai dari berbagai kelangkaan barang-barang seperti minyak goreng yang mana harganya masih belum stabil hingga sekarang, sampai dengan belum selesainya konflik Rusia-Ukraina. 

Akhir-akhir ini media massa maupun media sosial kita disuguhi dengan riuh politik mulai dari reshuffle kabinet, antar partai merajut koalisi, sampai saling sindir antar ketua umum partai.

Rakyat yang seharusnya diberikan kebijakan dari pemerintah yang bagus untuk memulihkan kebutuhan ekonominya yang sebelumnya terkena dampak pandemi, malah dibuat gusar dengan tingkah laku elit politik pejabat yang sibuk dengan persiapan pemilu 2024. Bahkan banyak sekali gerakan yang tidak bertanggung jawab mengatasnamakan rakyat, gerakan ini menjamur diberbagai tempat. Yap, gerakan tersebut yaitu gerakan relawan para elit politik

Sebelum menjamurnya berbagai gerakan para elit politik, banyak sekali baliho tokoh-tokoh elit politik tersebar di berbagai daerah. Fenomena seperti ini sebenarnya sah-sah saja tetapi alangkah baiknya para elit politik mengesampingkan ego terlebih dahulu dan fokus membantu rakyat untuk memulihkan perekonomian.

Padahal apabila elit politik ikut andil dalam pemulihan ekonomi, hal ini juga sangat membantu untuk menaikkan elektabilitas mereka. Dalam hal ini tentunya apabila membantu masyarakat harus disertai dengan kebijakan yang sungguh-sungguh, bukan hanya pencitraan belaka apabila dilihat lewat media massa saja. Karena rakyat sudah tahu mana aksi yang pencitraan dan mana yang benar-benar membantu. Hal ini kadang terlihat melalui trending media sosial dan survey elektabilitas.

Meskipun sangat mustahil untuk menghilangkan penyakit para elit politik seperti pencitraan, akan tetapi rakyat berhak harus benar-benar jeli dalam melihat rekam jejak calon wakil rakyat sebelum pesta demokrasi 2024 bergulir. Karena tiap gelaran pesta demokrasi, kita selalu disuguhi "money politic" meski hal tersebut telah menjadi rahasia umum. 

Fenomena tersebut jadi semacam lingkaran setan yang mana telah menjadi budaya kita tiap tahun. Bahkan para elit semakin berani dalam mengubat peraturan-peraturan demi kepentingan mereka sendiri, contohnya peraturan Presidential Threshold 20%. Yang mana berpotensi menimbulkan calon yang mengakomodir kepentingan parpol saja.

Sedikit penulis mereview tentang setelah ditetapkannya aturan Presidential Threshold 20%. Yakni kita disuguhi para elit di media massa yang mana mereka sudah tidak terlihat malu lagi bahkan ditengah pandemi covid seharusnya berjuang bersama memulihkan ekonomi, para elit disibukkan menjalin koalisi antar partai. 

Hal ini tidak lain dikarenakan partai-partai menyiapkan amunisi strategi jelang 2024. Tentunya, dengan Presidential Threshold 20%, partai-partai akan lebih sibuk dan bekerja keras karena mereka butuh setidaknya minimal 20% suara untuk mencalonkan figur untuk pemilihan presiden 2024. Oleh karena itu jauh-jauh hari mulai dari tahun 2022 sekarang ini, mereka berlomba-lomba mencari kawan untuk berkoalisi.

Masih segar didalam ingatan kita saat pemilu 2019, masyarakat terbelah bahkan sampai ada yang saling berkelahi karena cuma hal sepele seperti berbeda dalam memilih. Fenomena-fenomena politik tadi menggambarkan betapa mirisnya pendidikan politik di Indinesia. Hal tersebut dikarenakan pendidikan politik masyarakat indonesia tergolong rendah.

Memang harus diakui tingkat partisipasi pemilu mengalami peningkatan mulai tahun 2014 dan meningkat drastis di tahun 2018 yakni sebesar 80% (dikutip dari sumber: kompas.tv). Akan tetapi, kita tidak bisa mengabaikan kualitas pendidikan demokrasi di masyarakat kita. Karena misalnya untuk memilih calon mereka cuma melihat figur, bahkan mengabaikan rekam jejak sang calon. 

Belum lagi untuk pemilihan wakil rakyat yakni DPR, hal ini dikarenakan di akar rumput masyarakat memilih asal ada uangnya. Hal ini yang perlu kita cermati, karena kejadian tersebut berulang-ulang dan akhirnya membudaya. 

Padahal mereka sudah tau dampaknya seperti apa kalau calonnya terpilih. Akan tetapi bisa jadi kenapa masyarakat lebih menerima uang untuk menyerahkan suara mereka untuk sang calon dikarenakan himpitan ekonomi. Bahkan generasi Z juga apatis terhadap politik, pemikiran generasi Z sangat pragmatis yaitu pemilihan umum bagi mereka tidak berdampak apapun pada kehidupan mereka. Pemikiran seperti ini harus kita rubah, karena kebijakan sentral pemerintah sangat berdampak didalam kebutuhan hidup sehari-hari kita. 

Hal ini menjadi PR kita bersama untuk gotong royong saling memberikan pendidikan politik terutama saat menjelang pendidikan demokrasi. Seperti membentuk relawan sendiri untuk sosialisasi pemilu, mengadakan debat antar pasangan timses calon di akar rumput, dll.

Yang menarik mengenai debat pasangan calon, penulis masih ingat apa yang dikatakan pengamat politik Rocky Gerung yakni Seharusnya apabila pasangan calon sedang memaparkan visi-misi melalui debat capres-cawapres, seharusnya hal ini dilaksanakan di Kampus. Karena kampus merupakan tempat yang bagus untuk diuji pemikiran dari sang calon, bukan diuji di panggung. Karena sistem debat sekarang tidak sampai pada adu argumen visi-misi dalam artian cuma seperti formalitas saja.

Andaikan debat capres-cawapres dilaksanakan di Kampus, pertanyaan yg dilemparkan untuk sang calon diberikan oleh mahasiswa dan disaksikan masyakarakat lewat televisi, tentunya akan menjadikan pendidikan politik yang sangat bagus. 

Secara tidak langsung selain memberikan pendidikan politik di lingkungan akademik, tetapi juga masyarakat lambat laun akan memahami tentang pendidikan politik. Karena dilaksanakan langsung di lingkungan akademisi, dan masyarakat mendapatkan akses pendidikan politik dari lingkungan akademisi secara gratis. Sehingga akan meningkatkan pemikiran kritis di kalangan masyarakat dan tentunya juga generasi Z, kampus sesuai dg selera generasi Z karena mayoritas generasi Z melanjutkan pendidikan di Kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun