Mohon tunggu...
DULLES F.R SILABAN
DULLES F.R SILABAN Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Dengan Aksi

Menjadi Prajurit Bersenjata Pena

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mari Belajar dari Tokoh Ayub

18 April 2021   08:41 Diperbarui: 18 April 2021   08:50 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mari Belajar Dari Tokoh Ayub

Ayub hidup pada masa nenek moyang Israel (Abraham, Ishak, Yakub), seorang yang kaya dan berpengaruh, yang tulus hati dan saleh (Ayb. 1:1-3). Tiba-tiba ia kehilangan harta benda dan keluarga, kemudian menderita penyakit parah. Dari pengalaman yang pahit itu timbul suatu perdebatan yang panjang-lebar dengan sahabatnya yang datang untuk menghibur dia[1] dan dalam perdebatan yang seru itu, Ayub maupun teman-temannya mengalami hambatan karena mereka tidak tahu permasalahan yang lebih luas, yaitu perihal tantangan Iblis yang di ceritakan dalam prolog. Mereka tidak memiliki jaminan hidup di masa yang akan datang. Bagi mereka kematian adalah akhir dari segalah sesuatu. Sebab itu, keadilah harus di laksanakan dalam kehidupan ini.[2]

 Dan muncul pertanyaan dari kisah hidup Ayub, sebagai berikut: apakah Ayub seorang berdosa sehingga dia di hukuim dengan penderitaan yang berat? Ataukah dia seorang yang benar -- dan jika memang demikian, mengapa Allah membiarkan dia menderita?.

 Perdebatan tersebut tidak mencapai suatu kesimpulan yang jelas, sehingga Allah turun tangan serta menyatakan diri sebagai yang mahakuasa dan mahatahu (Ayb. 38-41). Ternyata Ayub tidak bersalah, dan secara konsepnya juga Ayub tidak melanggar apapun dari hukum dan perintah dari Allah maka penderitaannya bukan hukuman karena dosa. Tetapi manusia tidak mungkin memahami segalah rencana Allah dan tidak perlu meragukan kebaikan dan kebijaksanaan penciptanya. Akhirnya Allah memulihkan keadaan Ayub (Ayb. 42:10-17).

 Masalah penderitaan orang benar memang belum di selesaikan di sini. Hanya dalam perjanjian baru masalah itu mendekati penyelesaian dengan penderitaan satu-satunya orang yang sungguh benar (Yesus Kristus). Namun kitab ayub memberi kunci pegangan bagi setiap orang yang menderita: seharusnya kita menerima penderitaan yang diizinkan Allah dan tetap memuji Dia, dengan penuh keyakinan akan kebaikannya, sebagaimana yang di ungkapkan dalam kitab Ayb. 1:21.[3] Ayub menggumuli pertanyaan abadi, "Jikalau Allah itu adil dan penuh kasih, mengapa diizinkan-Nya orang yang sungguh-sungguh benar seperti Ayub (Ayub 1:1,18)[4] Ketika menggumuli soal ini, saya akan mengemukakan beberapa tujuan yang dapat saya amati yaitu.

  1.  Dalam konteks musuh Allah, Iblis menerima izin untuk menguji kesejatian iman seorang benar dengan menyiksa dia; itulah hal pertama yang dapat kita lihat, dan kemudiaN walaupun iblis mencobai kita tetapi kasih karunia Allah menang atas penderitaan karena oleh iman Ayub tetap kokoh dan tidak goyah, bahkan ketika kelihatannya tidak ada keuntungan jasmaniah atau duniawi untuk terus mengabdi kepada Allah.
  2. Allah tak dapat dipahami oleh pikiran manusia (Ayub 37:5); karena kita tidak melihat dengan kelapangan hati dan visi Yang Mahakuasa, maka kita memerlukan Allah menyatakan diri-Nya kepada kita.
  3. Landasan iman yang sesungguhnya tidak terletak dalam berkat-berkat Allah, dalam situasi-situasi pribadi atau jawaban-jawaban yang cerdik pandai, tetapi dalam penyataan Allah sendiri. Tetapi ketaatan iman kita terletak pada cobaan dan penderitaan yang Dia berikan kepada kita
  4. Sama seperti konteks nomor yang pertama Allah kadang-kadang mengizinkan Iblis menguji orang benar dengan kesengsaraan agar memurnikan iman dan kehidupan mereka, sebagaimana emas dimurnikan oleh api (Ayub 23:10; bd. 1Pet 1:6-7); ujian semacam itu mengakibatkan peningkatan integritas rohani dan kerendahan hati umat-Nya (Ayub 42:1-10).
  5. Banyak rencana Allah terhadap kita kadang-kadang tampak suram dan kejam (sebagaimana dikira oleh Ayub sendiri), akhirnya Allah tampak dalam belas kasihan dan kemurahan yang penuh. (Ayub 42:7-17; bd. Yak 5:11).

 Ayub mengajarkan kita bahwa sia-sia saja untuk berusaha memahami alasan di balik penderitaan kita, cukuplah kita hanya mengetahui bahwa Allah selalu ada di balik segala persoalan yang kita hadapi yang selalu memberi kekuatan kepada kita. Allah tidak terikat oleh pemahaman kita dan suatu apapun, Allah bebas dan selalu berada bersama kita, Dia tidak tergantung pada sesuatu apapun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun