Mohon tunggu...
Dwi Aprita Pakpahan
Dwi Aprita Pakpahan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Myanmar dalam Konflik Rohingya

8 Oktober 2022   08:19 Diperbarui: 8 Oktober 2022   08:31 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas Muslim yang telah hidup selama berabad-abad di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha sebelumnya dikenal sebagai Burma. Meskipun tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis resmi dan telah ditolak kewarganegaraannya sejak 1982, menjadikan mereka populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Sebagai populasi tanpa kewarganegaraan, keluarga Rohingya tidak mendapatkan hak dan perlindungan dasar dan sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan berbasis seksual dan gender (SGBV) dan pelecehan. Rohingya telah menderita puluhan tahun kekerasan, diskriminasi dan penganiayaan di Myanmar. Pengungsian terbesar mereka dimulai pada Agustus 2017 setelah gelombang kekerasan besar pecah di Negara Bagian Rakhine Myanmar. Seluruh desa dibakar habis, ribuan keluarga dibunuh atau dipisahkan dan pelanggaran HAM besar-besaran dilaporkan.

Indonesia juga berpartisipasi dalam penyelesaian sengketa. Peran utama yang dimainkan Indonesia melalui diplomasi kemanusiaan adalah pelaksanaan amanat konstitusi Indonesia untuk berkontribusi terhadap terciptanya perdamaian dunia, peran lain dari diplomasi kemanusiaan sebagai soft diplomacy dalam mendukung krisis kemanusiaan dan diplomasi kemanusiaan. Diplomasi kemanusiaan Indonesia dalam isu Rohingya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar politik dalam negeri yang mengutamakan perdamaian dunia, termasuk di Asia Tenggara. Dengan prinsip politik luar negeri ini, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyelesaikan insiden Rohingya, termasuk memberikan bantuan kemanusiaan mencari solusi politik. Menekankan kembali bahwa diplomasi kemanusiaan Indonesia terhadap Rohingya adalah kebijakan yang paling mendasar, dan bahwa Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan "untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.". Dengan demikian, jelas bahwa langkah-langkah sedang diambil untuk menjawab kebutuhan Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Indonesia tidak ingin menyelesaikan masalah Rohingya dengan pemerintah pusat, tetapi berusaha membangun jembatan komunikasi yang baik. Tujuannya adalah untuk bertukar pendapat untuk merumuskan kebijakan yang sejalan dengan aspirasi pemerintah pusat Myanmar.

Diplomasi kemanusiaan Indonesia untuk krisis kemanusiaan Rohingya di Rakhine State berfokus pada pengurangan beban kelompok etnis teraniaya dan peningkatan partisipasi publik untuk meringankan penderitaan Rohingya dari latar belakang agama. Isu identitas Islam juga penting dalam diplomasi kemanusiaan Indonesia, yang berujung pada berbagai langkah yang melibatkan kelompok masyarakat untuk membantu dalam bentuk pendanaan dan pembangunan rumah ibadah.

Isu kemanusiaan menjadi prioritas dalam menanggapi tragedi di Rakhine State, menurut serangkaian pernyataan Kementerian Luar Negeri RI. Kebijakan Indonesia dalam memberikan bantuan kemanusiaan adalah memprioritaskan kelompok etnis Rohingya, korban kekerasan, di atas kelompok etnis lain di Myanmar. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan fokus perhatian Indonesia adalah krisis kemanusiaan di Rakhine State.

Hal tersebut menjadi salah satu ciri politik luar negeri Indonesia dalam menanggapi kasus Rohingya dengan mengutamakan diplomasi kemanusiaan yang secara penuh difokuskan untuk meringankan penderitaan korban penindasam kekerasan, dan diskriminasi. Kebijakan tersebut terlihat dalam formula 4+1 dari Indonesia.

Pada 31 Agustus 2017 dilakukan pembentukan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Tujuan dari aliansi ini adalah untuk memberikan bantuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan bantuan. AKIM dikatakan telah menjanjikan dua juta dolar AS. Indonesia mendukung diplomasi kemanusiaannya dengan melibatkan LSM untuk menginformasikan Myanmar bahwa AKIM merupakan program yang dilindungi oleh Indonesia.

Bantuan kepada Rohingya berjumlah sekitar 74 ton berupa sembako, selimut, tempat penampungan air, dan tenda. Kementerian Kesehatan RI juga telah mengirimkan bantuan berupa pasokan medis massal kepada para pengungsi Rohingya yang tinggal di perbatasan Bangladesh-Myanmar, dan memberikan bantuan kemanusiaan. Dalam salah satu aksinya, ACT mengirimkan 2.000 ton beras ke daerah pengungsian Rohingya untuk menunjukkan pentingnya LSM dalam bantuan kemanusiaan. Selain LSM, ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah juga membantu warga Rohingya di kamp-kamp pengungsian.

Peran diplomasi kemanusiaan Indonesia dalam krisis Rohingya didasarkan tumpuan politik luar negeri yang membangun perdamaian dan diplomasi kemanusiaan yang komprehensif untuk mengurangi penderitaan korban Rohingya dan mencegah kekerasan lebih lanjut. Diplomasi kemanusiaan Indonesia juga dapat dikatakan sebagai wadah intelijen diplomasi, karena wadah ini akan memulai dialog dengan pemerintah Myanmar untuk memberikan solusi politik yang komprehensif. Bentuk penyelesaian politik Rohingya di Myanmar dan Asia Tenggara, yang dikemas dengan pendekatan kemanusiaan, telah membantu pemerintah Myanmar mencegah memburuknya situasi pengungsi dan korban kekerasan, serta mengirimkan pesan dari Myanmar kepada militer dan umat Buddha.

Diplomasi kemanusiaan Indonesia terhadap Myanmar juga meliputi proposal yang dikirim langsung ke pemerintah Myanmar. Ajuan yang dilakukan Indonesia ini, yang dikenal sebagai rumusan 4+1 untuk Rakhine, antara lain disampaikan kepada Aung San Suu Kyi dan Panglima TNI U Min Aung Hlaing. Dalam pertemuan dengan Suu Kyi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memaparkan penyelesaian sengketa di Rakhine State secara komprehensif. Formula 4+1 adalah tentang (i) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (ii) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (iii) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (iv) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan. Faktor kunci lainnya adalah implementasi segera dari rekomendasi laporan Advisory Commission Report for Rakhine State, yang dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal Kofi Annan.

Diplomasi kemanusiaan Indonesia di Myanmar dapat dilihat sebagai bentuk intervensi dalam urusan dalam negeri. Hal ini dapat dimaknakan sebagai pelanggaran terhadap prinsip dasar non-interferensi ASEAN. Lebih lanjut, Dr. Ian Montrana, Indonesia masih memiliki masalah separatisme di Papua yang akan menjadi bumerang jika negara-negara lain seperti Melanesian Spearhead Group (MSG) dan Australia membenarkan apa yang dilakukan Indonesia terhadap Myanmar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun