Masa kecil adalah bagian dari kehidupan yang membentuk kita di masa sekarang. Kebiasaan di masa kecil akan terbawa hingga dewasa dan berperan dalam gaya hidup dan cara kita menyikapi suatu masalah. Jika masa kecil dilalui dengan kepedihan, seseorang akan tumbuh dalam ketakutan dan gangguan emosional. Jika masa kecil seseorang penuh kegembiraan dan sukacita begitu pula ia tumbuh ketika dewasa. Masa kecil saya tidak terlalu istimewa, tetapi juga tidak mengenaskan. Hanya saja pribadi saya lebih tertutup dan memilih menenggelamkan diri dengan bacaan.
Kutu buku, begitu julukan orang kepadaku. Entah bagaimana ceritanya orang yang gemar membaca disebut kutu buku. Apakah kutu bisa membaca? Tanyalah pada rumput yang bergoyang jawabnya. Saya tak pernah memilih bahan bacaan. Semua yang bisa dibaca saya lahap begitu saja. Saat SD saya biasa membaca Bobo dan Kawanku. Ketika memasuki dunia SMP selera membaca saya berubah, lebih menyukai novel petualangan yang terasa mengasyikkan.
Ketika teman sebaya lebih suka komik, cerita bergambar dan beberapa menyukai novel roman. Saya malah terkesan dengan novel petualangan Winnetou dan Old Shatterhand. Jika teman-teman saya penuh suka cita ngobrolin coverboy dan covergirl di majalah remaja dan berita koran, saya tekun membaca Trio Detektif dan Lima Sekawan. Â
Novel-novel petualangan yang kusukai itu membantuku berimajinasi. Kadang-kadang saya berkhayal tersesat di sebuah pulau dan membawa bekal serta perlengkapan seadanya seperti yang biasa dialami George, Anna dan saudara-saudaranya dalam petualangan Lima Sekawan. Adakalanya saya sok sibuk memecahkan misteri seperti saat Trio Detektif menghadapi suatu masalah.
Namun yang paling berkesan adalah petualangan Winnetou dan Old Shatterhand. Buku karya Karl May ini membuka cakrawala pemikiran saya tentang kehidupan. Di usia SMP saya sudah merasakan pedihnya menjadi suku Indian. Tergusur dari tanah airnya sendiri, benua Amerika yang dulu menjadi milik mereka, pelan namun pasti dikuasai orang-orang kulit putih dan menyebabkan suku Indian menjadi minoritas yang terpinggirkan. Mungkin, kisah bangsa melawan Palestina melawan zionis yahudi ada kemiripan. Ketika bangsa Yahudi selaku pendatang berlaku di luar batas kewajaran.
Oh ya, saya lupa memperkenalkan Winnetou, dia adalah kepala suku Indian Apache yang termasyhur. Old Shatterhand adalah sosok pria berkulit putih yang mengembara menyusuri benua Amerika dan menjadi sahabat Winnetou. Dari mereka saya belajar tentang ketulusan persahabatan yang tak lekang oleh perbedaan warna kulit dan kebudayaan. Sebuah ironi, ketika Winnetou memimpin sukunya untuk mengusir orang kulit putih dari wilayah mereka, namun sekaligus menjalin persahabatan dengan sosok kulit putih yang ia percaya.
Novel petualangan Winnetou dan Oldshatterhand ini terasa nyata, padahal fiksi belaka. Saya bisa berimajinasi betapa serunya ketika Winnetou berkelahi melawan beruang Grizzly. Saya merasakan dinginnya udara ketika Old shatterhand dan Winnetou menyusuri sungai bersalju. Saya merasakan kengerian teramat sangat ketika membayangkan kebrutalan suku Indian Comanche yang hobi menguliti kepala musuhnya ketika menang dalam peperangan. "Menggali kapak perang" kalimat ini tertulis berulang-ulang ketika suku Indian Apache dan Comanche bertemu dalam konflik dan situasi genting. Penyulih bahasa/ penerjemah novel ini menggunakan kalimat "menggali kapak perang" Â untuk melambangkan tantangan atau psywar pada lawan.
Saya lupa bagaimana gambar dan bentuk cover buku petulangan Old shatterhand dan Winnetou saat itu. Yang muncul dalam ingatan, saya biasa membacanya sore hari, menuntaskan satu buku setebal 200-an halaman sebelum bertugas menyapu. Tapi saat mencoba googling ternyata sebagian besar toko buku online masih memasarkan novel petualangan ini. Bagi kalian yang ingin mengasah imajinasi, dan membayangkan kepedihan bangsa yang terusir dari tanah airnya sendiri, mungkin ada baiknya membaca dan merenungkannya dalam hati.