Mohon tunggu...
Dustin Dwi N
Dustin Dwi N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercubuana

Dustin Dwi Novpriyo_41120010024_Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Variabel Krusial Penolong Mahasiswa dari Jurang Pengangguran Itu Bernama "Seni Komunikasi"

27 September 2022   02:11 Diperbarui: 27 September 2022   02:17 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa secara prinsipil menegakkan pilihan untuk berkuliah salah satunya didorong oleh kemungkinan mendapatkan pekerjaan yang kredibel. Meski dewasa kini dipahami ada juga seseorang yang berkuliah untuk 'mencari gelar' sebagaimana mereka sudah menjadi working class sebelum mengenyam bangku universitas. 

Namun dari dua agenda tersebut dipahami jika seluruh praktisi perkuliahan dijadikan sarana pengembangan diri kebanyakan orang untuk narasi pekerjaan yang lebih baik. Kuliah di atas kertas adalah palang pintu menganga untuk diterabas mahasiswa menuju target pekerjaan yang kafah. Hanya saja persoalan belum tuntas sampai situ. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa gelombang penganggur yang berstatus jebolan kuliahan (D3-S1 sederajat) masih menimbulkan kekhawatiran.

BPS (Badan Pusat Statistik) menerangkan ada satu istilah bernama underemployment atau setengah pengangguran. Subjek di dalam setengah pengangguran ini mengacu kriteria orang-orang yang, (1) bekerja paruh waktu (kurang dari 35 jam/pekan) namun menanti mendapatkan pekerjaan penuh waktu, (2) lalu orang-orang yang ingin bekerja lebih panjang (multitasking job), dan (3) orang-orang ingin mendapatkan pekerjaan yang sesuai kemampuan serta berstandar dengan taraf pendidikan terakhir mereka. Guna menyederhanakan subjek, penyebutan istilah underemployment ini kita sebut saja 'u-em'.

Poin terakhir dari karakteristik kalangan u-em ini berdekatan dengan narasi stereotype di masyarakat tentang 'sarjana tak boleh kerja semenjana' baik dalam taraf status sosial, kemapanan ekonomi, serta cerminan intelektual. Hanya saja, para u-em ini dapat dijadikan cerminan permasalahan topik ketenagakerjaan, tidak hanya dalam negri, tapi secara global. 

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Dooley dan Prause (1997a dan 1997b) fenomena kalangan u-em ini diisi oleh masyarakat dengan pendidikan terakhir sarjana atau lebih. 

Salah satu pemicu terbatasnya akses kerja layak bagi mereka karena dalam paradigma ketenagakerjaan, para caker (calon pekerja) dituntut untuk menguasai keterampilan tinggi sehingga seperbagian u-em ini memilih ruang kerja non-sentral dalam kepentingan jasa seperti barista, pelayan, spesialis bersih-bersih, hingga admin. 

Memang, tidak ada yang keliru dengan jenis-jenis pekerjaan ini. Masalahnya, untuk menjadi pekerja dalam bidang-bidang tersebut, perusahaan cenderung mencari orang-orang yang masih berangkat dari kalangan taraf pendidikan di belakang para u-em (lulusan SMU sederajat) sehingga terkesan mubazir tinggi ijazah jika bidang-bidang ini diisi para sarjana yang kebanyakan para u-em ini.

Satu hal penting lain yang dikhawatirkan dari para u-em ini adalah status mereka yang rentan di muka masa depan karir. Sebuah penelitian yang dilakukan Strada Institute dan Burning Glass dalam riset terhadap kemungkinan majunya para u-em ini menghasilkan kesimpulan yang menunjukkan jika mereka sulit untuk keluar dari 'zona nyaman' bidang-bidang kerja basic yang mereka isi sekarang. 

Hasil penelitian itu mengindikasikan jika mereka para u-em amat terkatung nasibnya jika hanya berstatus sebagai bidang-bidang berikut setelah lulus; Eksekutif, jebolan sekolah bisnis, pegawai kampus non-tenaga pengajar, pekerja ritel, kurir, teknisi medis/laboratorium, admin, pekerja restoran, dan sales. 

Penelitian ini juga menghasilkan kesimpulan jika kerentanan para u-em ini berujung pada; (1) menyesali kuliah, (2) menolak untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena biaya yang dikeluarkan tidak setimpal dengan hasilnya, dan (3) menurunnya jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, yang berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat umum. Fenomena u-em ini boleh jadi merupakan persoalan struktural yang mampu dituntaskan sekejap mata. Namun, kesadaran akan pentingnya mengembangkan potensi diri untuk para mahasiswa dapat ditunjang dengan kapasitas seni berkomunikasi yang baik.

Dalam diskursus bidang linguistik, diketahui jika seni komunikasi berbahasa itu terbentuk dari kapasitas penguasaan seseorang melalui empat faktor mendasar bahasa: membaca, menulis, menyimak, dan berbicara (Chaer, 2013). Keempat variabel ini saling berkaitan dalam membentuk karakteristik seseorang menjadi sosok komunikan yang baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun