Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Papeda di Hari Kesaktian Pancasila

1 Oktober 2013   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14121365251659615983

di dapur, terdengar para oma ramai-ramai memasak papeda
sedang beta di balik meja berupaya menata dan merancang kata
beta hirup aroma kuah kuning yang mengembara hingga meja kerja
seraya menyimpan terka kapankah kiranya mereka panggil nama beta
lalu berkata "Ayo Nak kita sukaria bersama melahap papeda bercita rasa!"

Puisi yang tidak puitis itu tercipta begitu saja saat tercium aroma kuah kuning berbumbu rempah yang menguar hingga ke kamar saya di lantai dua. Begitulah! Sedari pagi sudah saya dengar keributan dari percakapan beberapa orang ibu di rumah Bibi di mana saya menumpang. Sejak beberapa hari sebelumnya mereka yang tinggal dalam satu RW itu sudah sepakat untuk memasak papeda. Di rumah Bibiku sudah menyiapkan ikan. Ada ibu yang membawa sepanci tepung sagu, bumbu, dll. Tunggu! Mungkinkah ada di antara Anda belum mengenal papeda? Jika ada, izinkan saya sedikit bercerita apa yang saya ketahui tentang makanan unik itu.

Papeda adalah sejenis bubur, makanan khas masyarakat Maluku dan Papua, yang dibuat dari tepung sagu. Bubur papeda memiliki tekstur kenyal serupa dengan lem kanji yang sering kita jumpai di kantor pos sebagai perekat perangko. Saking kenyalnya, diperlukan dua sumpit untuk mengangkatnya dari wadah. Bukan menggunakan sendok atau centong seperti mengambil nasi atau bubur jenis lain. Nah, untuk menikmatinya bubur sagu ini harus dipadukan dengan kuah kuning, yaitu kaldu ikan tongkol—atau ikan lain seperti kakap, gabus, kue, dll. Kuah kuning berbumbu rempah-rempah terutama kunyit dan jeruk nipis sehingga bercita rasa asam. Aroma kuah kuning sangat tajam. Setiap kali para ibu memasak papeda di rumah, aroma itu selalu menimbulkan kecamuk dalam perut dan hati saya. Tentu saja karena tak sabar untuk segera menikmatinya.

Entah bagaimana, bersamaan dengan terciumnya aroma kuah kuning tadi saya teringat bahwa hari ini adalah tanggal bersejarah. Hari Kesaktian Pancasila! Seharusnya saya menulis tentang Pancasila. Ah tidak! Sejak mencium aroma kuah kuning saya sudah berniat menulis tentang papeda. Apalagi sudah tercipta sebait puisi bernuansa papeda! Tapi tidak menulis sebaris kalimat pun di hari bersejarah ini sungguh terasa kurang afdol, batinku. Hanya saja, mengulas sejarah falsafah sekaligus dasar negara ini bukan persoalan gampang, perlu referensi yang cukup dan akurat serta mood yang baik. Saya gamang!

Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah dapur memanggil saya untuk turun menikmati papeda. Dari logat Ambon yang sangat kental, saya tahu siapa yang memanggil. Beliau itulah chef yang memimpin acara masak papeda hari ini. Karena masih memikirkan ide tulisan, saya hanya menjawab “Sebentar!” tanpa beranjak. Tak lama kemudian terdengar panggilan kedua. Kali ini beraksen Toba. Lalu menyusul teriakan Bibiku dalam logat Karo. Akhirnya saya pun yang berdarah Jawa turun memenuhi undangan para ibu yang baik hati itu. Dan ternyata, di bawah sudah hadir juga seorang ibu yang tinggal di samping rumah kami, beliau itu orang Manado. Jadi berkumpullah kami orang-orang Ambon, Batak Toba, Batak Karo, Manado, dan Jawa, untuk menikmati papeda bercitarasa kuah kuning ikan tongkol yang sangat segar. Hhmm.. sedap! 

Di tengah kegembiraan kami melahap papeda, saya asyik mendengarkan ibu-ibu bercerita ngalor-ngidul! Ibu yang baru pertama kali merasakan papeda bertanya ini-itu. Lalu Oma dari Ambon bercerita tentang makanan khas keluarganya itu. Berlanjut dengan kisah rute perjalanan menuju tanah kelahirannya di timur Indonesia. Entah bagaimana tiba-tiba kami sudah membicarakan bubur manado dan rencana kapan memasaknya. Sekonyong-konyong kisah terkait Pulau Andalas pun bergema. Selanjutnya, masing-masing berkisah ini-itu tentang kekhasan sukunya. Ah sayang sekali, tetangga depan rumah yang orang Minang sedang tidak ada, yang Sunda dan Betawi juga tidak turut serta. Dalam hati saya tersenyum. Tak disangka, sepanci papeda rupanya telah membawa pemaknaan akan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Haha… saya berlebihan ya? Bisa jadi! Mungkin karena saya terobsesi menulis sesuatu tentang Pancasila di Hari Kesaktian Pancasila!

Namun bila direnungkan hal sederhana itu sebenarnya cukup berarti juga. Bagaimanapun, Pancasila memiliki banyak makna bagi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin kita tidak selalu harus memikirkan Pancasila sebagai sesuatu yang besar di negara yang sangat luas ini. Biarlah sesekali kita serahkan urusan negara yang rumit itu pada mereka yang berkompeten. Tentu bukan berarti kita tidak peduli! Kita bisa mendukung dari bawah di lingkungan kecil (RT/RW) dengan melakukan hal-hal yang meskipun sederhana tetapi bermakna besar. Dalam istilah populer sebutlah itu: mengamalkan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila di masyarakat terkecil. Contohnya, dalam kehidupan bermasyarakat—terutama di lingkungan multikultural—di mana terdapat elemen-elemen pembentuk negara seperti ras, suku, agama, dan golongan yang beragam, kita bisa menjaga agar tercipta rasa aman tentram. Mengupayakan yang beragam sebagai satu kesatuan—berbeda-beda tetapi satu—laiknya slogan Bhinneka Tunggal Ika di kaki Garuda. Sebab di sana terkandung nilai moralitas, kemanusian, keadilan, persatuan, juga demokrasi.

Sebenarnya papeda sendiri rasanya hambar. Papeda hanya terasa lezat apabila dimakan dengan kuah kuning ikan tongkol, dsb. atau sayur khas lain. Jadi kelezatan papeda tak bisa dipisahkan dari kuah/sayur pelengkapnya. Demikian pula Indonesia! Negeri kita ini terlihat dan terdengar indah di mata dunia karena menyatunya beragam suku, ras, agama, dan golongan. Bisa jadi Indonesia tak seindah ini bila hanya dihuni oleh satu suku, satu bahasa, ataupun satu agama. Kita bersyukur Pancasila hadir sebagai pemersatu segala perbedaan itu. Dan konon, cara paling gampang menjaga kesaktian Pancasila adalah dengan mengamalkannya. [@dwiklarasari]

.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun