Mohon tunggu...
Liese Alfha
Liese Alfha Mohon Tunggu... Dokter - ❤

Bermanfaat bagi sesama Menjadi yang terbaik untuk keluarga

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Anak Tantrum, What Should I Do?

3 Agustus 2017   09:39 Diperbarui: 3 Agustus 2017   23:29 2325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: getty image

Saya punya dua anak perempuan, yang pertama Si Kakak usia 4 tahun dan Adek usia 1,5 tahun. Tiga tahun pertama usia kakak, alhamdulillah dilewati tanpa drama lah ya. Drama di sini seperti nangis jerit-jerit sampai guling-guling di lantai supermarket bila tidak dipenuhi keinginan. Sering banget lihat ini di pusat perbelanjaan. Namun pada usia menjelang 4 tahun, mulai deh, yang namanya nangis gak jelas, gak mau pulang dari supermarket kalo kehendaknya belum dituruti, meski gak sampe guling-guling. Si Adek juga, setelah bisa jalan, di usia 1 tahun 2 bulan, di mana dia sudah bisa mengeksplorasi semua hal, juga ikut-ikutan nangis gak jelas.

Tapi benarkah mereka ini nangis gak jelas? Nangis tanpa penyebab? Atau kitanya yang memang gak paham maunya anak apa?

Yup, kita yang gak paham maunya anak apa.

Perilaku yang ditunjukkan anak-anak saya dapat dikatakan sebuah kondisi tantrum atau temper tantrum. Tantrum atau temper tantrum merupakan suatu kondisi ekspresi emosional anak-anak usia 1-4 tahun di mana mereka pada usia tersebut belum mampu mengekspresikan rasa frustasi melalui kata-kata. Ekspresi emosional ini biasanya berupa sikap keras kepala, menangis, menjerit, marah-marah hingga melakukan sesuatu yang bisa menyakiti dirinya; kekerasan.

Dikutip dari Colorado State University Extension, R.J. Fetsch and B. Jacobson mengatakan bahwa tantrum biasanya terjadi pada usia 2 sampai 3 tahun ketika anak-anak membentuk kesadaran diri. Balita belum cukup memahami kata "aku" dan "keinginan dirinya" tetapi sangat mudah untuk tahu bagaimana memuaskan apa yang diinginkan. Tantrum adalah hasil dari energi tinggi dan kemampuan yang tidak mencukupi dalam mengungkapkan keinginan atau kebutuhan "dalam bentuk kata-kata".

Dari apa yang ditunjukkan kakak, 3 tahun pertama aman, adalah selama waktu 3 tahun pertama, orangtuanya, kami, memberikan perhatian yang penuh atas semua keinginan dan kebutuhannya, hampir mungkin tidak ada yang tidak terpuaskan, saya rasa. Karena saat itu fokus kami adalah si kakak. Meskipun usia dua tahun pertama bahasa verbal, kata-kata, bukanlah bahasa utama yang dia pakai. Namun, ketika dia mendapatkan adik, fokus utama tidak lagi dia, keinginan yang biasanya sudah bisa terbaca sebelum diutarakan menjadi tak awas bagi kami, orang sekitarnya. Atau walaupun dia sudah mengutarakan apa yang dia mau, kami malah menunda dengan mengulur-ulur waktu bahkan hingga berbohong.

Sedangkan Si Adek, ketika ada contoh, ya, role of model-nya adalah kakak, mau tak mau melihat apa yang diperagakan kakak, bukankah contoh terbaik adalahapa yang dilihat si anak?

tantrum-59828c6af2fd912cb76e5562.jpg
tantrum-59828c6af2fd912cb76e5562.jpg
Orang Tua Perlu Belajar Konsisten
Lalu, apa yang saya lakukan? Sebagai seorang ibu dengan kondisi LDM? Saya perlu sikap yang konsisten. Ya, konsisten dalam segala hal; kedisiplinan, boleh dan tidak boleh, adakah toleransi, kapan bisa ditoleransi.

Ketik seorang anak mengutarakan keinginannya, pilih apakah yang dia inginkan adalah suatu hal yang tergolong bisa dikabulkan atau tidak. Bila bisa dikabulkan, maka beri waktu mewujudkannya, hal ini penting untuk melatih kesabaran anak dalam menunda apa yang diinginkan.

Beri pemahaman bahwa keinginannya akan dikabulkan nanti, namun apabila sudah kita sepakati waktu pengabulannya, makan tepati. Jangan menjadi orangtua yang pembohong, meski dalam hal kecil. Hal ini juga penting untuk memupuk rasa percaya anak kepada orang tua, juga mengajari anak untuk mengingkari janji di kemudian hari. Berikan anak alasan penundaan keinginannya. Pakai bahasa yang mudah dimengerti anak.

Namun ketika orang tua berkata tidak untuk satu keinginan anak, tetaplah mengatakan tidak meskipun anak menjadi menangis karena ini (tantrum manipulatif), berikan alasan kenapa keinginannya tidak bisa dikabulkan. Apabila orang tua "luluh" karena tangisan ini si anak akan berpikir bahwa dengan tangisan orang tua akan bisa digoyahkan sehingga ketika suatu waktu anak berkehendak lagi, dia akan memulainya dengan tangisan.

Semua ini rasanya mustahil bisa saya lakukan bila lingkungan sekitar tidak mendukung saya untuk menerapkan sikap konsisten itu. Sebut saja, nenek, kakek, tante. Berat sekali apabila orang sekitar dengan mudah mengiyakan apa yang menjadi keinginan anak padahal orang tua sudah berkata tidak; "Ah gak papa, dari pada nangis", "Sudah kasih aja, kasihan nangis sampe segitunya", "Ah, kalian dulu juga gitu kok. Sudah kasih aja." Begitu banyak excuse, maka semakin berat tugas orang tua. Maka sebisa mungkin, dalam lingkup rumah, siapapun yang ada didalamnya, harus satu suara dalam mendidik anak. Konsisten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun