Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengurai Calon-calon Pemimpin Jakarta: Mencari Mereka Kala Mei Kelabu (Bagian 2 dari 5 Tulisan)

15 Mei 2012   12:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:16 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Perjuangan melawan kekuasaan sesungguhnya perjuangan ingatan melawan lupa…” (Milan Kundera)

Jangankan detail riwayat bagaimana bangsa-bangsa nusantara menjadi Indonesia, bahkan guncangan keras yang menentukan nasib bangsa, nasib kita hari ini, pun dilupakan sudah. Aku tak heran jika bangsa ini terus bingung menatap masa depan. Pasrah diri diterkam sang waktu, lalu menjadi sampah zaman belaka. Tinta sejarah pun enggan mencatat kita. Karena kita, terus menerus membiarkan diri ini dijerat penyakit akut: LUPA!

Tidak ada orangtua kini yang menuturkan kisah masa lalu yang menghidupkan semangat. Seperti kita yang tidak pernah lagi menuturkan kisah kepahlawanan bangsa sendiri kepada anak-anak kita. Siapa pula pahlawan bangsa ini yang kita ingat betul riwayatnya? Ah, semuanya samar. Dan kita sudah melepaskan tanggung jawab menuturkan cerita yang membentuk karakter anak bangsa kepada televisi dan internet.

Genaplah sudah cara kita untuk menjadi lupa diri. Lupa segala-gala. Setelah itu, mata dan telinga kita dibombardir untuk mengingat segala ‘kebohongan’ hari ini. Yang dipertontonkan dalam sajian berita yang bercampur nafsu kuasa. Perhatikan berita-bertia politik pemilihan Gubernur DKI Jakarta hari ini. Sekejap tangan mengepal keras. Tapi segera memudar ketika terbaca satu nama. Terbaca pada lembaran kertas kumal Majalah TEMPO Edisi Mei, 1998 dan Tempo Interaktif Edisi 11/03 - 16 Mei 1998. Terdengar dari suara televisi nama yang sama disebut. Terbaca pula nama itu tertulis pada sebuah judul berita koran hari ini.

Mulailah aku mengais-ngais catatan mereka satu per satu. Di manakah mereka pada Mei Kelabu? Apa yang mereka lakukan? Di manakah Nachrowi Ramli? Di mana Riza Patria? Ahok? Didik J. Rachbini? Biem Benjamin? Dan Nono Sampono? Mereka adalah calon-calon wakil gubernur ibu kota. Pada diri mereka terlihat sesuatu yang menentukan, bukan calon gubernurnya. Jika warga Jakarta bisa melihat dan membandingkannya secara jernih.

Berkah zaman ini, wikipedia dan google. Eureka! Aku bisa menemukan jejak mereka satu persatu. Mengira-ngira apa yang sedang mereka lakukan pada Mei kelabu itu. Mei 98, yang menandai siapa yang ‘jahat’ (antagonis) dan ‘si baik’ (protagonis) ketika keduanya berhadapan dalam satu episode transisi peralihan kekuasaan. Mahasiswa dan rakyat (protagonis) menghadapi Orde Baru dan sebagian perwira Angkatan Darat (Antagonis). Ya, kita semua tahu, Orde Baru tumbang akhirnya. Si antagonis kalah dalam episode itu. Meski belum mati semuanya, dan belum juga menamatkan riwayatnya. Bahkan menyambung cerita dalam Pilkada DKI 2012.

Nachrowi Ramli. Mei 98.Dia perwira militer aktif sebagai Deputi Bidang Pengamanan Pesan (Pamsan)&Instruksi Operasi Komunikasi dan elektronik (Insop Komlek) Lembaga Sandi Negara RI, 1998. Bukan hanya lembaga tempat dia bekerja yang menjadi perangkat negara, melainkan juga dirinya sebagai telik sandi. Dia tentu menguasai sandi-sandi yang dipergunakan oleh mahasiswa dan aktivis pergerakan ‘98 yang melawan Orde Baru. Dia berada di kubu antagonis cerita Mei Kelabu ’98. Di tangannya pasti ada catatan nama-nama mahasiswa pembangkang, yang mungkin harus diamankan (untuk tidak menyebut dihilangkan). Dia adalah teman seangkatan SBY di Akademi Militer Magelang, 1973 (mungkinkah mereka saling berbagi rahasia?). Dia adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jakarta dari Partai Demokrat, partainya SBY. Dia juga yang sekarang dipasangkan dengan Foke, gubernur yang mengaku ahli, tapi tidak terbukti, dan ternyata hanya bermodal kumis belaka.

Riza Patria. Mei 98. Pemuda kelahiran 1969. Dia tidak termasuk angkatan 98. Ketika Demonstrasi bergelombang di Jakarta, dia sudah satu tahun menyandang gelar Sarjana Teknik Sipil ISTN (1997). Aku bisa memastikan dia jauh dari pusat gerakan mahasiswa. Di tahun 1998, dia sedang sibuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Ray White. Accelerated Training ProgramI dan II, ditambah principal Training. Dia juga sibuk dengan jabatannya di MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) sebagai Sekjen, ditambah jabatannya sebagai anggota Komisi Luar Negeri DPP KNPI. Kedua-duanya adalah underbow Golkar, yang belum menjadi Partai Golkar. Golkar kala itu juga berhimpun di kubu antagonis bersama Orde Baru dan Angkatan Darat. Aku menggelengkan kepala ketika mengandai-andai anak muda ini jika jadi wakil gubernur. Dia adalah tipe politisi yang memaksakan diri bermutasi, menyesuaikan diri dengan keadaan, demi mendapatkan keuntungan sendiri. (Maaf! Dia bukan tipe reformis).

Ahok. Mei 98. Nama Ahok tidak muncul dalam wikipedia yang ditelusuri lewat google. Setelah ditulis nama Basuki Tjahya Purnama, barulah google menunjukkannya link wikipedia pada baris paling atas. Haha! Ahok adalah masalah. Namanya tidak memenuhi syarat untuk komunikasi publik. Tim kampanyenya menyadari primordialisme masih menjadi faktor determinan dalam Pilkada. Di DKI sekalipun. Dia juga terkena sindrom Orde Baru, yang harus mengubah nama asli Tionghoa menjadi nama Indonesia. Beginilah Orde Baru menularkan ketakutannya kepada rakyatnya sendiri. Dan ketika mendung di Mei Kelabu ‘98, menjelang keruntuhan Orde Baru, Ahok mungkin sedang tersenyum senang, menerima kelahiran anak pertamanya (1998) yang diberinya nama Nicholas. Aku geli sendiri. Biografi singkat Ahok yang ditulis di wikipedia itu adalah kerjaan konsultan kampanyenya sekarang. Begitu rapi, begitu positif. Dan melewatkan fase penting perjalanan bangsa, Mei 1998. Hanya ada catatan 1992 – 2005 Ahok menjabat sebagai Direktur PT. Nurindra Ekapersada, Belitung Timur. Ah, Pak Direktur, mungkin hanya menyaksikan peristiwa demi peristiwa sepanjang Mei 1998 di layar kaca saja, bersama keluarga. Karena reformasi yang digerakan oleh mahasiswa itu, sekarang Anda dapat kesempatan menjadi calon wakil gubernur DKI. Seharusnya Anda tidak takut lagi mengggunakan nama Ahok, karena toh Orde Baru seudah tidak ada lagi. Kenapa Anda belum juga berani menepuk dada sendiri, sambil menyebut nama: AHOK!!!

Didik J. Rachbini. Mei 98.Dia sedang bertahta di menara gading. Jauh dari mengotori tangan dengan kerja-kerja riil apalagi terjun dalam hiruk pikuk perlawanan terhadap Orde Baru. Lihat saja pengalaman kerja dan pengalaman organisasinya yang melewati fase Mei 1998. Pengurus Pusat ICMI (1995-1998), Pengurus Pusat Himpunan Alumni IPB (1998-2003). Anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI: 1990-sekarang); Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Nasional (1998-sampai sekarang). Wakil Rektor Universitas Mercu Buana (1997-2004); dan Dosen Program Magister Manajemen UI (1998-sekarang). Bisa dibayangkan, Didik bertahan saja di menara gadingnya, dari kampus ke kampus, dari teori ke teori, ketika demonstrasi mahasiswa merebak di Jakarta, dan bahkan Indonesia.

Biem Benajmin. Mei ’98. Aku kenal bapaknya. Benar dia tokoh. Aktor sebenar-benarnya aktor. Aku kagum karena dia tidak pernah mencari keuntungan dari dunia politik. Dan Biem, sekarang menjadi aktor politik, karena ketidaksanggupannya mewarisi bakat sang bapak. Dan wikipedia tidak menyajikan info apapun tentang anak Benjamin ini, selain menyebut dirinya sebagai anggota DPD dan pengusaha jaringan radio. Itupun dalam uraian bahasa Inggris. Mencari info di situs Faisal-Biem, ahh... terlalu banyak cerita mengada-ada. Aku tidak tahu di mana dia pada Mei 1998. Mungkin saat itu tidak terpikir oleh Biem kalau kelak ada yang mengajaknya menjadi wakil gubernur. Dan segalanya mungkin baru dimulai ketika dia ikut serta dalam judicial review UU yang kemudian meloloskan calon independen, yaitu dirinya sendiri. Sudahlah! Lewat.

Nono Sampono. Mei ’98. Beginilah TEMPO menuliskan nama Nono pada Mei Kelabu ‘98, yang membuat tangan yang mengepal keras ketika medengar dan membaca berita politik Pilkada DKI ini kemudian memudar lemas:

Kamis, 14 Mei 1998 - Jakarta Pusat

Di kawasan Jalan Lautze dan Jalan Ambengan, Pasar Baru, Jakarta Pusat, massa sejak pagi pukul 10.30 WIB berkumpul di depan gang-gang pinggir jalan. Massa mulai menjarah dan membakar kompleks pertokoan di Blok B2 yang tepat berada di depan stasiun Sawah Besar. Barang-barang yang ada habis dijarah.

Kompleks Pertokoan yang dikenal sebagai pusat onderdil itu, sejak pagi sudah tutup, terkunci rapat dengan gembok. Massa mulai mencongkel pintu-pintu toko onderdil dengan linggis. Dan mereka mengeluarkan isinya.

Sementara itu BNI cabang Krekot yang bersebelahan dengan show room mobil Timor dan Bank Guna dibakar massa. Dua mobil kijang operasional BNI yang diparkir di garasi juga ikut terbakar. Selain dibakar, beberapa bank di kawasan Pasar baru juga dirusak massa. Antara lain Bank Haga, BCA, BSD, UIB, BDNI, Lippo.

Aparat keamanan yang terdiri dari satuan Marinir dan Kodam Jaya, tidak bisa bertindak apa-apa. Aparat hanya bisa menonton massa yang membakar toko dan bank-bank, dan sesekali melarang anak-anak sekolah yang masih melempari gedung yang terbakar. Pukul 11. 45 Komandan Satuan Armada Barat, Kolonel Mar. Nono Sampono berjalan kaki melihat situasi di Jalan Sukarjo Wiryopranoto. Kedatangan perwira AL ini dielu-elukan massa.

Sekarang aku tahu. Ingatan telah membebaskanku dari lupa. Siapa sesungguhnya protoganis dan antagonis dalam pertarungan Pilkada DKI 2012. Aku tahu, bukan calon gubernur yang menentukan, melainkan wakil gubernurnya. Lihat satu persatu, bandingkan secara jernih.****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun