Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi | Spiritualisme dalam Profesi Wong Cilik

29 November 2018   11:19 Diperbarui: 29 November 2018   11:48 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Selama ini apakah ada anak-anak kita yang bercita-cita menjadi petani? Saya kira jarang, bahkan mungkin tidak ada lagi. Mereka yang jadi petani umumnya orang-orang yang terpaksa. Bukan karena pilihan, atau tuntutan dari hati sanubarinya yang terdalam." (hlm. 273) Demikian dituturkan Pak Rakijan, Letnan Dua (purnawirawan) yang selepas dinas ketentaraan memutuskan bertani di pelosok desa.

Kisah ini mencengangkan, karena petani tradisional bukan pekerjaan bergengsi. Alih-alih hidup terhormat Pak Rakijan memilih "turun derajat" menghayati kesahajaan dan spiritualisme profesi yang terkandung dalam pekerjaan "wong cilik" ini. "Maka, ingin saya mewujudkannya, yaitu bagaimana hidup dengan menghormati alam seisinya ini, termasuk lumpur dan keringat yang senantiasa dicuci setiap hari. Bukan hanya menghormati pangkat dan materi duniawi belaka." (hlm.270)  

Wong cilik (orang kecil) dalam tradisi Jawa adalah masyarakat kebanyakan dengan kehidupan sederhana dan bersahaja. Jadi, wong cilik belum tentu miskin. Dalam bukunya "Profesi Wong Cilik" ini, Iman Budhi Santosa mengkaji sejumlah pekerjaan tradisional yang masih bertahan di tengah arus modernisasi dan kemajuan zaman. Petani tradisional seperti Pak Rakijan hanyalah salah satunya.

Profesi wong cilik lain, misalnya pembantu rumah tangga, tukang becak, dukun bayi, dukun pijat, juru kunci makam, pemanjat kelapa, penggergaji kayu, penggali sumur, kuli panggul, pemetik teh, tukang jagal sapi, pandai besi, tukang cukur, bakul jamu, juga abdi dalem keraton. Sebagian besar profesi tersebut masih dapat dijumpai, hingga kini terutama di kota kecil dan perdesaan. Penulis mengambil Pulau Jawa sebagai daerah penelitian.      

Menurut penulis, dalam pekerjaan tradisional milik wong cilik terkandung nilai-nilai yang masih sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan modern. Misalnya, cara wong cilik memaknai rezeki; loyalitas atau kesetiaan; tepa selira (mengukur segala sesuatu sesuai ukuran diri kita); toleransi, kegotongroyongan, dan kebersamaan---merasa senasib sepenanggungan; dan sebagainya.

Karena itulah, wujud kebudayaan wong cilik, hubungannya dengan mata pencaharian tradisional, dapat digali dan dikaji lewat spiritualisme mereka yang mampu menyalakan vitalitas positif di dalam posisinya yang marjinal itu. (hlm. 5)

Cara pekerja tradisional memaknai rezeki layak jadi panutan. Rezeki bukan semata-mata dari pekerjaan, tetapi berasal dari Tuhan. Dengan spiritualisme demikian, mereka bekerja bukan semata-mata demi uang. Tak heran bila di kota-kota kecil, masih dijumpai tukang becak, dukun pijat, atau pekerja tradisional mengatakan "sumangga kersa" saat ditanya tarif. Namun, tarif "sumangga kersa"---yang berarti "seikhlasnya"---tidak mengurangi ketulusan dalam bekerja atau memberi pelayanan. Hal ini senada dengan ungkapan seorang penggergaji kayu dari Babadan: "Entah besar entah kecil, upah kerja itu saya anggap rezeki. Rezeki pemberian Tuhan. Perkebunan atau siapa saja itu hanya lantaran agar rezeki tersebut sampai pada saya. Jadi, karena upah kerja itu saya anggap rezeki, saya pantang menolaknya. Berapa pun akan saya terima, sebagai wujud syukur kepada-Nya." (hlm. 177)

Penulis juga memberi contoh bagaimana seorang dukun bayi berpedoman pada kaidah "tulung bayi" artinya, tanggung jawab utamanya menolong kelahiran bayi dengan selamat, bukan semata-mata mencari nafkah. Di perdesaan, para dukun bayi rela dijemput tengah malam untuk menolong kelahiran bayi tanpa tahu berapa besar bayaran yang akan diterima. Konon mereka pun tak mengeluh bila dibayar kemudian hari dengan cara diangsur, atau dibayar bukan dengan uang.    

Di bagian lain Iman mengisahkan bagaimana para kuli pasar atau kuli angkut berburu beban. Secara spiritual, para kuli bukan sekadar mencari nafkah dengan menjual jasa memanggul barang orang lain. Utamanya, mereka berburu kepercayaan; dan menumbuhkan kepercayaan pada pelanggan bukan hal gampang. Kepercayaan bagi seorang kuli angkut bukan semata kekuatan otot-fisik, tetapi terutama menyangkut kejujuran. Meraih kepercayaan orang Jawa memang gampang-gampang susah. Gampangnya, sekali mereka percaya dan yakin si kuli jujur dan pekerjaannya memuaskan. Yang bersangkutan akan dicari lagi ketika memerlukan tenaga di lain kesempatan. Namun jangan tanya, sekali mereka tidak percaya atau pernah merasa dirugikan, sampai kapan pun yang bersangkutan akan dicireni (dicap) buruk dan sikap seperti itu sukar disembuhkan. (hlm. 187) Selain jujur, mereka juga dituntut setia menunggu hingga ada yang menggunakan jasa mereka. Kuli angkut biasanya terorganisir. Mereka yang meninggalkan tempat kerja saat sedang sepi order bisa dianggap tidak setia dan boleh jadi tidak dipakai lagi.  

Betapa pun demikian, di kalangan wong cilik rasa senasib sepenanggungan senantiasa dijunjung tinggi. Masih tentang kuli pasar, mereka cenderung berbagi pekerjaan. Tidak serakah. Karena mereka yakin rezeki tersebut bukan milik perorangan melainkan milik bersama. Kuli yang rakus justru akan merugi, sebagaimana tuturan seorang kuli pasar di Karanganyar: "Boleh-boleh saja seorang kuli membongkar semen 2-3 truk sendirian, dan buruhannya dimakan sendiri. Toh, perbuatan seperti itu tidak berlangsung lama. Karena yang bersangkutan tak mungkin kuat menjalani sampai sebulan. Bulan berikutnya badannya tentu sudah bobrok." (hlm. 188)  

Perkembangan zaman disertai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara signifikan. Modernisasi dan industrialisasi tidak hanya mengubah wajah fisik dunia, tetapi juga kehidupan masyarakat. Transformasi budaya tak terelakkan dan persaingan hidup makin keras. Dalam kondisi demikian, sungguh tidak mudah memahami spiritualisme kerja wong cilik. Namun, justru di sini tantangannya. Bagaimana kita dapat belajar spiritualitas kerja dari profesi wong cilik tersebut? Membaca buku ini agaknya perlu, terutama bagi kita yang bekerja dalam lingkup dunia modern dengan pekerjaan-pekerjaan berorientasi teknologi dan industri. Bukan tidak mungkin spiritualisme kerja wong cilik mampu membuka dan memperluas wawasan kerja kita, agar tidak mudah mengalami kejutan budaya akibat mekanisme kerja di era modern ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun