Mohon tunggu...
Sukma Larastiti
Sukma Larastiti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perempuan pembaca, petualang, pengamat, dan penulis | Pemilik rumah http://dunialala.com | @slala_la

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hasrat Ekslusivisme Bertransportasi!

24 Mei 2013   10:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:06 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jangan terbang terlampau cepat di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-bersin, jangan membiarkan perjumpaan indah ini berakhir dengan begitu cepat…Saya berdoa agar perjalanan itu tak akan pernah berakhir…Tetapi, aduh! Juru apinya tidak mendengar aku.”

Begitulah R.A. Kartini muda menulis pengalaman pertamanya naik kereta api. Terkejut, takjub, dan ingin abadi di kereta api dalam perjalanannya menuju Jepara. Ia telah dibawa berkelana pada teknologi-teknologi yang memudahkan, nyaman, dan menyenangkan. Hasrat bepergiannya, beserta manusia-manusia lain, telah dipindahkan kereta-kereta dan trem-trem di Hindia yang terus bergerak mengalir di jalan yang “baru, keras dan bersih” (Rudolf Mrazek, 2006).

Kereta api dan trem penanda dibukanya sejarah transportasi (publik) yang dibawa jauh-jauh dari Eropa untuk menjelajah ruang dan waktu di belantara Hindia Belanda. Tahun 1904, beberapa tahun semenjak pembangunan rel kereta api pertama di Jawa, pengguna kereta api melonjak dengan cepat. Secepat perjalanan kereta itu sendiri.

Pamor kereta terus melejit, sampai pada kekacauan komunikasi dan ekonomi yang diakibatkan Perang Dunia I, yang menjadikannya menurun dengan cepat. Dan, General Motors di Tanjung Priok, pelabuhan Batavia, Mei 1927, membuka pabrik pertama dan disusul pabrik dari Jepang. Gelombang mobil dan motor menghempas jalan-jalan di Hindia (termasuk geng motor!). Saat itu pula kereta api diharuskan bersaing dengan munculnya mobil dan motor yang menawarkan “angkutan yang lebih cepat, banyak pilihan, memiliki keluwesan yang lebih besar, dan rutenya mengikuti keinginan”—hal-hal yang berlawanan dengan karakter kereta api. Transportasi pribadi yang ekslusif mulai merangsak mengalahkan transportasi publik. Dan sekarang kita memasuki era mobil dan motor.

Eksklusivisme!

Kisah mobil dan motor terus berderu di sepanjang jalan Indonesia kini dengan gagah dan perkasa! Mobil-mobil dan  motor-motor berjubel bergerak bersama truk-truk dan bus-bus, berusaha tetap bergerak dalam kepadatan yang makin terasa. Kesempitan yang mendera rupanya tak menghentikan banjir kendaraan bermotor ke jalan raya yang terbatas. Kelengangan jalan adalah kisah yang mengabur ke dalam narasi transportasi.

Kepemilikan kendaraan pribadi menjadi kebutuhan primer yang harus terpenuhi jika ingin melakukan perjalanan. Kekuatannya untuk mengantarkan hasrat bepergian orang masih belum dapat dikalahkan angkutan umum masa kini. Dari rumah dapat keluar tanpa harus berjalan kaki, hanya duduk menunggang kendaraan sudah dapat sampai ke tujuan, tanpa harus sedikitpun berpindah posisi.

Keampuhan mobil dan motor yang terkuat adalah kekuatannya untuk menerjemahkan status kedudukan orang di dalam masyarakatnya. Begitulah ia naik tahta. Ia sejalan dengan kisah yang telah lalu, dimana mobil dan motor hanya dimiliki oleh orang yang berada. Seperti yang ditulis Mas Marco dalam majalahnya,Doenia Bergerak, “Mobil di zaman kita adalah kendaraan yang paling disayangi oleh para petinggi dan kaum kapitalis” (Rudolf Mrazek, 2006). Ah, bahkan oleh orang kebanyakan!

Memiliki mobil itu keren, prestisius, berkelas! Mempunyai motor itu kewajiban yang harus sesegera mungkin terlaksana! Tidak memiliki mobil dan motor itu buruk, terlebih lagi jika harus bepergian dengan jalan kaki. Duh, itu patut dikasihani! Kisah kredit mobil dan motor yang besar dan lama dapat ditangguhkan dalam bilik-bilik kepuasan dan kebanggaan. Buat apa memikirkan kemacetan dan subsidi BBM! Kemacetan dan puluhan triliun subsidi BBM dianggap ilusi dan fatamorgana sementara yang ditemukan di jalan dan di media massa.

Egoisme dan arogansi ini ikut bergerak sepanjang perjalanan. Bukankah menikmati kenyamanan dan kebebasan memiliki mobil dan motor itu hak setiap orang? Kekhawatiran akan habisnya jalan untuk dilewati tidak pernah singgah, kekhawatiran hanya singgah karena semakin lama tinggal di jalan saja. Toh, bukankah setiap tahun ada pembangunan jalan-jalan baru, tol dan jalan layang, untuk mengurai kemacetan, menambah kecepatan perjalanan sekalipun hanya sedikit?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2009, jumlah kendaraan penumpang yang beredar di Indonesia mencapai 10.364.125 unit dan sepeda motor mencapai 52.433.132 unit. Itu belum ditambah dengan kendaraan yang lainnya. Jumlah kendaraan komersial, bus sejumlah 2.729.572 unit dan truk 5.187.740 unit. Sehingga total kendaraan bermotor yang bergerak di jalan-jalan Indonesia tahun itu mencapai 70.714.569 unit. Fantastis!

Penjualan kendaraan bermotor (mobil dan motor) sampai hari ini masih primadona perekonomian nasional. Produksi dan penjualannya dari tahun ke tahun terus digenjot,. Bahkan, target penjualan 1.000.000 mobil dapat jatuh satu tahun lebih cepat daripada prediksi, tahun 2014. Kita butuh berapa juta mobil dan motor pribadi lagi untuk membuat kemacetan?

Pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor ini terus meningkat, utamanya mobil dan motor yang dipergunakan per orangs. Sampai tahun 2011 kemarin, berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (susenas) jumlah kepemilikan mobil di Indonesia mencapai 4,6 juta, dengan 25 ribu di antaranya termasuk kategori miskin. Kepemilikan mobil dan motor di Indonesia ini pun didukung dengan kredit pembelian mobil dan motor kian hari semakin mudah!

Ironisnya, tanpa disadari, pertumbuhan mobil dan motor ini berubah menjadi paradoks perekonomian nasional. Banyak harga yang harus dibayar akibat kerugian yang muncul dari kemacetan, kerusakan lingkungan, penambahan jalan untuk mengurai kemacetan, dan yang terakhir adalah pemborosan bahan bakar di jalan. Terlebih sejak harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Sejumlah anggaran yang besar digerogoti untuk tetap memberikan subsidi kepada kendaraan bermotor yang didominasi kendaraan pribadi.

Harga BBM yang murah terus dinikmati mobil dan motor. Berbagai cara untuk mengurangi konsumsi BBM terus diupayakan, yang diwujudkan dalam program pembatasan pembelian BBM di SPBU. Pertanyaannya, mampukah pembatasan itu mengurangi jumlah pembelian mobil dan motor setiap tahunnya? Dengan pertumbuhan ekonomi yang naik sebesar enam persen per tahun, memunculkan orang kaya baru yang pasti akan membeli mobil baru. Dan menelan anggaran yang lebih besar lagi untuk mitigasi kemacetan yang banjir ke jalan-jalan lain.

Maka, lupakanlah skema pemecahan kemacetan dan penanggulangan pembengkakan subsidi BBM. Tak ada solusi efektif bagi hasrat bertransportasi yang mengarah pada budaya bertransportasi ekslusif! Jakarta adalah contoh nyata. Pertanyaan yang penting adalah bagaimanakah dengan daerah lain di Indonesia yang mulai menikmati pertumbuhan ekonomi (juga demografi)? Akankah menjadi Jakarta yang kedua? Bila tidak menginginkannya, harus sesegera mungkin menyiapkan transportasi (publik) yang mampu mengakomodasi seluruh pergerakan ekonomi, politik, dan budaya. Ataukah memang pada akhirnya, kita akan tetap merayakan kemenangan kendaraan pribadi?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun