Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merindu Abimanyu (Bagian 2)

5 September 2020   13:19 Diperbarui: 6 September 2020   08:35 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Enrique Meseguer -- pixabay.com (with photo filter)

Silakan baca kisah sebelumnya: "Merindu Abimanyu (Bagian 1)"

PAGI BELUM LAGI TERANG dan udara pun masih sangat lembab. Halimun menghalangi pandangan serta menyelimuti rumahku yang belum terbuka. 

Kuamati pohon kamboja di sudut halaman. Pucuk batangnya melengkung karena sarat oleh bunga. Di bawah kamboja terdapat kandang ayam kate. Sepertinya tempat itu memang sangat pas untuk piaraan Abi tersebut.

Di sisi lain halaman berdiri tegak pohon kiara payung. Batangnya dibalut aneka anggrek dan sirih belanda berdaun selebar talam. Tanaman sutera bombay rimbun menutup tanah yang melingkari dasar pohon. Bunganya belum lagi mekar karena masih terlalu pagi. Biasanya menunggu mentari meninggi sekitar pukul sembilan atau sepuluh.

Tiba-tiba guguran daun kiara payung menarik perhatianku. Daun berwarna kecokelatan serupa batang es krim itu membawa ingatanku kepada Abi. Bukan karena Abi menyukai es berbahan susu itu, tetapi karena dahulu ia selalu enggan jika kuminta bantuan membersihkan dedaunan kering tersebut.

 

'Kenapa tidak kita biarkan saja menjadi humus, sih?', begitu Abi selalu menggerutu bila kuminta menyapu halaman. 

 

Lalu kujelaskan panjang lebar bahwa memang begitulah rencanaku. Hanya saja, dedaunan itu harus dikumpulkan dulu di satu tempat, yaitu lubang yang dibuat Mang Sapto. Nanti secara bertahap akan ditimbun dengan tanah, lapis demi lapis. Jadi, selain mendapatkan humus halaman kebun juga terlihat tetap bersih. Namun sejelas apa pun kuuraikan rencana dan maksudku, Abi tetap saja menolak sapu yang kusodorkan.

 

'Oh my God! Tidakkah aku terlihat aneh, Bun? Apa nanti kata para gadis jika melihat pria tampan menyapu terbungkuk-bungkuk?' Sederet kalimat itulah yang selalu menjadi senjatanya. Biasanya aku hanya tersenyum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun