Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Toleransi itu: Bagiku Agamaku Bagimu Agamamu

17 April 2022   22:39 Diperbarui: 17 April 2022   22:43 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Al Akbar dan Gereja Katolik Sakramen Maha Kudus. Sumber IG aslisuroboyo

Toleransi, berasal dari kata dasar toleran. Jika diartikan kurang lebih bermakna tenggang rasa, memahami dan menghormati perbedaan baik antar individu maupun kelompok. Meski perbedaan bisa tentang perbedaan jenis kelamin, usia, suku, ras, agama namun yang paling dominan diperbincangkan adalah toleransi antar umat beragama.

Mungkin hingga akhir dunia, pembahasan sekaligus perdebatan tentang agama tak akan pernah pudar terkikis masa. Apalagi ditambah dengan adanya media sosial. Isu dan masalah tentang agama bisa seperti bensin yang siap menyambar jika ada percikan api meski kecil sekali. Sebab sudah fitrah manusia merasa paling benar sendiri. Sah aja sih, asal perasaan paling benar tak perlu disiarkan bahkan dijadikan bahan perdebatan dan pertikaian sana sini.

Buat saya pribadi, toleransi antar umat beragama dapat diwujudkan dengan saling menghargai, memberikan kesempatan beribadah tanpa harus melompat pagar. Ibarat tempat tinggal, setiap orang merasa nyaman dengan rumah yang menaungi, menghias dengan budi pekerti agar orang lain, tetangganya juga merasa nyaman ketika bersosialisasi. Rasanya tak perlu jika tanpa diminta, kita lompat pagar rumah tetangga lalu melakukan koreksi, renovasi di tempat yang bukan rumah sendiri.

Bicara masalah toleransi beragama, saya teringat teman satu tim kerja saat masih berkarir di sebuah perusahaan pelayaran sekitar dua puluh tahun lalu.

Sebut saja namanya Ricky, kumisnya mirip-mirip Freddy Mercury. Dia Katolik tulen yang merayakan paskah dan natal, saya merayakan Idulfitri. Sebagai teman satu tim, kami cukup dekat dan menjalin kerja sama yang kuat. Meski berbeda keyakinan, kami sepakat tak perlu lompat pagar. Ricky pernah curhat belum bisa move on dari sang mantan yang keyakinannya sama dengan saya. Dan gak pada tempatnya kalau saya menyarankan padanya untuk pindah agama. Saya cukup mendengarkan keluh kesahnya dan berkomentar: berarti memang bukan jodohmu, membangun rumah tangga di atas pondasi keyakinan berbeda tidaklah mudah.

Ricky dalam tim kerja berperan sebagai marketing yang harus sering keluar menemui customer untuk menjaga tali silaturahim, mempelajari kemungkinan prospek kerja sama baru. Saya bertugas sebagai admin marketing yang mensupport kerja marketing di belakang meja. Menyusun report, menerima telepon customer, koresponden dengan agent di luar negeri, support antar departemen begitulah tugas saya saat itu. Sesekali saya menemani Ricky menemui customer atau meeting di luar. Jika ia berlibur akhir tahun sekaligus liburan natal selama minimal sepekan, saya memback up dan menggantikan pekerjaannya tanpa keberatan.

Pernah sekali waktu kami harus ke luar kota, karena pabrik customer berada di Mojokerto, sekitar 60 km dari kantor tempat kerja kami di Surabaya. Sepulang kunjungan, mampir makan sate kerang, laper dong. Eh usai makan lirik arloji waktu dhuhur udah kelewat banget. Kalau menunda sholat, nunggu sampai tiba di kantor di ujung Surabaya bisa-bisa masuk waktu Ashar. Sementara untuk menjama' sholat rasanya kurang sreg juga, karena bawa kendaraan kantor kan bisa mampir masjid. Tapi saya juga ragu, apakah kira-kira Ricky mau mengantar saya ke masjid atau mushola. "Rick waktu sholat dhuhur hampir habis nih. Kamu keberatan apa nggak nih ngantar aku sholat ke masjid terdekat? Tanyaku sedikit ragu. Tanpa diduga dia manggut-manggut, "Kita ke Masjid Al Akbar saja, nyaman dan luas" sahutnya cepat.

Usai makan meluncurlah kami ke Masjid Al Akbar. Saya kira Ricky menunggu di dalam mobil di parkiran, ternyata dia ikut menuju masjid. "Biar kamu ngga buru-buru, saya juga bisa istirahat sebentar," katanya. Tanpa saya minta dia menghentikan langkah sebelum tulisan batas suci, kemudian melepas sepatu dan kaos kaki. Lalu ia duduk di teras masjid sementara saya menuju ruang wudhu untuk kemudian masuk masjid.

Kami ngobrol ringan menuju perjalanan ke kantor. Tentang sejarah Masjid Al Akbar yang berada tepat di seberang Gereja Katolik Sakramen Maha Kudus. Indahnya menyelami makna filosofi dua tempat ibadah berbeda yang berdiri berdampingan. Tanpa penganutnya berusaha menyeberang pagar yang berpotensi menimbulkan kegaduhan. Masjid Al Akbar dan Gereja Katolik Sakramen Maha Kudus ini disepakati berdiri dan diresmikan secara bersamaan pada tanggal 10 November 2000 oleh Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid, sebagai simbol kerukunan umat beragama di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Toleransi itu, bagiku agamaku, bagimu agamamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun