Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Humor

Heran, 15 Tahun Golput Kini Kok Malah Nyaleg

12 Juni 2018   11:52 Diperbarui: 12 Juni 2018   12:08 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangankan anda, saya sendiri juga heran hahaha. Perkenalkan saya Dudun Parwanto, seorang pebisnis industri penerbitan dibawah bendera Bianglala Publishing dimana kami menyediakan jasa penerbitan swa biaya. Saya telah menulis 40 judul buku dimana separuhnya adalah buku klien sehingga saya juga seorang ghost writers atau asistant penulis. 

Bicara pencapaian dalam dunia buku, saya pernah menjadi juara 1 penulisan novel anak keagamaan tingkat nasional dengan buku berjudul Bocah Kuat. Selain itu saya juga punya selera humor meskipun tipis, tapi pernah jadi juara 2 Stand Up Comedy se Jawa Barat. Itu belum seberapa, karena saya yakin masih banyak dinatara kita yang yang sudah berprestasi di tingkat nasional dan dunia dalam berita. 

Itu perkenalan singkat saya. Di dunia politik, saya dulu seorang kader dari PAN dan menyatakan mundur pada tahun 2002 semenjak saya bekerja di Jakarta. Alasan mundur saya yakni ketika Ketua MPR Amin Rais menjatuhkan Gus Dur yang saat itu sebagai Presiden RI tahun 2001. 

Saya melihat ada etika politik yang dilanggar Amin rais karena dialah yang menaikkan Gus Dur melalu Poros Tengah untuk menjegal Megawati. Dan akhirnya Megawati harus puas sebagai Wapres setelah mengalahkan Hamzah Has dalam voting MPR. Saat itu pemilu belum langsung, masih menggunakan keterwakilan. 

Ternyata politik memang tidak ada kawan dan abadi yang ada kepentingan abadi. Betul sekali. Dulu ketika SBY berkuasa, Gerindra dan PDIP sepakat mengambil peran oposisi. Kini ketika PDIP berkuasa, giliran Gerindra dan Sby (baca Demokrat) menjadi oposisi. Begitulah politik, maka orang idealis itu tidak  cocok berpolitik, karena politik begitu elastis, dinamis, pargamatis dan tidak kaku. Karena istiilah kata politik itu sudah pol masih bisa diotak-atik. kawan dan lawan itu bedanya tipis.

Setelah tidak berpolitik, maka saya memilih seperti kebanyakan orang menjauhi hingar bingar politik dan meyibukkan diri dengan pekerjaan. Maka saya tidak mengambil bagian dalam pesta demokrasi dan memilih untuk tidak datang ke TPS termasuk dalam pemilu 2014 silam. 

Dapat dikatakan saya seorang medioker, netralis dan tidak memihak. tapi medioker auat mengambil sikap di tengah itu malah serba salah, ketika saya mengkritik Jokowi maka saya dianggap sebagai loyalis Prabowo dan ketika saya diundang makan siang dengan Presiden saya dianggap buzzer Jokowi. Mereka menilai sesuai dengan kubunya, bukan benar dan tidaknya. 

Menjadi medioker malah sering digebuk sana sini, membuat saya harus memihak meski tidak cinta buta. Tapi saya tidak pernah mengkultuskan individu atau cinta buta pada sesorang. Saya merasa saya harus memasung ideliasme golput saya dan mencoba mengambil peran agar bisa berbuat lebih banyaka pada bangsa ini. Keputusan untuk terlibat dalam politik, bukan sekadar untuk menyalurkan libido politik atau untuk menjadi anggota Dewan yang bisa kaya raya. Tapi saya merasa mungkin saya bisa berperan lebih banyak ketika sebagai wakil rakyat melalui pemikiran dan karya nyata. Sebab selama ini ide-ide saya kadang hanya tulisan yang suatu ketika hilang dan lenyap. Memilih partai politik pun bukan hal mudah, kalau partai lama yang sudah eksisting pintunya sudah rapat terkunci untuk pendatang baru, apalagi saya yang bukan orang terkenal apalagi kaya. 

Bahasanya Populartitas dan Isi tasnya tidak mendukung. Solusinya ya partai baru yang membuka pintu lebar-lebar. Partai baru ada 6 dan jika melihat arahnya 3 partai berafiliasi pada pemerintah dan 3 partai anti pemerintah. Saya sudah mencoba sesuai dengan pasision  saya ke beberapa partai. Untuk partai islam seperti PBB kursinya penuh, dan saya mendapat dapil yang bukan daerah temp;at tinggal saya.

Akhirnya setelah melakukan perenungan, muhasabah saya memutuskan gabung di Perindo, sebuah partai nasionalis. Saya melihat di DPD kab Bogor 95% kader dan pengurusnya adalah muslim, dan doa-doa secara islam digunakan pada setiap acara. 

Ini membuat saya percaya nilai religi masih cukup kental khususnya di DPD, apalagi Bogor yang mayoritas Islam. Bagi sebagian temamn-teman yang yang memasang hastag gantipresiden mungkin tidak sepaham dengan pemikiran saya. tapi kalau saya harus megikuti mereka saya kehabisan waktu untuk menentukan partai politik dan kemungkinan malah tidak ajdi nyaleg. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun