Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Cinta Pengusaha Harangan Hutahaean

30 Desember 2020   06:10 Diperbarui: 30 Desember 2020   06:35 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

60 Tahun Menikah,  Cuma 50 Malam Berpisah

Umumnya orang mengenal kisah cinta sejati yang masyur di dunia, yakni romantisme Romeo dan Juliet. Kisah cinta antara dua insan yang tak terpisahkan hingga ajal menjemput meskipun berbagai rintangan menghadang. Masih banyak kisah cinta sejati yang populer dan sudah difilmkan di layar lebar sehingga menjadi sebuah legenda yang romantis. Cinta sejati selalu menarik untuk disimak karena menginspirasi setiap insan untuk mempertahankan kasih, kesetiaan dan pengorbanan.

Dalam keluarga suku Batak, kisah Cinta Sejati bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena mereka sadar menikah bukan sekadar saling menyukai, tetapi menikah adalah keharusan yang wajib ditunaikan bagi setiap pemuda pemudi Batak. Sebuah pepatah Batak mengatakan, "Magodang anak pangolihononhon, magodang boru pamulian', artinya jika anak-anak sudah dewasa wajib segera untuk dinikahkan. Sehingga jika ada Orang Batak yang tidak menikah, berarti dia tidak tunduk dengan filsafat tersebut.

Saya menikah pada tahun 1956, di usia 21 tahun, sedangkan istri tercinta, Tio Monica boru Sibarani berusia 25 tahun. Pernikahan saya, saat ini sudah berjalan 60 tahun, artinya sudah lebih dari usia "pernikahan emas" yakni 50 tahun yang sering didambakan setiap pasangan. Kini, saya dan istri, atau biasa dipanggil Opung boru (Nenek) sudah dikaruniai 8 anak dengan 23 cucu serta 1 cicit. Di usia yang sudah 85 tahun ini, saya  bersyukur kepada Tuhan atas semua anugerah yang telah diberikan. 

Perjalanan cinta kami, memang tidak seheroik kisah cinta Romeo dan Juliet. Namun satu hal yang perlu diketahui, selama 60 tahun menikah, kami tidak pernah meninggalkan pasangan lebih dari 50 hari. Maksudnya selama kami berumah tangga, saya tidak bersama istri jika dihitung kurang dari 50 hari atau malam. Dimana pun saya berada, istri selalu menemani, termasuk jika bepergian keluar kota. Mungkin kedekatan kami mempunyai kemiripan dengan penguasa Orde Baru, yakni Bapak Presiden Soeharto yang selalu didampingi Ibu Tien Soeharto pada setiap waktu dan kesempatan. 

Kisah asmara saya dengan istri berawal dari Kota Siantar, yang terletak 100 km dari kota kelahiran saya di Balige, Kabupaten Toba. Setelah Lulus SGB HKI (Sekolah Guru Bawah- Huria Kristen Indonesia) di Tarutung, Tapanuli Utara, saya kemudian menjadi guru SD di Sungai Pakning, Kabupaten Bengkalis, Riau pada tahun 1955. SGB pada masa sekarang setingkat dengan SMP. Seperti orang Batak pada umumnya, saya suka hidup di perantauan mengadu nasib di kota yang jaraknya sekitar 500 km dari tempat kelahiran saya. Dengan merantau dan jauh dari keluarga, maka biasanya orang akan berjuang lebih keras untuk meraih kesuksesan. 

Suatu hari saya mendapat cuti, sehingga bisa mudik ke bonapasogit (kampung halaman ) di Balige, kabupaten Toba, Tapanuli Utara. Ketika itu tahun 1955, kondisi Negara masih labil setelah Dekrit Presiden 1955 yang salah satu isinya membubarkan parlemen. Di beberapa daerah timbul gejolak pemberontakan kepada pemerintah Pusat, misalnya Gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh, lalu Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta di Sulawesi Utara dan Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia atau PRRI di Sumatera Barat.

Pemberontakan yang terjadi di tanah air berimbas ke daerah saya di Sumatera Utara. Saya merasa ketakutan untuk pulang ke Balige, akhirnya saya dari Bengkalis singgah di Pematang Siantar di rumah adik ibu saya, atau inanguda / tante.  Saat itu Tante saya mengajar di SGA (Sekolah Guru Atas setara SPG Sekolah Pendidikan Guru) di Pantohan Siantar. 

Ternyata jodoh memang sudah diatur Tuhan, karena disitulah pertama kali saya mengenal calon istri saya. Saat itu, dia tinggal di rumah kakaknya yang terletak di seberang rumah tante. Waktu itu dia mengajar di Walata,  berangkat setiap pagi dan  sore harinya baru pulang. Saya tinggal beberapa hari di Siantar sambil menunggu kondisi normal.

 Setiap pagi, saya melihat dia berangkat bekerja. Pada sore hari, ketika mengambil air di sumur, dia selalu melintas depan rumah tante saya. Awalnya perasaan saya biasa saja, tapi setelah saya perhatikan mulai timbul rasa ketertarikan, kata orang Medan "masih sikitlah" (sedikit).  Tapi lama-kelamaan saya mulai mencuri pandang. Apalagi mama di Balige, pernah meminta saya untuk menikah sebelum pulang ke kampung halaman. Sebenarnya, waktu itu saya sudah punya teman dekat di Pekanbaru, tapi kami belum ada rencana ke arah pernikahan.

Namun ketika melihat istri semasa masih gadis, perasaan saya mulai berdesir-desir. Hati ini merasa ada getaran yang kuat setiap berpas-pasan pandangan mata. Akhirnya saya bertanya pada tante, apakah perempuan di depan rumah itu punya perhatian pada saya, karena setiap saya perhatikan dia seperti orang yang salah tingkah. Saya kaget mendengar jawaban  tante, katanya "Janganlah dia sudah ada cowoknya."  Alamak, bagi saya ini tantangan karena bisa bersaing untuk mendapatkannya. Sambil bercanda saya katakan pada Tante, " Ah itu nanti saya potong." Maksudnya, saya akan mengambil dia dari cowoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun