Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Cinta Harangan, 60 Tahun Menikah Jarang Berpisah

16 Januari 2021   06:09 Diperbarui: 17 Januari 2021   05:12 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

60 Tahun Menikah, Cuma 50 Malam Berpisah

Orang umumnya mengenal kisah cinta sejati yang mashyur di dunia, yakni romantisme Romeo dan Juliet. Kisah cinta antara dua insan yang tak terpisahkan hingga ajal menjemput meskipun berbagai rintangan menghadang. Namun masih banyak kisah cinta sejati yang populer dan sudah difilmkan di layar lebar sehingga menjadi sebuah legenda. Cinta sejati selalu menarik untuk disimak karena menginpisrasi manusia untuk mempertahankan kasih, kesetiaan dan pengorbanan. 

Dalam keluarga suku Batak, kisah Cinta Sejati bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena mereka sadar menikah bukan sekadar saling menyukai, tetapi menikah adalah keharusan yang wajib ditunaikan bagi setiap insan Batak. Sebuah pepatah Batak mengatakan "Magodang anak pangolihononhon, magodang  boru pamulian', artinya jika anak-anak sudah dewasa wajib segera untuk dinikahkan. Sehingga jika Orang Batak tidak menikah, sama artinya dia tidak tunduk atas filsafat tersebut.

Saya menikah pada tahun 1956, pada usia 21 tahun sedangkan istri saya, Tio Monica boru Sibarani berusia 25 tahum. Pernikahan saya, saat ini sudah berjalan 60 tahun, artinya sudah lebih dari usia pernikahan emas 50 tahun yang sering dirindukan setiap pasangan. Saat ini, saya dan istri, panggil saja Opung boru (Nenek) sudah dikaruniai 8 anak dengan 23 cucu serta 1 cicit. Di usia yang sudah 85 tahun ini, saya merasa bersyukur kepada Tuhan atas semua anugerah yang diberikan. 

Perjalanan cinta kami, memang tidak seheroik kisah cinta Romeo dan Juliet. Namun satu hal yang perlu diketahui, selama 60 tahun menikah, saya tidak pernah meninggalkan pasangan lebih dari 50 hari. Maksudnya selama kami berumah tangga, saya tidak membersamai istri kurang dari 50 hari atau malam. Di mana pun saya berada, opung boru selalu menemani, termasuk jika bepergian keluar kota dalam urusan pekerjaan. Mungkin kedekatan kami ada kemiripan dengan penguasa Orde Baru, Bapak Presiden Soeharto yang selalu didampingi Ibu Tien Soeharto pada setiap waktu dan kesempatan. 

Ketika pertama kali menikah, dan kehidupan kami masih susah, kami selalu bersama. Dulu ketika pindah ke Pekanbaru , opung boru selalu mendampingi baik ketika mulai usaha serta keluar masuk hutan. Kini, ketika hidup sudah banyak mendapat berkat, opung boru selalu membersamai kamia. Apalagi sekarang di usia yang sudah tua, dalam setiap kegiatan kami selalu bersama-sama, baik kegiatan sosial, keluarga maupun pekerjaan. 

Saat bersama yang paling sering adalah saat makan. Kami selalu makan  bersama, jika saya belum datang, opung boru tidak mau makan, saya pun demikian. Apalagi saya tidak pernah makan di kedai sendirian, biasanya bersama opung boru. Jika opung boru tidak bisa ikut, kadang-kadang saya mengajak cucu untuk menemani. Keinginan agar opung boru selalu berada tidak jauh dari saya berjalan secara spontan, karena kami sudah terbiasa bersama sejak dulu. Meski sering bersama, saya tidak pernah merasa bosan, justru saya malah merasa kehilangan jika dia tidak ada Kita biasa bersama, jika suatu ketika tidak berdua, malah dikira orang, kami sedang berkelahi. 

Padahal jika sudah bersama, kadang kami juga suka berantem, biasanya di dalam mobil. Tapi jika sudah sampai rumah, semua rukun kembali. Jika di mobil tidak ada opung baru, terasa sepi. Pernah suatu ketika opung boru sakit lalu dibawa dengan mobil ambulans, kemudian petugas melarang saya masuk ke ambulans. Saya protes karena sewaktu sehat, saya selalu bersama satu mobil, tapi saat dia sakit kok malah tidak boleh. Akhirnya saya diperbolehkan masuk. Sepanjang jalan menuju rumah sakit saya memegang tangannya.

Namanya pergi berdua, pasti ada suka dukanya. Sukanya banyak, dukanya antara lain saya tidak sabar jika menunggu terlalu lama. Apalagi kalau pergi ke mal, saya kerap tidak sabar menunggu opung boru belanja. Namun saya tetap menunggu sambil duduk-duduk di restoran, membiarkan istri belanja sampai selesai. Karena sudah kenal dengan baik pribadi dan aktifitasnya, akhirnya saya sudah terbiasa. 

Kisah Kasih di Siantar

Kisah asmara saya dengan Opung baru berawal dari Kota Siantar. Setelah Lulus SGB HKI (Sekolah Guru Bawah Huria Kristen Indonesia) di Tarutung, Tapanuli Utara, saya kemudian menjadi guru SD di Sungai Pakning, Kabupaten Bengkalis, Riau pada tahun 1955. Seperti orang Batak pada umumnya. saya senang merantau mengadu nasib di kota yang jaraknya sekitar 500 km dari tempat kelahiran saya di Balige. Suatu hari di tahun 1955 saya cuti, sehingga bisa mudik ke bonapasogit (kampung halaman ) di Balige, kabupaten Toba, Tapanuli Utara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun