Mohon tunggu...
Liese Alfha
Liese Alfha Mohon Tunggu... Dokter - ❤

Bermanfaat bagi sesama Menjadi yang terbaik untuk keluarga

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Media Sosial Saat Ini

20 Juli 2018   11:54 Diperbarui: 20 Juli 2018   11:57 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gawai ibarat sudah menjadi kebutuhan utama bersanding dengan makan, istirahat, MCK. Bagaimana tidak, makan sambil pegang gawai, pamit tidur, taunya sampe subuh juga masih pegang gawai. Sedang buang hajat juga masih pegang gawai, bahkan berlama-lama gak tau apa ada yang juga kebelet di luar mengantri. Lebih gawat lagi, lagi ibadah juga demikian. Ngapain sampe segitunya? Apalagi kalau bukan  buka media sosial. Selfie, upload, like sendiri, komen sendiri. Kalau gak, ya buat status, "lagi sedih, nih, sepi" berharap ada yang menghibur. Nyatanya di kanan kirinya mah banyak makhluk yang bisa diajak ngobrol kalo memang merasa sepi, sedih sendiri. 

Judgemental banget ya, kalimat pembukanya?!

Padahal nyatanya, beberapa kali, kalau takut dibilang acapkali, hal-hal tadi ya pernah kita, kita? lo aja kali, alami. Fase itu pernah menjadi bagian dalam keseharian, saya. Di laman facebook, kalau kita baru buka Fb akan muncul update-an status, foto atau memori kita yang pernah kita upload di tanggal yang sama tahun-tahun sebelumnya. Kaget lah, saat liat yang pernah saya share adalah apa-apa yang saya "jijik" banget liatnya kalo muncul di laman fb saya saat ini. Foto muka semua sok imut, status geje, marah-marah gak jelas. Yes, I have been there. 

Maka ketika memori-memori itu ditampilkan oleh bang Mark and staff, tidak lain menurut saya, saya ini disuruh ngaca. woi ngaca! Emang situ gak pernah menjadi alay? Haha. Lalu ketika muncul foto-foto alay, status alay, saya lebih memilih skip, kalau sampe mengganggu saya pilih unfollow. Berteman tetap, hanya tidak mengikuti saja. Halaman Fb saya akan lebih aman.

Pun ketika banyak gonjang ganjing dunia politik yang memanas, isu SARA yang mencuat, ya saya biarin aja, kalau sampe mangganggu, ya saya skip. Atau kalau memang bikin mangkel hati, ya saya unfriend. Alhamdulillah selama ini hanya ada satu orang yang saya unfriend, itupun bener-bener teman maya, gak pernah jumpa di dunia nyata, yang sudah buat terganggu tiap kali buka Fb.

Sebenernya pilihan setiap orang untuk bertindak apa dan seperti apa menghadapi "gangguan" di medsos. Lah medsos adalah rumahnya sendiri, mau dibikin apa ya, terserah tuan rumah. Namun, sama halnya dengan rumah kita dalam dunia nyata, ada hal-hal yang dengan tertulis maupun tidak mengikat kita sebagai suatu bagian dalam komunitas, tata tertib lah istilahnya. Lah bang Mark aja sering nge-blokir penggunanya, atau meng-cut postingan pengguna bila tidak sesuai dengan platform Fb. Ya woles aja, wong dia "tuan tanahnya". Arogan? Maybe. Kalo gak ya bikin sendiri. 

Kembali ke soal tata tertib tadi, ibarat di sebuah komunitas, kalau masih mau berada dalam komunitas itu, ya mau tidak mau, harus tetap patuh, kalo tidak mau ada sangsi lebih lanjut. 

Di dunia medsos, jari-jemari itu ibarat mulut yang dalam dunia nyata bisa saja melukai. Namun belakangan, jari-jemari ini lebih lincah dan menjadi pedang tajam. Melukai bahkan bisa membunuh. Bullying dimana-mana. Jari jemari seolah bebas saja mengetik komentar nyinyir unfaedah kepada lawan di medsos. Bahasanya sih memberi nasehat, tapi tahu gak sih gimana cara menasehati yang baik dan benar. 

Yang jelas kalau dalam dunia nyata, memberi nasehat itu harus 4 mata, bukan di depan orang ramai yang nantinya malah memojokkan. Nah ini, nasehatin orang di kolom komentar yang bisa dibaca seluruh dunia, "sebagai seorang muslim itu harus mengingatkan kalau salah, sis" eh, Lo aja salah kali, nasehatin orang terang-terangan gitu. Itulah gunanya ada inbox di Fb, DM di Instagram-Twitter. 

Wajarlah kalo sekarang banyak artis yang melaporkan tindakan warganet atas tindakan nyinyir unfaedah tadi. Sudah pada taraf mengkhawatirkan loh jari warganet sekarang. Apa yang nampak kan belum tentu itu lah yang terjadi. Kita gak tahu hidup orang, sedang yang nampak itu mungkin hanya sepersepuluhnya saja, jadi hak darimana yang membuat kita bisa seenaknya "menghakimi". Because it makes us feel better about ourselves? Come on, just see human as human. Kalau ingin dihargai ayo hargai terlebih dulu, minimal diri sendiri. Nyinyirin orang itu sama saja gak menghargai diri sendiri lah. Membiarkan diri "berbahagia" karena bikin orang sakit hati?

Kayak bener aja sih. Haha, iya, mungkin ada khilaf selama aktif menjadi pengguna medsos, tapi dengan menulis ini anggap saja sebagai my self controll. Hati-hati pake media sosial. Pernah liat iklan dimana seorang anak yang tinggal selangkah lagi dapet beasiswa keluar negeri akhirnya ditolak karena judges nya mencari tahu about her personality melalui media sosialnya? Nah, jangan sampe lah ya, 5-10 tahun ke depan gak dapet-dapet kerjaan karena apa yang dilakukan sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun