"Woi ngapain lu duduk-duduk, sini maju lagi woi!" teriak salah satu provokator yang berpakaian preman.
Tak hanya penulis yang melihat aksi tersebut, warga dan karyawan sekitar juga merasa orang yang memerintahkan mahasiswa tersebut adalah seorang provokator. Bagaimana tidak, penampilan (provokator) sangat nyentrik sekali jika dibandingkan para peserta aksi khususnya mahasiswa. Hal tersebut dapat dilihat dari perawakan sang provokator, yang masih telihat segar.
Mendengar ajakan tersebut, para mahasiswa yang sedang berisitrahat tersebut mau tidak mau kembali untuk bentrok dengan Kepolisian.
Tak hanya itu, aksi para provokator juga kembali terlihat. Hal tersebut terjadi ketika Kepolisian menembakan gas air mata ke arah peserta aksi di sekitar pintu belakang Gedung DPR/MPR RI. Ketika itu, para peserta aksi lari kocar kacir untuk menghindari gas air mata. Dalam suasana tersebut, ada provokator yang terus mengajak agar bentrokan tersebut tidak berakhir.
"Ayo bang lanjutin lagi (bentrok lawan Kepolisian)," ujar salah satu provokator sambil memegang batu di tangan kanannya.
Makin malam, provokator pun makin menjamur. Sekitar pukul 22.00 WIB, penulis mencoba mendekati pusat kerusuhan, berdasarkan pantauan penulis, pada pukul tersebut, jumlah mahasiswa sudah mulai berkurang di sekitar Stasiun Palmerah.
Namun, semakin malam, pria berpakaian preman pun terus memanasi kondisi agar bentrokan terus terjadi. Bahkan, tak jarang sang provokator juga terlibat bentrok dengan Kepolisian.
Humanis dari peserta aksi
Selain mengapresiasi sikap peserta aksi yang menyuarakan keresahan masyarakat, ternyata ada hal yang juga perlu diapresiasi, yaitu sikap humanis dari peserta aksi.
Hal tersebut terlihat ketika bentrokan antara peserta aksi dengan Kepolisian di pintu belakang Gedung DPR/MPR atau berdekatan dengan Stasiun Palmerah. Meskipun dalam suasana yang tidak kauran, para peserta aksi yang mayoritas dari kalangan mahasiswa tetap menunjukan sikap humanisnya.