Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Husnul Khotimah

2 April 2012   09:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian sahabatku beberapa waktu yang lalu meninggalkan kisah pedih tapi membanggakan walaupun tetap memilukan.Bersama isteri tercinta aku mengunjungi rumah duka tersebut setelah berpuluh hari kepulangan almharhum,dikarenakan jarak dan waktulah yang membuat aku tak serta merta dapat melayat, karena kami tinggal di dua kota yang berbeda.Dengan memacu laju kenderaan secepat tapi setenang mungkin, akhirya kami sekeluarga sampai jua ke tempat tujuan. Waktu telah menunjukka pukul 20.00 WIB, artinya ada sekitar tujuh jam perjalananku hari ini. Rumah sang sahabat tampak lengang. Lampu teras hanya satu yang dinyalakan, halaman rumah yang luas dan bangunan yang megah nampak begitu tak berarti kini.Perlahan isteriku turun dari mobil dan membuka pintu pagar sang sahabat. Setelah aku memarkirkan mobil di pekarangan mulailah lampu halaman rumah tersebut menyala satu persatu, seorang wanita membuka pintu rumah dan tersenyum ke arah isteriku.Sangat ekspresif dia menyalami dan memeluk isteriku layaknya sahabat yang sudah lama tak bertemu. Tapi tak ada tangis yang pecah dalam pertemuan itu, semua tampak biasa saja. Kemudian aku dan anak-anakku menyalaminya satu persatu, demikian juga anak-anaknya yang berduyun-duyun menyambut kedatangan kami.Aku dan suami wanita itu telah bersahabat sejak Sekolah Dasar. Tapi komunikasi diantara kami tetap terjalin hingga maut memisahkan, untungnya silaturahmi sudah terbina dengan baik antara kami sekeluarga, sehingga isteri dan anak-anak kamipun sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan tak ubahnya seperti keluarga sekandung saja, Insya Allah.

“Berangkat jam berapa?’ tanya Soleha, nama ister i sahabatku tersebut

“Jam satu, siang tadi” jawab isteriku

“Istirahat dulu ya, aku siapin kamar tidurnya” Soleha mau beranjak dari duduknya, tapi isteriku segera mencegahnya. “Nggak usah, biar nanti aku beresi sendiri, sekarang kita ngobrol aja dulu” pinta isteriku. Soleh tampak duduk kembali, ia memandang ke arah kami secara bergantian. Diulurkannya tanganya ke arah anaknya yang paling kecil, dan anaknya tersebut segera memeluk ibunya. Wajah lucunya persis wajah bapaknya, umurnya sekitar dua tahun. Isteriku memanggil namanya, “Fawass........, sini yok pangku sama tante”. Tapi Fawass tampak asyik bergelantungan di leher ibunya. Setelah itu dia berlarian ke sana kemari bermain bersama kakak-kakaknya dan juga anak-anakku.

“Dia menderita kanker hati” Soleha memulai cerita mengenai Tarabani sahabatku tersebut.“sudah stadium empat” lanjutnya lagi.

“Kenapa selama ini tidak ada khabar?” tanyaku.

“Ketahuannya baru dua bulan terakhir, malah sebelum almarhum berangkat haji beberapa waktu yang lalu, tidak ada penyakit apapun yang diderita, hingga tes kesehatannyapun lolos” jawab Soleha. “Dia tak pernah mengeluh, bahkan tak pernah merasa bahwa dia sakit” lanjutnya lagi. “Bahkan sampai didetik-detik terakhirpun kami berdua masih bercengkrama. Malam itu adalah malam Jum’at. Dia tampak gelisah tak bisa tidur. Lalu dia berkata padaku, Ma...maafkan Papa kalau sakitnya Papa bikin Mama repot dan capek, akupun menjawab...Mama sama sekali tidak repot Pa, apalagi capek...Mama senang bisa ngurus Papa disaat Papa sangat membutuhkan Mama, tak ada lagi yang bisa membahagiakan Mama selain bisa mengurus Papa dan anak-anak kita Pa, jawabku...lalu aku meneruskan ucapanku, sebaliknya Mama yang minta maaf sama Papa, kalau selama ini baik selagi Papa sehat maupun setelah Papa sakit, Mama tidak bisa bertugas dengan baik sebagai isteri Papa, Mama banyak melakukan kesalahan sama Papa, Mamalah yang harus minta maaf, kataku..tapi dia malah menjawab, tak ada yang salah dengan Mama, semua yang Mama lakukan selalu menyenangkan hati Papa, tak ada yang bisa membalas kebaikan Mama selain Sorganya Allah...dia berkata demikian...lalu dia tersenyum, wajahnya sudah tampak tenang, kemudian dia memintaku untuk segera tidur, karena malam sudah larut..sesungguhnya aku tak bisa tidur malam itu, tapi kulihat suamiku sudah tertidur pulas” Soleha menceritakan saat-saat terakhir Tarabani.

“Keesokkan paginya, yaitu hari Jumat, suamiku bangun subuh, tubuhnya tampak segar, aku gembira sekali melihatnya..ia memintaku menemaninya ke kamar mandi, dia tidak mau ditemani orang lain termasuk anak-anakku kalau ke kamar mandi, karena dia sangat tabu kalau auratnya terlihat oleh orang lain, beliau sangat mejaga auratnya...dia buang air besar...tampak tinja warna hitam yang keluar, aku langsung bergetar...apakah suamiku sudah dekat ajalnya?...tapi semua kupendam tanpa memperlihatkan kepanikan, aku harus kuat...setelah buang hajat besar, suamiku menggosok giginya, lama sekali beliau menggosok giginya, bahkan sampai lidah dan langit-langit mulutnya digosok semua. Setelah itu dia mandi dan minta dibersihkan semua anggota tubuhnya dengan menggunakan spon. Rambutnya minta dishampoo dan kukunya minta disikat dan dipotong hingga pendek. Aku menuruti semua yang dia minta, sambil takhenti-henti berdo’a, Ya Allah jika Engkau mau mengambil suamiku, ambillah ia, tapi kuatkanlah aku dan anak-anakku, tegarkan jiwaku dan anak-anakku... suamiku tampak bercengkrama dengan anak-anakku, hari itu tak satupun anak-anakku yang mau sekolah...mereka menolak semua ketika aku mau mengantarnya sekolah..aku terenyuh, anak-anak seperti mempunyaifirasat, atau karena aku yang tampak tak biasa membuat mereka enggan sekolah. Atau karena melihat Papanya sudah segar dan bisa bermain dengan mereka membuat mereka enggan meninggalkan Papanya. Beraneka ragam fikiran berkecamuk di benakku. Tepat pukul dua belas suamiku sudah mulai lemas, dia minta dibaringkan di ruang tengah, Ma....pakai ambal dengan kasur yang bersih Ma....pintanya ketika mau berbaring di ruang tengah tersebut, Iya...jawabku...setelah semuanya rapi ia berbaring di situ...ku dengar Fawass menangis keras, lalu adikku yang semenjak beliau sakit tinggal di sini membawa Fawass ke kamarnya hingga tangisnya tak kedengaran lagi...Ma...kalau Papa meninggal apa yang Mama lakukan untuk anak-anak, tanya suamiku....jangan khawatir Pa...Mama tetap akan menyekolahkan anak-anak sampai selesai seperti yang Papa inginkan selama ini...Mama sanggup mengurus mereka sendirian, tanyanya lagi..dengan tegas aku jawab bahwa aku sanggup...Alhamdulillah Ya Rabb..katanya, lalu dia berkata lagi..Ma...kalau Papa meninggal tolong dikubur di samping rumah di bawah pohon mangga ya...Iya Pa...jawabku sambil tercekat tapi tak kuperlihatkan dihadapannya. ..tapi jangan dibuat pedapuran ya Ma....cukup gundukan tanah saja...Iya Pa...jawabku tetap berusaha senyum...kulihat diapun terseyum.... sayup-sayup suara adzan jum’at mulai terdengar..lalu suamiku bertanya padaku...Ma...boleh nggak Papa ikut shalat Jum’at dari sini?..Boleh Pa..jawabku..tapi Papa sudah tak kuat berdiri Ma...Rosul sudah mengajarkan Pa..tak bisa berdiri...duduk...tak bisa duduk...berbaring...tak sanggup bergerak..berkedip..kalau tak sanggup berkedip kita shalat ramai-ramai...jawabku...diapun tampak tersenyum...ah Mama bisa saja...ujarnya sambil mencubit kulit tanganku...Ma, kalau Papa meninggal sekarang segera kuburkanlah Ma... selagi orang masih ramai,jangan ditunda sampai besok, pintanya lag..Iya Pa...aku sepertinya tidak mempunyai rasa apapun..bahkan sedikitpun tak terbayang bakalan kehilangan suamitercinta... kemudian tampak dia sangat khusyu’ mengikuti imam masjid untuk menunaikan shalat Jum’at....setelah selesai shalat Jum’at..aku merasakan kakinya mulai dingin...kemudian rasa dingin tersebut terus naik ke atas...ke pahanya...terus ke badannya...lalu dingin itu terus naik hingga ke wajahnya...dan akhirnya suamiku sudah tidak ada lagi......lalu dengan tegar aku mengusap mukanya dengan mengucap “Innalillahiwainnailaihiroji’un” dan kemudian merapikan ruang tamu bersama adikku dan anak-anakku...memposisikan suamiku ke arah kiblat....memasang ambal di seluruh penjuru ruangan, setelah itu barulah aku memberitahu tetangga tentang kematian suamiku...beritanyapun segera menyebar, bahkan ada yang mengumumkannya ke stasiun televisi daerah, radio dan sambung menyambung dari telepon teman-teman serta jiron tetangga....tak berapa lama rumah kami sudah penuh oleh para pelayat, bahkan sampai ke ujung jalan penuh sesak, teman-teman dosen dan mahasiswa beliau bahkan masyarakat umum pada berkumpul disini. Sesuai permintaan suamiku aku dan anak-anakku yang memandikan jenazah beliau....lalu aku sendiri yang memasang kafannya...setelah itu anak lelakiku yang nomor satulah yang menjadi imam shalat jenazah, aku sangat bersyukur walaupun baru kelas dua SMA dia sudah dapat melaksanakannya dengan tenang dan tegas...lalu bersama adiknya yang nomor dua dia menyambut jenazah di dalam kubur serta adzan dan iqomah... semua berjalan lancar....ketika para pelayat sudah mulai sepi..yang tinggal hanya kerabat dekat saja..aku mulai merasakan kegoncangan..aku mulai merasa kehilangan..perih sekali rasanya ditinggal orang yang sangat kita cintai...aku mulai terguncang.... air mataku tak terbendung lagi....semua tumpah bagaikan air bah...aku lemas, hatiku pilu...jiwaku luka... tubuhku lunglai...semua tak bermakna...ada bidan tetanggaku datang dan merawatku dengan telaten, menyuruhku menangis sepuas-puasnya...tumpahkan semua...katanya...akupun tak kuasa menahan tangis lagi...kulihat anak-anakku pun demikian..satu persatu mereka mendekat ke arahku..memeluk aku...mereka masih kecil-kecil...bagaimana aku membawa mereka ke depan...tapi aku sudah berjanji di depan suamiku, aku akan mengurus mereka dengan baik dan menyekolahkan mereka hingga selesai ke jenjang yang lebih tinggi...malam itu aku hanya mengenang semua kenangan bersama suamiku...tak ada kenangan yang tak manis....semuanya manis....beliau sangat periang..sangat penyayang dengan keluarganya...selalu menjaga silaturahmi dengan siapun yang ia kenal....mengingat semua itu hatiku semakin hancur berkeping..tapi aku harus kuat..aku harus tegar...semua aku kembalikan kepada Allah...sekarang baru aku menyadari kenapa dia minta di kubur di samping rumah ini, ternyata jika dia dikubur di tanah pekuburan pasti saya sudah berfikir untuk menjual rumah ini dan kembali ke kampung halaman untuk tinggal dengan orang tua...duhai suamiku sungguh selalu berfikiran ke depan...” Soleha bercerita ke kami dengan sekali-sekali diselingi helaan nafas panjang.

“Dia meninggal dalam keadaan husnul khotimah....bersyukurlah..karena kitapun pasti akan menuju ke sana...” kata isteriku..

“Iya.....akupun selalu bilang ke Fawass bahwa kuburan Papanya tersebut adalah pintu ke Sorga... Papa sekarang ada di Sorga....pintunya adalah kuburan tersebut...setiap kali dia bertanya dimana Papanya berada...” lirih Soleha berkata...”dan mungkin tetangga di sini melihat saya sudah gila barangkali...karena setiap saya mau pergi mengantar anak sekolah atau ke luar rumah, saya selalu mampir ke kuburannya sambil berucap....Pa...Mama mau pergi dulu ya...” dia tersenyum di arah isteriku..

“Saya mau ke kuburannya” Aku berkata sambil beranjak....isteriku mengikuti aku berdiri dan diikuti oleh Soleha sambil menghidupkan lampu penerang di arah kuburan suaminya..malam itu akuberdo’a dihadapan kuburan Tarabani..sahabat kecilku hingga dewasaku...”Ya Allah tempatkanlah ia di tempat yang layak di sisiMu...bersama orang-orang yang Engkau cintai dan orang-orang yang mencintaiMu...Amin..”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun