Mohon tunggu...
Dwi Setyo Sulistyono
Dwi Setyo Sulistyono Mohon Tunggu... Lainnya - Writing Enthusiast

Menjadikan menulis sebagai gaya berekspresi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Hoaks Menjelang Pemilu, Bukti Kebebasan Pendapat Sudah Melampaui Batas?

25 Februari 2019   18:16 Diperbarui: 25 Februari 2019   18:25 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia pertama kali mengadakan pemilu pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan badan konstituante. Peristiwa bersejarah ini memberikan harapan bagi rakyat Indonesia atas kekhawatiran mereka terhadap stabilitas NKRI sekaligus menjadi pesta demokrasi di ulang tahun Indonesia yang ke-10. Menjelang pemilu pertama ini, rakyat Indonesia dihebohkan dengan berita-berita pasukan khusus berkulit putih yang sedang bersiap-siap menyerang Indonesia menggunakan kapal selam dan bersembunyi di gunung-gunung untuk mengacaukan ketenangan rakyat Indonesia. Mengingat pada kejadian tersebut, banyak rakyat Indonesia yang masih mengalami buta huruf sehingga mereka dengan cepatnya terpengaruh oleh berita-berita yang bermunculan. Puncaknya, ketika muncul berita keracunan makanan yang membuat keresahan dan ketakutan rakyat Indonesia serta mengakibatkan ditutupnya toko-toko dan terjadinya penimbunan barang dagangan. Berita yang menghiasi pemilu pertama di Indonesia tersebut merupakan berita bohong (hoax) dan memberikan dampak psikologis pada masyarakat yang menganggap hidup mereka mulai terancam. Padahal kala itu teknologi/media belum berkembang secanggih sekarang ini, namun lemahnya pendidikan menjadi jurang bagi rakyat Indonesia dalam menanggapi berita-berita yang terus bermunculan.

Permasalahan penyebaran berita bohong atau hoax ini sejatinya bukan hal yang baru dalam proses pemilihan umum di Indonesia. Hoax merupakan berita tidak benar yang dibuat seolah-olah menjadi berita sebenarnya. Dalam pemilu sendiri, hoax sering dijadikan propaganda untuk melemahkan dan menjatuhkan orang lain melalui penyebaran-penyebaran berita yang bersifat negatif dan provokatif. Dampak dari adanya hoax ini tentu saja dapat menciptakan permusuhan dan saling serang antar pihak yang pro dan kontra terhadap berita tersebut. Apalagi dengan perkembangan teknologi digital seperti media sosial semakin memudahkan seseorang untuk menciptakan opini sesuka mereka sendiri dan menggiring publik pada situasi yang membingungkan. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang pemilihan pemimpin lima tahun kedepan seolah-olah menjadi sebuah ajang buka aib yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.  Pada awal tahun 2019 ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) sudah mengidentifikasi 62 konten hoax mengenai pemilu tahun 2019 dan konten yang terindikasi hoax diakses melalui portal kominfo.go.id dan stophoax.id. Di sinilah kemampuan masyarakat dalam menilai dan menyaring berita-berita sangat dibutuhkan untuk mengatasi dampak negatif dari penyebaran berita hoax. Selain itu, kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari media digital juga harus ditunjang dengan literasi media/digital yang dapat membantu masyarakat dalam menemukan kebenaran informasi dan memilih media yang tepat atas segala informasi yang beredar di internet. Lalu, benarkah hoax merupakan bukti kebebasan berpendapat yang melampaui batas di era digital sekarang ini ?

Hak kebebasan berpendapat sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Artinya, setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya di depan umum sebagai wujud dari implementasi hak asasi manusia mereka. Oleh karena itu, banyak sekali orang-orang yang menggunakan kebebasan berpendapat ini sebagai benteng mereka dalam menyebarkan berita-berita di media digital. Tetapi, bukankah berita khususnya hoax merupakan wujud dari kebebasan pendapat yang tidak bertanggung jawab dan cenderung menyembunyikan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang beretika dan menjunjung nilai persatuan ? Pemilu yang menjadi kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang dapat memberikan perubahan bagi Indonesia, sekarang ini malah dijadikan kompetisi perang pendapat antar masyarakat. Apalagi hoax-hoax yang diciptakan ini tak jarang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang merasa kalah dan iri akan prestasi calon pemimpin Indonesia. Kebebasan pendapat yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah, malah digunakan untuk menciptakan masalah yang sangat merugikan bagi bangsa Indonesia. Padahal dengan kebebasan pendapat yang dimiliki, kita dapat membantu Indonesia untuk memperbaiki sektor-sektor yang masih tertinggal seperti pertanian, ekonomi, pariwisata, infrastruktur, dan lainnya. Caranya dengan menciptakan inovasi teknologi, sistem promosi wisata daerah, meningkatkan pertumbuhan umkm, dan ikut mengawasi seluruh pembangunan yang terintegrasi. Hoax adalah bentuk keluhan yang tidak mendasar dan tidak bisa menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya, hoax dapat menimbulkan keresahan, ketakutan, dan rasa tidak aman atas negara ini sehingga akan menimbulkan tindakan yang bersifat anarkis dan menolak segala kebijakan yang sejatinya digunakan untuk membangun aspek kehidupan negara ini. Melalui pemilu inilah, kita dapat menilai bagaimana calon pemimpin negara ini dapat menyampaikan rencananya dalam membangun seluruh sektor di Indonesia lima tahun kedepan.

Hoax merupakan wujud dari ketidakmampuan seseorang dalam menerima kondisi yang mereka hadapi dan berusaha dengan cara apapun untuk memperkuat dominasi mereka. Hoax yang diciptakan menjelang pemilu ini merupakan buntut dari kekesalan, kekecewaan, dan sikap menolak atas perbuatan orang lain yang dianggap merugikan mereka. Namun, sepatutnya kita harus saling mendukung terselenggaranya pesta demokrasi ini dengan tidak menciptakan opini-opini yang meresahkan masyarakat sehingga proses pemilu ini dapat berjalan dengan baik tanpa provokasi apapun. Pemilu adalah kesempatan bagi kita untuk memilih pemimpin yang siap mampu membangun dan memajukan bangsa ini atas kepentingan bersama. Jangan jadikan hoax sebagai alat balas dendam ataupun senjata untuk saling menjatuhkan, karena hal tersebut hanya akan mengubur harapan masyarakat Indonesia bagi kemajuan negara ini. Selain itu, sinergi antar masyarakat Indonesia sangat diperlukan untuk memberantas hoax yang terus diciptakan untuk mengganggu stabilitas negara ini. Kita juga harus menghormati hak berpendapat antar individu walaupun ada yang berbeda dengan pendirian kita, karena tugas kita bukanlah memberantas hak mereka untuk berpendapat. Jadi, mari kita kawal pemilu tahun 2019 ini dengan bersama-sama menjaga persatuan dan kesatuan tanpa menciptakan berita bohong yang dapat melemahkan jati diri bangsa ini.

Sabrina, Anisa Rizki. Literasi Digital Sebagai Upaya Preventif Menanggulangi Hoax. Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada.

refrensi: detik.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun