Mohon tunggu...
Deni Danial Kesa
Deni Danial Kesa Mohon Tunggu... profesional -

Lebih mulia menjadi penonton yang kritis dan melakukan perubahan, daripada menjadi pemain yang lalim dan keras hati. Buka semua panca Indera kita, cerahkan nalar dengan hal positif dan kepakkan sayap kebajikan diantara warna-warni dunia.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berkompromi dengan mitos

27 November 2010   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:14 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1290881453282820836

Denting bel yang khas menandakan sesikuliah3 jam usai,ribuan mahasiswa bergegas keluar dari kelas atau sekedar berganti dengan kelas yang lain. Rutinitas yang aktif serta mengasyikkan untuk diperhatikan. Setelah hampir 4 bulan berada di Taiwan, ada beberapa hal yang menarik dan bisa dijadikan komparasi tentang berbagai sistem dengan sistem pengajaran di lembaga pendidikan kita. Bulan bulan pertama memang merupakan bulan yang penuh dengan adaptasi, meskipun saya pernah mengecap satu tahun pendidikan di jenjang master pada tahun 2007, untuk kali ini rupanya perlu ekstra energi selain bidang kajian yang agak berbeda, rasa kekhawatiran masih sedikit membuncah. Bagaimana tidak , banyak rumus dan hal hal baru yang bersifat matematis yang dulu sering dihindari sekarang menjadi teman setia menemani aktifitas keseharian.

Tapi ketika datang dan bertemu dengan banyak kolega dari berbagai Negara, serta sering berinteraksi dengan sesama kawan kawan senasib, di dukung oleh kemampuan para staff pengajar yang melakukan komunikasi informal, lambat laun rasa takut, dan tidak berdaya serta keragu-raguan itu mulai hilang.Tidak segan segan saya dan kawan kawan pun pun sering terlibat adu argumentasi dengan beberapa profesor yang cukup mumpuni dibidangnya, “ tidak mengerti bertanya, dan berbeda pendapat ungkapkan” itulah mungkin nilai nilai yang ingin dicoba untuk ditanamkan.

Setiap budaya  mempunyai perbedaan, dan tidak bisa dijadikan ukuran baku dalam sebuah proses transformasi. Sama halnya dengan kondisi Indonesia yang selalu di pengaruhi pengaruh mitos, tidak terkecuali dengan sektor pendidikan. Kemudian pengalaman ini terkait dengan beberapa kejadian yang menurut saya sangat layak untuk dicermati, yaitu berbagai mitos terkait dengan kualifikasi tenaga pengajar. Anggapan yang akan selalu muncul di tiap generasi, prediksi  penyebab tipikal kasus kasus tersebut. Meskipun hanya bersifat khusus, banyak mitos-mitos yang segera harus diselaraskan dengan perkembangan zaman.

Mitos dan Realita

Mitos yang pertama, Guru/Dosen adalah segalanya bisa saya katakan hal ini masih dibawa pada zaman feodalis yang bersifat patron, karena faktor usia atau bentuk penghormatan terhadap kemapanan intelektual. Sehingga untuk mengeliminasi bentuk bentuk negative dari anggapan ini, setiap pengajar harus bisa mentransformasi pengetahuan yang diperlukan dalam posisi sama atau egaliter, kondisi inidisinyalir akan lebih mempercepat efektifitas internalisasi pengetahuan.

Mitos kedua,  Guru/Dosen laki laki lebih subjektif daripada perempuan hal ini disebabkan karena bias gender yang seringkali mewarnai kehidupan masyarakat transisi. Posisi laki laki yang di identikkan dengan kekuatan maskulinitas, guru/dosen laki laki lebih ditakuti dibandingkan perempuan. Komposisi pengajaran dan standard pengajaran yang sama akan mempermudah anggapan ini hilang. Mitos ke tiga, Guru/Dosen  killer hanya berlaku di mata kuliah/pelajaran  yang sulit benarkah?  mitos ini mengakar karena memang terkait dengan kemampuan, peserta didik,dan tingkat kesulitan pelajaran itu  sendiri, disadari atau tidak pemahaman yang menjerumuskan peserta didik ketika pelajaran itu dianggap sulit atau mudah terkait like atau dislikenya peserta didik/ajar dalam melihat metode pembelajaran atau penyampaian pelajaran tersebut. Dosen atau guru killer tersebut akan tersemat dengan manis di baju para pengajar yang mengajar berbagai mata pelajaran/mata kuliah “ sulit” seperti kimia, fisika, matematika, statistic, ekonometrika dan lain lain. Dengan memberikan metode yang atraktif dan komunikatif, permasalahan ini bisa di pecahkan dengan maksimal.

Pertanyaannya sekarang apakah memang mitos mitos itu terjadi di sistem pendidikan kita? Jawabannya adalah ya, tapi masih dalam batas batas kewajaran meski dunia pendidikan kita diwarnai masalah dengan kesimpangsiuran kurikulum KBK menujuKTSP, perbedaan antara kelas regular dengan akselerasi, Swasta dan BHP, kemampuan dan keterbatasan kualitas staf pengajar dan lain lain, dibalik hal tersebut semuanya menjadi bagian dari proses, dan proses itu harus dimulai dari ujung tombak sistem pendidikan kita “ para pengajar/akademisi”.

Demokratisasi Mitos

Ketiga mitostersebut terkadang disikapi oleh para peserta didik dengan berbagai cara, ada yang bersikap takut, adapula yang memang mempunyai pemikiran kritis. Kritisisme mahasiswa dan murid sekarang ini masih dianggap sebagai pembangkangan terhadap norma dan perilaku, memang serba salah ketika kita mencoba membangun sistem partisipatif kita terjebak oleh ketakutan kita sendiri. Seharusnya hal tersebut tidak haruslah dijadikan ketakutan yang berlebih mengingat tujuan pendidikan adalah memberi jembatan atau transformasi tidak tahu menjadi tahu, tahu menjadi mengerti, mengerti menjadi lebih baik lagi.

Penyertaan partisipasi seluruh komponen pendidikan dengan melakukan pendekatan pendekatan yang bersifat informal, informatif dan substansial akan menjadi faktor penyumbang bagi terbentuknya demokratisasi pendidikan. Paulo Freire pernah mengatakan bahwa untuk merubah paradigma terhadap anak didik dan guru yang selama ini dipraktikan di lembaga pendidikan formal tersebut maka semua komponen harus bisa menghargai perbedaan dan semangat kritis menuju demokratisasi pengajaran.Mengubah methodology dari pedagogy menuju andragogy, pengajar baik guru atau dosen tidak hanya menganggap peserta didik sebagai objek atau sekedar ember penampung ide, karena sesuai dengan sifatnya sebagai penampung bahwa sewaktu waktu tempat penampungan itu akan rusak dan meluber kemana mana. Tidak hanya sekedar mampu memberikan arahan pada anak didik, memerintahkan pengulangan, dan penjelasan akan tetapi peserta didik mampu menjelaskan dan berargumentasi tentang apa yang sedang mereka alami dan kerjakan dengan penuh keceriaan bukannya sebagai beban, marilah kita berkompromi dengan mitos bukan menjadi hamba yang setiap saat hanya menerima dengan ketidak berdayaan.

Chung Li R.O.C

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun