Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Ingin Nyapres, Jokowi Harus Murtad

19 Februari 2014   14:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi datang pada saat yang tepat. Yaitu, ketika orang-orang sudah mulai bosan dengan segala macam bentuk kepongahan dan gayapara pemimpin yang selalu ingin dilayani, berjas, berdasi, mobil mewah serta pakaian serba wah tempaan pada designer ternama. Selain itu, pemimpin yang berwajah tampan, berwibawa, tubuh padat, tegap berisi, penuh gaya metropolitan telah sangat membumi di wajah negeri ini. Lalu datanglah sosok yang ndeso, dengan body kurus, ceking, obral senyum, tampang tak disegani, membuat mata akan tertuju padanya.

Dalam ilmu marketing pun, jika ingin sukses maka ciptakanlah produk atau sesuatu yang berbeda, walaupun fungsi dan kualitasnya sama, maka ia akan digemari. Persis seperti nasib Tukul Arwana yang menggemparkan dunia presenter, karena ia berbeda, maka ia pun mampu menyingkirkan kemilau presenter tampan seperti Farhan, Helmi Yahya, Tantowi Yahya, Irgi dan lain sebagainya. Namun dunia politik tidak sesederhana dunia hiburan. Kalau dunia hiburan hanya dipenuhi dengan kegembiraan, canda dan tawa yang menyenangkan masyarakatnya, maka dunia politik penuh dengan intrik-intrik yang sadisserta tipu muslihat yang juga mempengaruhi pandangan serta ekspresi masyarakatnya.

Kemunculan Jokowi dengan mobil EsEmKanya adalah cikal bakal nama dan wajahnya dikenal publik. Walaupun sebelumnya sudah banyak mobil produksi sendiri dari mahasiswa Politeknik maupun siswa STM di berbagai daerah, bahkan bukan rakitan juga bukan kanibalan, namun apresiasi dari kepala daerah maupun pemerintah tidak tersiar sampai ke penjuru negeri. Tapi tidak dengan Jokowi, perhatiannya pada mobil EsEmKa yang dikemas sedemikian rupa, mampu menggemparkan seantero pelosok nusantara.

Nama Jokowi meroket. Kejenuhan ibukota dengan polah tingkah dan wajah innocence, apalagi disinyalir banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya (walaupun sampai hari ini tidak satu pun pengadilan yang membuktikan kasus korupsi dari sang para mantan) membuat dirinya digadang-gadang mampu memimpin Jakarta. Peluang ini tak disia-siakan oleh Gerindra. Bermodalkan sesama pejuang oposisi partai ini mengusulkan ke PDI-P tempat Jokowi bernaung untuk menjadikannya calon gubernur berpasangan dengan Ahokmewakili Gerindra. Gayung bersambut. PDI-P mengiyakan dengan segala pertimbangan dan komitmen yang harus disepakati bersama.

Jakarta mempunyai penduduk terbesar di Indonesia. Menguasai Jakarta sama dengan menguasai setengah Indonesia. Jokowi mempunyai tugas yang tak kalah berat, selain membenahi Jakarta ia harus bisa mempengaruhi masyarakatnya memilih calon presiden dari partai yang mendukungnya. Terdapat dua partai, PDI-P dan Gerindra. Sebagai seorang pemimpin yang berjiwa patriot dan berkebangsaan, Jokowi harus memegang komitmennya dan berani menerima tantangan untuk membenahi Jakarta sampai habis masa jabatannya serta mendukung pencapresan dari partai pengusungnya kelak. Artinya dalam komitmen tersebut Jokowi tidak diperuntukkan menjadi Capres di 2014.

Lalu, timbul masalah kemudian. Nama Jokowi semakin berkibar. Peran media massa dan media sosial sangat kuat. Semua sepak terjang Jokowi tidak pernah luput dari pemberitaan. Orang-orang semakin menyenanginya. Jokowi Lover berkembang biak, bagaikan cendawan di musim hujan. Kehausan orang-orang akan hadirnya pemimpin yang merakyat terpenuhi dari sosok ini. Tuntutan untuk menjadikannya ikut dalam pemilu 2014 sebagai calon presiden membingungkannya, di satu sisi ia terikat dengan komitmen untuk mendukung calon yang diusung partainya kelak, di sisi lain ia ingin memenuhi kehendak hati rakyat, akhirnya Jokowi hanya mampu berkata ”nggak mikir” setiap kali ditanya tentang kemungkinannya menjadi Capres. Padahal apabila ia dicalonkan sudah barang tentu kemenangan digenggaman tangan.

Jika Jokowi berkeinginan untuk maju sebagai calon presiden, maka ia harus murtad dari partai yang mengusungnya. Hal yang paling mungkin ia lakukan adalah membuat dirinya seperti orang yang teraniaya. Dengan demikian, simpatik masyarakat Indonesia yang menyukai politik aniaya akan semakin besar. Sehingga kalaupun Jokowi bergabung dengan partai lain yang selalu siap menampung, rakyat tak akan pernah keberatan. Tapi politik aniaya ini harus dijalankan dengan benar dan hati-hati, sebab salah-salahnama Jokowi akan hancur dan lebur tak berkesan. Dalam hal ini, sebaiknya Jokowi merapat ke Demokrat yang berhasil mengangkat nama SBY melalui politik aniaya-nya.

Andaikan terpilih menjadi presiden, perjalanan Jokowi pun tidaklah semuluk yang dibayangkan. Indonesia sudah terbiasa dipimpin dalam satu komando di zaman Soeharto. Pengaruh militer dalam berkehidupan kebangsaan masih sangat kuat. Jika SBY saja yang dari militer tak mampu menyatukan para Jenderal dengan masing-masing pengaruh komandonya, apalagi seorang Jokowi yang notabene dari penduduk sipil. Ambil contoh, ketika jalan Pantura mengalami kerusakan parah, SBY cukup memerintahkan TNI untuk secepatnya membantu perbaikan jalan tersebut, maka TNI langsung bergerak dan mengerjakannya hingga selesai. Andai yang diperintah adalah Pemda setempat, maka segala macam tetek bengek birokrat dan kepentingan politik di DPRD setempat akan memperlambat perbaikannya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.

Selain itu, berbeda dengan orang-orang di Ibukota, masyarakat daerah lebih suka melihat wajah tampan dan perawakkan tubuh yang gagah, karena jarang ditemukan terutama di pedesaan. Maka sangat wajar juga, kalau gema Jokowi tidak sehirukpikukJakarta. Masyarakat daerah lebih suka melihat wajah Prabowo ataupun Wiranto, sehingga kehadiran sosok pemimpin seperti ini jauh lebih menyenangkan dan menyemangati mereka. Inilah juga mengapa kedatangan Jokowi ke daerah untuk mengkampanyekan pasangan calon dalam Pilkada disambut biasa saja, malah kebanyakan calon yang diusungnya juga kalah.

Juga, persoalan di Indonesia tidak hanya masalah kurang merakyatnya pimpinan. Atau kurangnya pemimpin melakukan blusukan serta bersihnya pimpinan dari kasus korupsi saja. Gerakan-gerakan separatis masih banyak berkeliaran, yang setiap saat siap meletus layaknya Gunung Sinabung. Salah mengambil kebijakan bisa-bisa menular ke berbagai daerah lainnya, sehingga kekacauan demi kekacauan semakin merajalela.Belum lagi liarnya para teroris mencari target-target, intelijen-intelijen asing yang berkeliaran dan siap menerkam kapan saja, tekanan dan hinaan dari negara tetangga yang datang silih berganti, baik melalui TKI maupun perbatasan yang semakin tergusur, sangat memerlukan kedewasaan dan pengalaman memimpin serta dukungan dari TNI – Polri yang hanya dapat dijalankan melalui satu komando, yaitu para Jenderal.

Iklim perpolitikkan di Indonesia juga sangat tidak sehat. Seorang politikus tidak akan mampu mendeteksi siapa lawan siapa kawan. Dalam satu partai pun belum tentu sejalan dan satu haluan. Semua serba abu-abu. Kriminalogi politik sangat intens dilakukan. Lemahnya penegakkan hukum menjadikan kasus hukum sangat mudah dibeli. Dengan kekuasaannya lawan politik mampu membuat skenario untuk menjungkalkan seorang Jokowi jika membahayakan kepentingan atau kedudukannya. Kalaulah tidak mendapat dukungan penuh, baik dari partai maupun TNI – Polri, akan sulit bagi Jokowi untuk menghadapi ancaman-ancaman seperti ini.

Alasan-alasan tersebut mungkin yang menjadi pertimbangan Ibu Megawati belum menentukan Jokowi sebagai Capres yang akan diusung. Blusukan-blusukan dan kedekatan pada rakyat bukanlah modal yang cukup untuk mengatasinya. Bukan meremehkan kemampuan Jokowi, tapi Jokowi belum teruji dengan kondisi ini. Akan sangat disayangkan jika ia muncul disaat yang tepat, tapi jadi pemimpin diwaktu yang salah, karena ia hanya akan menaburkan segenggam gula di danau yang luas. Tidak berarti apa-apa, malah gulanya akan mengikuti rasa yang ada di danau tersebut, asin, asam bahkan beracun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun