Mohon tunggu...
Putri Sarinande
Putri Sarinande Mohon Tunggu... Freelancer - terkadang~...

"i IQRA therefore i REBEL" ~ zodiak: LEO. ~ tinggi berat: Botol Selei.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memicu Revolusi, di Dalam Diri; di IFI Bandung

16 Juni 2013   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:57 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Putri Sarinande

DarahRogue mempersembahkan sebuah pertunjukan berjudul “Menjahit Marat/Sade” di IFI (Institut Français Indonesia) Bandung pada 7 Juni 2013. Pertunjukan “Marat/Sade” kali ini bukan yang pertama kalinya. Namun, bagi saya ini adalah pertama kalinya saya menyaksikan pertunjukan ini.

Kali ini saya berhasil menjadi penonton yang cukup santun, datang dan menyaksikan pertunjukan pada waktunya.

Adegan diawali dengan seorang tokoh perempuan, Kerensa, yang berkutat dengan dirinya sendiri. Hal ini tergambarkan lewat monolog yang ia bawakan. Dengan fokus pada kata, revolusi. Atau bisa jadi, ia sebenarnya sedang berdialog dengan sebuah mesin jahit di depannya, sebuah mesin jahit manual.

Agaknya, makna dari judul “Menjahit Marat/Sade” ini nyata adanya diwujudkan secara harfiah dalam adegan Kerensa bersama mesin jahit.

Mata saya, sambil lalu, mulai menyapu panggung. Saya melihat ada begitu banyak tulisan tentang revolusi, dan tentang pemberontakan-pemberontakan, di kain yang dimaksudkan sebagai latar belakang panggung.

Sang tokoh Kerensa lantas mulai menyebutkan sejumlah nama yang membuatnya kecewa. Hal ini dapat terdengar dari obrolannya bersama sang mesin jahit, ketika setiap nama yang disebutkan diiringi dengan keluhan-keluhan.

Adegan berlanjut pada bagian Karensa mulai memakai hiasan hidung berwarna merah, berbentuk bundar – mengingatkan saya pada badut; umumnya area bibir badut senantiasa dihias dalam bentuk senyuman, sehingga apa pun keadaannya sang badut pasti akan senantiasa tampak tersenyum.

Adegan berikutnya mulai membuat kepala saya berputar mengikuti gerakan sang tokoh Kerensa, ketika ia mulai merusak batasan antara panggung dan penonton.

Apa maksudnya? Perusakan batas antara panggung dan penonton oleh Kerensa, menurut penjelasan Gepeng Dewantoro dalam sesi diskusi/talkshow pasca pementasan, adalah dimaksudkan untuk meleburkan jarak antara penonton dengan panggung dan/atau area pementasan.

Sang tokoh Kerensa memulai perusakan batasan antara panggung dan penonton dengan berdialog, yang ditujukan pada para penonton – sebuah dialog searah, karena para penonton hanya memperhatikan tanpa merespon. Atau mungkin merespon, tetapi saya tak menyadari.

Awalnya sang tokoh Kerensa menarik seorang penonton ikut ke atas panggung, lebih spesifik – seorang perempuan, untuk kemudian ia memintanya untuk memukuli pantatnya dengan sebuah tongkat. Saya menduga, ini bagian dari upaya Kerensa untuk menunjukan bentuk fisik revolusi. Sebuah revolusi diri, suatu bentuk dari upaya mengerahkan semangat diri untuk bangkit dan berjuang – atas apa-apa yang ia keluhkan, kecewakan; dan keinginan-keinginan untuk revolusi itu sendiri; suatu bentuk dari upaya memicu pembaruan dari diri, yang sang tokoh Kerensa, inginkan.

Namun, berhubung penonton yang dimintai bantuan tersebut hanya memukulinya dengan pelan-pelan malu-malu anjing, sang tokoh Karensa mengakhiri bagian pemukulan tersebut – ia menyuruhnya kembali ke kursi penonton.

Kembali sang tokoh Kerensa berkicau – bermonolog; atau mungkin berdialog tanpa kejelasan tentang apa dan siapa yang menjadi lawan bicaranya.

Lagi-lagi Kerensa merusak batasan panggung dan penonton. Kali ini ia menarik tujuh orang dari kursi penonton, ke atas panggung. Sampai di panggung, ia meminta dua orang dari mereka untuk bermain musik – mengiringi pementasan. Mereka akhirnya bermain gitar – musik tanpa lirik, entah musik apa yang dimainkan; saya tidak paham tentang jenis-jenis musik walaupun saya sangat menikmati musik. Dari hasil sesi diskusi/talkshow pasca pementasan, saya mengetahui bahwa kedua pemain gitar tersebut memang sudah dipersiapkan sebelumnya, untuk menjadi bagian dari pementasan. Sedangkan lima orang sisanya, saat pementasan berlangsung, dimintanya untuk membawa papan (masing-masing satu) berisikan protes-protes. Membuat adegan yang biasa ada dalam setiap demonstrasi memperjuangkan sesuatu hal.

Sang tokoh Kerensa mulai mengajak kelima penonton untuk ikut menari; “tarian kegilaan” – demikian ia menyebutnya dalam salah satu dialognya. Panggung menjadi begitu riuh

Panggung yang riuh mulai mendapat gangguan, dengan munculnya tokoh suster yang naik ke panggung. Kelima pemain dadakan alias penonton terduduk; sepertinya ini bagian dari kecanggungan akibat peralihan adegan. Suster ini, sembari melangkah di antara kelima penonton yang terduduk diam membawa papan, mengatakan bahwa Kerensa hanya sedang berbicara seorang diri.

Adegan kemunculan suster ini mengingatkan saya pada Klip Video dari Pancaran Sinar Petromak, “Orang-orang Sinting” – yaitu pada larik “… bergoyang sampai pagi,,, paling dimaki Seuz Astuti…!”.

Sang tokoh Kerensa marah pada sang tokoh suster, lantas mengamuk sambil sibuk mempertanyakan; apakah ia gila karena berbicara seorang diri – padahal ia meyakini ada orang-orang lain di sana.

Sang tokoh suster memakaikan baju; yang sejauh saya ketahui, biasa dipakaikan pada pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ), yang memiliki kecenderungan untuk mudah mengamuk dan berperilaku brutal. Ia membisiki Kerensa saat mengancingkan baju tersebut; kira-kira sesuatu hal tentang perlunya kegilaan. Jika perkiraan saya ini keliru, maka pembenaran saya adalah karena suara sang tokoh suster ini tidak begitu jelas terdengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun