Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah di Balik Koleksi Al Quran

5 Mei 2021   10:33 Diperbarui: 5 Mei 2021   10:36 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata "koleksi" kita pasti teringat barang-barang yang disukai dalam jumlah lebih dari satu biji. Bahkan bisa disimpan dalam satu lemari. Koleksi barang satu orang dan lainnya tidak sama, tergantung kesukaan, fungsi barang dan kepentingan mengoleksi.

Hobi koleksi perangko atau yang biasa disebut filateli, biasanya dipilih orang karena dianggap memiliki nilai sejarah. Koleksi batu akik, adalah hobi bagi pecinta keindahan dan perhiasan. Koleksi tanaman hias adalah kegemaran orang-orang yang hobi berkebun. Bagi para artis atau kaum sosialita, koleksi baju, sepatu, tas adalah kebutuhan untuk menunjang penampilan.

Sayangnya saya tidak memiliki hobi koleksi. Baju yang dipakai sehari-hari tak lebih dari enam daster batik. Gamis untuk bepergian dan pengajian hanya lima biji. Jilbab ada beberapa biji juga bukan diniatkan untuk koleksi, tetapi berasal dari pemberian orang, hadiah lomba atau cenderamata tetangga sepulang haji dan umroh. Alat masak memasak? Karena nggak pintar masak saya hanya punya tiga penggorengan, satu mixer, satu blender, tiga panci itupun sebagian warisan dari almarhumah mama, sepertinya belum layak disebut koleksi.

Jika ada satu jenis barang di rumah, yang dibeli dengan sengaja lalu tak sengaja berfungsi layaknya koleksi adalah Al Quran. Tidak sekadar mengoleksi, tetapi setiap Al Quran di rumah ada sejarahnya tersendiri.

Inilah ketujuh Al Quran yang menemani hari-hari kami.

Al Quran besar bersampul Al Majid adalah Al Quran yang biasa saya baca sehari-hari. Hurufnya ramping dalam cetak besar, huruf hijaiyahnya tercetak rapi dan dilengkapi petunjuk tajwid warna-warni. Al Quran hadiah dari suami ini juga dilengkapi terjemah per ayat di sisi sebelah kanan setiap halaman.

Al Quran bersampul dominasi warna ungu ini hanya berisi ayat-ayat Al Quran, tanpa terjemahan. Ini Al Quran yang dulu biasa dipakai si sulung saat mengaji di TPQ. Sejak dia menuntut ilmu di pondok pesantren, Al Quran ini jarang dibaca kecuali saat ia liburan di rumah, sebab saya kesulitan membaca Al Quran dengan huruf cetak tebal

Al Quran bersampul kain flannel bertuliskan Syamil Al Quran ini wakaf dari Partai Keadilan Sosial yang diserahkan kepada Majelis Taklim Maratus Shalihah. Setiap anggota taklim mendapatkan satu Al Quran. Al Quran ini sering disebut "Al Quran khusus wanita" Ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan dicetak dengan warna latar belakang sesuai warna sampulnya, ungu, kuning atau biru. Fungsi "Al Quran khusus wanita" ini saya yakini untuk mengingatkan kami tentang tugas, kewajiban dan hak wanita sesuai syariat Islam. Sebab perhatian akan tercurah pada ayat-ayat yang tercetak di warna berbeda. Ustadz sempat bercanda "coba cek dulu, jangan dengan alasan karena ini Al Quran khusus perempuan lalu ayat tentang poligami dihilangkan sebab tak mau diduakan"

Al Quran bersampul dominasi warna hijau ini saksi sejarah si sulung ketika pertama kali mondhok di Pondok Modern Darussalam Gontor dan ditempatkan di Cabang Rogojampi yang biasa disebut Darul Muttaqien. Nomor stambuknya (berfungsi layaknya Nomor Induk Pelajar) tertera di bagian samping, sebagai penanda agar tidak tertukar dengan temannya. Karena saat kelas dua KMI ia dipindahkan ke Gontor pusat di Ponorogo, ia menginginkan Al Quran baru sebagai hadiah dan Al Quran ini ditinggal di rumah. Baiklah.

Al Quran dengan sampul dominan warna biru adalah saksi perjuangan saya di kelas tahsin. Hingga setua ini dan beranak dua, bacaan Al Quran saya belepotan. Beberapa tahun lalu saat sudah berhenti kerja kantoran, lebih punya banyak waktu senggang, saya tergerak mengikuti kelas tahsin untuk memperbaiki bacaan Al Quran. Si biru ini saksi bisu saya sering dimarahi guru tahsin karena tak kunjung bisa membedakan cara membaca huruf "ro" tipis, "ro" tebal. Membaca huruf "kho" kurang "ngorok" dan lain-lain kesalahan. Ya Allah, betapa manisnya suka duka perjuangan di kelas tahsin setiap sore, tiga kali dalam sepekan selama tiga tahun hingga akhirnya saya bisa membaca Al Quran dengan lumayan baik dan benar, setidaknya sesuai kaidah tajwid meski makhroj huruf belum sempurna. Karena sebelumnya bacaan Al Quran saya sama sekali tak beraturan. Mana tau beda hukum Ikhfa'dan idzhar dan hukum tajwid lainnya. Hantam kromo saja seperti membaca dalam bahasa Indonesia.

Al Quran bersampul cokelat yang berukuran lebih kecil itu khusus untuk travelling. Karena sampulnya dari kulit sintetis jadi lebih aman, tidak mudah basah oleh hujan atau lembab selama perjalanan. Sayang akhir-akhir ini tak sering dibaca karena sudah tak pernah bepergian. Mata saya juga semakin kurang jeli dan buram membaca huruf cetak kecil dalam Al Quran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun