Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menulis itu Dunia Warga Biasa

16 November 2013   03:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:07 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Buku:Kompasiana Etalase Warga Biasa

Penulis:Pepih Nugraha

Penerbit:PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun :I, Oktober 2013

ISBN:978-979-22-9987-8

Tebal:xi+268

Harga:Rp80.000,00

[caption id="attachment_302095" align="aligncenter" width="482" caption="(Foto/Gambar: Facebook Pepih Nugraha)"][/caption]

Sebagai warga dunia maya, saya mencatatkan diri sebagai anggota Kompasiana pada 16 September 2012 dengan niat menjadi silent reader. Seiring berjalannya waktu ternyata saya tertarik turut berkomentar, menulis, kemudian menjalin pertemanan dengan anggota lain.Rentetan kejadian itu tak beda jauh dengan yang diungkapkan oleh Pepih Nugraha dalam Prolog buku baru besutannya Kompasiana Etalase Warga Biasa berikut ini. [caption id="attachment_302096" align="aligncenter" width="347" caption="Kover Buku Kompasiana Etalase Warga Biasa"]

1384566468897656015
1384566468897656015
[/caption]

Kompasiana sebagai etalase warga biasa, memungkinkan siapapun untuk melihat, membaca, dan menikmati setiap tulisan warga yang tampil. Siapapun bisa berbagi, tersambung dan berjejaring satu dengan anggota lainnya di etalase bernama Kompasiana ini. Pengguna tidak hanya sebatas melihat, membaca, dan menikmati, tetapi diharapkan juga mengisi etalase itu dengan tulisan yang sama, apapun jenisnya. Siapapun ketika sudah menjadi bagian dari etalase warga itu, “keajaiban” segera ditemukan dan didapatkan, setidak-tidaknya kecanduan menulis dan membaca serta berteman. (hlmn. xi)

"Keajaiban" itu bukan hanya terjadi pada saya tetapi juga ratusan ribu orang lain. Saat bab terakhir buku ditulis September 2013, jumlah anggota Kompasiana sudah di atas 200.000 orang. Demikian tercetak pada halaman 251. Disebut pula bahwa telah lahir dan tayangnya 866.767 tulisan dengan hampir 9 juta komentar. Wow, luar biasa riwayat Kompasiana kini! Blog sosial di bawah payung Kompas Cyber Media yang beralamat di http://kompasiana.com itu, sekarang ini telah menjadi besar dan disegani.

Tunggu! Nama besar Kompasiana bukan serta-merta ada. Semenjak kelahirannya, Mei 2008, ternyata blog bersama itu telah melewati perjalanan berat bahkan sempat tertatih seakan hampir mati. Kira-kira seperti itulah yang tertangkap lewat sebagian paparan buku Kompasiana Etalase Warga Biasa. Meski penulis tidak menganggap karyanya ini sebagai buku sejarah Kompasiana, nyatanya kisah kelahiran berikut perjalanan Kompasiana hingga tahun ke-5 tertuang relatif detail dalam buku yang terdiri atas 22 bab ini.

Pada bab pertama, Kang Pepih—sapaan akrab untuk Pepih Nugraha, wartawan Kompas pendiri Kompasiana—menyinggung betapa pada awal keberadaannya, Kompasiana dipandang sebelah mata dan dipertanyakan sebagian orang. Tak hanya pertanyaan apa dan mengapa, namun semacam gugatan pun pernah bergaung di ruang rapat Redaksi Harian Kompas. “Kalau tidak ada manfaatnya, bahkan keberadaannya malah merusak citra Harian Kompas, tutup saja Kompasiana.” (hlmn. 3) Namun, seperti hidup yang penuh pro-kontra, tak sedikit rekan jurnalis dan editor yang mendukung. Pepih yang membidani lahirnya Kompasiana pun tak bosan menjelaskan dan memperjuangkan eksistensi Kompasiana. The show must go on! Ia kukuh meneladan para pendiri Harian Kompas—yang dahulu pun sempat digugat dan dicemooh—dengan menegarkan hati dan meyakinkan diri bahwa pada masa sekarang “Kompasiana sebagai media warga adalah suatu keniscayaan” (hlmn. 7).

Selanjutnya, bab demi bab, penulis merunut perjalanan blog yang namanya diambil dari kolom bertajuk “Kompasiana” ciptaan pendiri Harian Kompas, Petrus Kanisius Ojong. Perjalanan Kompasiana dimulai sebagai blog para jurnalis Kompas yang juga mengundang penulis tamu (guest blogger)—umumnya para pesohor, seperti Jusuf Kalla dan Faisal Basri. Tak disangka, tulisan para jurnalis profesional yang tak termuat Kompas cetak menangguk antusiasme pembaca hingga mereka pun ramai berkomentar. Antusiasme itu lalu diapresiasi dengan dihadirkannya rubrik Gelar Komentar yang berisi postingan komentar para pembaca. Puncak “sejarah” terjadi saat Kompasiana dibuka untuk publik dan kemudian dikenal sebagai blog sosial (social blog), di manasiapapun yang teregistrasi berhak untuk tidak sekadar berkomentar tetapi juga mengirimkan tulisan.

[caption id="attachment_292530" align="aligncenter" width="535" caption="Ternyata nama "]

13845444001745123804
13845444001745123804
[/caption] Penuturan yang mendalam serta cair dan mengalir, membawa pembaca larut dalam kisah hingga seakan turut ambil bagian dalam setiap tahap perjalanan Kompasiana. Kegigihan dan ketekunan sang Pepih Nugraha sangat memotivasi pembaca. Dan kendati penulis menuturkan rasa kecewa dengan santun dan cerdas, pembaca masih juga dapat merasakan. Misalnya, saat pembaca tiba pada Bab 2 (Mulanya si Pemalu yang Malu-Malu). Ada suatu masa di mana blog yang digadang menampung tulisan para jurnalis beranjak sepi dan hanya terisi oleh tulisan-tulisan Kang Pepih hingga muncul olok-olok “Pepihsiana” atau “Pepih Kompasiana” sebagai plesetan namanya (hlmn. 10/19). Pembaca pun bisa ikut kecewa saat menyimak Bab 5 (Olok-Olok Senjakala Blog). Di sana diceritakan munculnya kontra dari seorang rekan. Dalam artikelnya rekan itu secara tak langsung “tidak mendukung” Kompasiana dengan beropini bahwa telah tiba masa senjakala bagi blog akibat hadirnya website bertipe portal berita. Konon lewat kutipan ditulis “olok-olok” berikut: “Kenapa membangun blog kalau bisa membangun portal? Blog itu mainan anak-anak, mulai sekarang tiap orang bisa memiliki portal.” (hlmn. 49). Namun pembaca bisa bernapas lega karena mendapati seorang Pepih selalu menganggap setiap olok-olok sebagai energi positif—sebuah tantangan. Langkah selanjutnya adalah tindakan pembuktian bahwa blog serta kegiatan blogging tak pernah mati dan Kompasiana yang diperjuangkannya adalah “sesuatu”.

1384545731834201708
1384545731834201708
Begitulah, pembaca akan menangkap gigihnya perjuangan “sang bidan” yang tak mau “bayi” yang ditangani kelahirannya mati sebelum tumbuh dewasa. Kesadaran akan pentingnya promosi, menggiringnya untuk mengabarkan kehadiran Kompasiana lewat sesama media online, seperti facebook, juga lewat spanduk, baliho, media elektronik, dan media cetak. Artikel bertajuk Kompasiana, Menulis Tanpa Editor yang dimuat Harian Kompas 9 Oktober 2009 (hlmn. 64–65) menjadi “iklan” pertama Kompasiana di media cetak yang cukup provokatif mengajak pembaca media arus utama itu menyambangi alamat http://www.kompasiana.com, yang kelak juga terhubung ke http://kompas.com. Apresiasi terhadap tren jaringan sosial berbasis internet dengan mengundang pembacanya untuk menjadi penulis, kolumnis, atau jurnalis segera meruntuhkan “tudingan feodal” sekaligus membawa Kompasiana menjadi blog publik yang sangat populer. Dan, tepat saat ulang tahun pertamanya, 22 Oktober 2009, sekonyong-konyong peringkat Kompasiana menanjak menduduki ranking 300 menurut situs pemeringkat Alexa.com (hlmn. 76).

[caption id="attachment_292531" align="aligncenter" width="567" caption="Kompasiana yang terlihat melesat di sitemeter situs pemeringkat Alexa.com"]

13845448511532405455
13845448511532405455
[/caption] Lewat buku ini pembaca juga disadarkan bahwa untuk mengembangkan Kompasiana sejak berupa “bayi merah” hingga menjadi besar seperti sekarang, tak hanya diperlukan kesabaran, ketekunan/kegigihan, dan ketegaran. Pembelajaran, kejelian analisis, dan kreativitas juga menjadi soko guru. Sejak langkah pertama seorang Pepih tak pernah berhenti mempelajari setiap aspek dan fenomena di media online, baik lewat pengalaman pribadi atau pihak-pihak lain, dari dalam maupun luar negeri. Dengan serius dikajinya fenomena Conversationalist hingga kelak menelurkan format tayangan artikel di Kompasiana yang menyediakan fitur komentar, balas, dan tanggapan sebagai wadah komunikasi antara penulis dan pembaca. Termasuk fitur share on facebook dan twitter. (Bab 7, Conversationalist Makhluk Baru di Dunia Maya, hlmn. 88-89). Tak kurang pula dilakukannya upaya pembandingan/benchmarking dengan blogger gaek sekelas Budi Putra; dengan media online lain yang bergerak di ranah citizen journalist blog, seperti OhmyNews (Korea Selatan), Stomp (Singapua), dan Panyingkul (Makassar), dll.; dan juga berinovasi dengan upaya peniruan/imitating tanpa maksud menjiplak (Bab 8, “Benchmarking”, “Imitating”, “Innovation”, hlmn. 90–103).

Dalam Bab 9 (Berikutnya: Berani Tampil Beda) penulis mengungkap bahwa blog sosial Kompasiana tumbuh besar tak lepas dari keunikannya. Ide Pepih menjadikan Kompasiana “berbeda” dan “tampil beda” berangkat dari slogan “Think Different” milik perusahaan Apple Computer yang sangat menginspirasinya. Awalnya, kekhasan Kompasianayang signifikan adalah statusnya sebagai journalist blog yang cenderung mengangkat cerita menarik di balik berita (behind the story). Hal yang juga sangat membedakan Kompasiana dari blog sosial lain yaitu tidak menggaji penulisnya; setiap penulis tampil dengan gayanya tanpa sentuhan editor; dan adanya tradisi pengintegrasian dengan Kompas versi cetak.

Blog gratisan sering dipandang sebelah mata, juga dianggap murahan dan kurang bermanfaat. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Kompasiana. Bahkan buku ini mengungkap setidaknya enam alasan mengapa Kompasiana sebagai “etalase” bagi Kompasianerperlu dimanfaatkan (hlmn. 146–148). Pertama, tulisan yang ditayangkan dijamin akan dibaca banyak orang karena Kompasianamemiliki jutaan pembaca setia. Kedua, potensi hadirnya komentar akan memicu semangat menulis. Ketiga, lewat tulisan yang ditayangkan dimungkinkan berjumpa dengan teman seminat dan membentuk komunitas. Keempat, tulisan menarik berpotensi menjadi investasi untuk kelak diterbitkan sebagai buku. Kelima, menulis di Kompasiana secara tak langsung mengantisipasi kepikunan karena otak terus-menerus diajak berpikir. Menulis juga bentuk terapi. Keenam, secara tak langsung menciptakan segmented personal branding yang diperlukan di zaman serba online.

Dahsyatnya keuntungan memanfaatkan Kompasiana bukan hanya iming-iming, sebab pengelola/admin juga membantu mewujudkan. Misalnya dengan menerbitkan topik tulisan tertentu sebagai buku. Admin juga mengupayakan pengelolaan tulisan Kompasianer dengan menciptakan jembatan dari online ke print dalam bentuk freez—majalah gratis yang bisa diperoleh atau dibaca di tempat-tempat tertentu seperti café, lobi hotel, atau tempat aktivitas menunggu lain (hlmn. 169). Meski sempat kandas, freez terealisasi sebagai lembaran “suplemen” Harian Kompas mulai 28 Juli 2011. Tak hanya itu! Lewat konsep jurnalisme hibrida (hybrid journalism), admin memperluas jangkauan pembaca Kompasianadengan menampilkan tulisan Kompasianer—setelah mendapat sentuhan editor—pada platform online lain, dalam hal ini Kompas.com.

[caption id="attachment_292532" align="aligncenter" width="454" caption="Halaman "]

13845450201977653532
13845450201977653532
[/caption]

Kompasiana Etalase Warga Biasa bukan buku panduan praktis menggunakan Kompasiana. Bukan! Demikian pengakuan penulis. Namun pembaca boleh menyangkalnya, sebab dengan membaca buku ini secara utuh kita bisa memahami seluk-beluk Kompasiana dan bagaimana seharusnya menjadi Kompasianer. Catat beberapa di antaranya! Platform Kompasiana adalah MENULIS, dengan semboyan “SHARING, CONNECTING”. Siapa pun yang telah teregistrasi (menjadi Kompasianer) boleh menulis apa pun—opini, jurnal, fiksi, juga berita—dengan mengedepankan semangat berbagi tanpa pamrih. Orisinalitas konten serta larangan mengklaim tulisan orang lain adalah mutlak. Lewat komentar atau pertemanan para Kompasianer akan tersambung dengan siapa saja yang diinginkan. Pembaca bisa mengenal Kompasianer yang populer di balik suatu tulisan atau memecahkan suatu rekor. Tak ketinggalan Kompasianer yang mula-mula meramaikan Kompasiana (hlmn. 252-263). Dalam berbagai bagian juga disinggung sopan santun berinternet (netiket) bahkan diangkat pula 9 poin Sianatiquette—bersopan-santun di Kompasiana—ala seorang Kompasianer (hlmn. 143). Pengalaman Kompasianer terkait tulisan yang ditayangkan juga bisa menjadi pembelajaran terutama saat bersentuhan dengan ranah hukum. Tak ketinggalan informasi mengenai berbagai even yang diadakan, seperti gathering/kopdar (Nangkring Kompasiana, Kompasianival, dll.), komunitas, blogshop, berbagai lomba, dan sebagainya.

13845454052047572630
13845454052047572630

(kiri) 9 poin Sianatiquette & (kanan) Daftar awal Kompasianer

Buku yang diakui penulisnya sebagai sharing pengalaman dalam membangun dan mengembangkan media sosial khas Indonesia ini, juga bisa terasa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas amanah yang diterimanya. Kang Pepih—sebagai founder sekaligus admin Kompasiana—telah menyerahkan tongkat estafet pada generasi berikut dan pamit undur diri. Kelak ia tak lagi mengurus Kompasiana, sebab tugas baru telah menanti. Konon ia ingin menyaksikan dari jauh terwujudnya banyak mimpi atas social blog yang sangat dicintainya itu.

Saya masih ingin menyaksikan mimpi-mimpi besar Kompasiana lainnya mewujud, termasuk membentuk komunitas warga Kompasianer yang solid di berbagai wilayah dan belahan dunia melalui kegiatan blogshop dan kopi darat lainnya. Saya masih ingin menyaksikan lahirnya para penulis besar dan berbakat dari Kompasiana lewat buku-buku mereka. … . (hlmn. 243)

Impian seorang Pepih Nugraha tidaklah berlebihan. Sesungguhnya, menulis bukan monopoli jurnalis atau kolomnis. Menulis adalah "pekerjaan" orang-orang biasa, warga pada umumnya yang bukan berprofesi sebagai jurnalis atau penulis (hlmn. 6). Menulis itu dunia warga biasa. (@dwiklarasari)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun