Mohon tunggu...
Ady Joni
Ady Joni Mohon Tunggu... Freelancer - Conten Creator (Blogger)

Menulis adalah sebaik-baik cara menyejarah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyaluran Dana PPM PT AHB Terus Ditahan, Warga Terdampak Mulai Resah dan Bertanya

19 April 2021   23:10 Diperbarui: 19 April 2021   23:55 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alokasi dana Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) sudah menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh perusahaan kepada masyarakat sekitar kawasan yang terdampak eksplorasi pertambangan. Hal ini sudah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI No. 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara. 

Sebuah ketentuan yang secara langsung telah mengikat seluruh badan usaha di bidang pertambangan, termasuk dalam hal ini PT. Anugerah Harisma Barakah (AHB) yang mengantongi IUP eksplorasi pertambangan nikel di dua wilayah yakni; Desa Kokoe, Kec. Talaga Raya, Kab. Buton Tengah sebagai ring 1 dan Desa Pongkalaero, Kec. Kabaena Barat, Kab. Bombana sebagai ring 2.

Oleh karenanya, pihak PT. Anugerah Harisma Barakah (AHB) berkewajiban menjalankan program PPM dimaksud yang peruntukannya tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat terdampak; Desa Kokoe dan Desa Pongkalaero. 

Selanjutnya, mengenai ketentuan teknis pelaksanaan program tersebut juga telah dipertegas dan diperinci lagi dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI No. 1824 K/30/MEM/2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat, kemudian Keputusan Gubernur No. 704 Tahun 2019 Tentang Cetak Biru Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2019-2023 serta dokumen Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM) dan Rencana Pembiayaan Program PT. Anugerah Harisma Barakah (AHB) Tahun 2020-2024.

Pada prinsipnya, segala kewajiban yang melekat pada PT. AHB itu sudah jelas diterangkan dalam beberapa ketentuan di atas, begitu pula mengenai estimasi waktu pelaksanaan dan besaran alokasi pembiayaan program PPM.

Adalah sebuah kekeliruan jika dijumpai ada upaya-upaya yang tidak diharapkan datang dari pihak perusahaan, seperti telah menunda-nunda proses penyaluran dana dengan alasan apapun, demi peraturan yang berlaku, termasuk menyangkut alasan tak relevan; semisal ingin menunggu situasi kembali kondusif akibat ulah kelompok tertentu yang terus membuat gaduh, yang mana seharusnya pihak PT. AHB tak perlu menanggapi kelompok tersebut dengan serius, apalagi sampai menangguhkan kewajiban utamanya menyalurkan dana PPM kepada masyarakat Desa Kokoe sebab kelompok itu sama sekali tidak memiliki keterkaitan atau alas hak yang mengikat untuk mendikte keputusan perusahaan.

Begitu pula halnya dengan alasan ingin menunggu hasil RDP di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara mengenai polemik yang dimunculkan oleh desakan-desakan kelompok tadi, satu upaya yang sejatinya sudah keluar dari konteks persoalan, sebab perlu diketahui bahwa apa dan bagaimana pun hasil RDPnya nanti itu tidak bisa menjadi landasan kebijakan perusahaan, apalagi menggantikan ketentuan hukum yang berlaku yang lebih tinggi hirarkinya dalam hal ini Keputusan Gubernur sebagaimana sudah disebutkan di atas serta dokumen RIPPM yang dibuat merujuk pada Keputusan Gubernur tersebut, yang di dalamnya sudah jelas-jelas mengatur petunjuk perencanaan serta realisasi pembiayaan program PPM dan perusahan (PT. AHB) mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus tunduk menjalankan ketentuan yang secara sah telah mengikatnya itu.

Oleh karena itu, normatifnya pihak PT. AHB harus segera menyalurkan dana PPM sebagaimana dimaksud. Akan tetapi, jika hal itu tidak diindahkan maka perusahaan berpeluang mendapat kado teguran bahkan sanksi administratif dari pejabat berwenang seperti pemberhentian produksi sementara atau justru pencabutan permanen IUP eksplorasi dan operasi produksi. Ketentuan sanksi itu dengan jelas disebutkan dalam Pasal 50 ayat (8) huruf c Peraturan Menteri ESDM RI No. 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi antara lain; 

"Sanksi administratif dikenakan kepada pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUJP, atau IPR yang tidak melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha."

Lantas, ketika faktanya perusahaan masih enggan dan tetap saja memberikan perhatian pada gerakan sempalan tak berdasar yang mengatasnamakan diri dengan Aliansi Masyarakat Talaga Raya Bersatu, lalu atas pertimbangan itu, hak-hak masyarakat terdampak yang sudah seharusnya disalurkan cenderung dikesampingkan, maka tentu hal ini telah mengindikasikan kejanggalan-kejanggalan. Sejenak menyimak pernyataan dari pihak PT. AHB sebagai berikut;

"Sampai detik ini pihak aliansi sangat menguras tenaga, kalau pihak perusahaan hanya ingin suasana kondusif saja, cuma pihak-pihak tertentu masih saja coba buat gaduh".

"Sesuai dengan hasil kesepakatan RDP DPRD Provinsi Sultra lalu, kami masih dilarang untuk mencairkan dananya." lanjutnya

Kesan artifisial dan tak adil dari pernyataan di atas tentu memunculkan kejanggalan bahwa perusahaan seperti tidak memiliki itikad baik untuk menyalurkan dana PPM sebagaimana sudah ditentukan, justru hadir kemungkinan perusahaan merasa diuntungkan dengan hadirnya gesekan-gesekan ini sehingga terkesan menikmati situasi yang ada, mencoba bersembunyi dan menangguhkan kewajiban serta tanggung-jawabnya kepada masyarakat terdampak. Sekiranya seperti itulah lontaran keresahan-keresahan dan kebingungan masyarakat terdampak yang terus menantikan kejelasan penyaluran dana PPM. Dalam pernyataan kepala Desa Kokoe Kec. Talaga Raya, Kab. Buton Tengah yang mewakili  aspirasi masyarakatnya mengungkapkan;

"Jujur situasi saat ini sangat membingungkan, warga saya semakin resah dan senantiasa bertanya kapan dana PPM dicairkan, sementara perusahaan juga terus-terusan menunda. Sebagai aparat di desa, sejauh ini kami terus berupaya menempuh solusi-solusi terbaik yang juga bergantung sama perusahaan, terjadi sesuatu yang tidak diharapkan semacam riak-riak di bawah, itu karena sikap perusahaan yang entah kapan baru bisa memberikan kepastian, karena sejauh ini perusahaan memang masih enggan untuk mencairkan dana PPM itu karena alasan menunggu kondusif dulu. Orang luar yang tidak terikat perjanjian dan tak memiliki hak yang buat onar, masyarakat desa kami yang dikorbankan, coba itu bagaimana?." Tutur H. Basso, Kepala Desa Kokoe.

"Kami berharap setelah kabar ini dihembuskan, pihak perusahaan mau mengkonfirmasi dan segera memberikan kepastian penyaluran dana PPM kepada kami, pemerintah serta masyarakat desa Kokoe." Namun ketika masih terus diabaikan, kami akan menempuh cara-cara lain yang lebih mendesak yang sekiranya tidak bertentangan dengan hukum." Lanjutnya.

Asumsi negatif semacam di atas merupakan sebuah kewajaran karena memang pada prinsipnya perusahaan tak punya alasan khusus secara hukum untuk tunduk dan terikat pada desakan pihak manapun yang tidak terkait, termasuk keputusan RDP DPRD Provinsi Sultra maupun DPRD Kabupaten Buton Tengah yang belum lama ini juga melakukan hearing dan melahiran keputusan pembagian dana PPM menjadi 70% untuk Desa Kokoe dan 30% dibagi kepada desa-desa tetangga lain di Kec. Talaga Raya Kab. Buton Tengah yang secara administratif sebenarnya tidak masuk dalam kawasan IUP ekplorasi dan operasi produksi PT. AHB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun