Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tumbal Kepala Kerbau

30 Januari 2023   16:22 Diperbarui: 30 Januari 2023   16:58 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari rumaysho.com

Tak bisa dipungkiri di sebagian masyarakat kita masih berkembang keyakinan bahwa untuk menolak bala adalah dengan mempersembahkan sebuah tumbal, biasanya yang dipersembahkan untuk tumbal adalah kepala seekor kerbau entah dia dikuburkan dengan memakai kain kafan ataupun dilarung disungai besar atau di lautan.

Semua keyakinan ini adalah untuk menolak bala agar kampung halaman tidak selalu dilanda musibah dan senantiasa ada dalam ketenteraman,keamanan dan kenyamanan.

Adat menanam kepala kerbau ini ternyata sudah ada sejak prakerajaan Mataram Islam kemudian ketika Mataram menjadi kota atau kerajaan Islam budaya tersebut masih tetap ada, tapi yang diganti adalah kata-katanya saja berpadu dengan bahasa Arab.

Upacara penanaman kepala kerbau itu identik dengan klenikdan mistik artinya upacara tersebut hampir-hampir seperti menukar sesuatu untuk mendapatkan sesuatu kepada zat yang memang gaib, seolah-olah menanam kepala kerbau itu adalah sebagai tumbal untuk mendapatkan kelestarian baik kelestarian alam, kelestarian kehidupan dan kelestarian yang menyangkut semua kebaikan bagi manusia.

Adat tersebut berkembang dan tidak pernah hilang bahkan setelah masuknya Islam, artinya ada semacam sinkretisme antara adat denganajaran Islam sinkretisme atau penggabungan dua ajaran menjadi satu keyakinan.

Bisa jadi berawal dari metode para ulama waktu itu untuk meraih hati orang-orang awam sehingga yang diubah bukan adat upacaranya tapi mantra-mantranya diganti dengan doa-doa bahkan sebagian masyarakat Jawa sebelah barat masih dikenal dengan upacara hajat uwar atau hajat ruwatan bumiyakni upacara menyajikan makanan-makanan di tengah kampung kemudian tokoh masyarakat berkumpul di situ membaca doa-doa memohon kebaikan setelah itu semuawarga makan bersama.

Walaupun hajat uwar atau ruwatan masih ada tetapi kebiasaan ini sudah mulai pudar, sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besarmasyarakat. Namun hal ini bisa saja berlaku lagi saat warga masyarakat tertimpa bencana yang menyebabkan seluruh perkampungan mereka hancur berantakan maka para tokoh yang sudah tua yang masih mempunyai ingatan dalam menghadapi bencanaseperti ini, mereka selalu mengusulkan untuk mengadakan hajat bumi atau ruwatanagar mereka semua tertolak dari bala.

Bagi sebagian kaum muslimin bahwa perilaku-perilaku semacam mengubur kepala kerbau kemudian ruwatan dan hajat uwar merupakan perilaku-perilaku yang menyimpang atau dalam istilah agama Islam dikatakansebagai perilaku syirik.

Namun ada lagi sebagian orang yang berkata bahwa itu adalah kearifan lokal. Jadi budaya lokal yang dilestarikan dari nenek moyang mereka secara turun temurun.

Keyakinan dalam beragama tidak harus menjadikan persaudaraan bercerai-berai atau bahkan menjadikan saling bermusuhan, semuanya memiliki argumen masing-masing dan argumen tersebut menurut masing-masing merasa kuat.

Jika keyakinan beragama sudah berubah menjadi fanatisme makakeyakinan beragama itu sudah menjadi tidak sehat dan sudah jauh dari akartujuan seseorang beragama yaitu untuk kemaslahatan umat.

Cara menyikapi seseorang terhadap kejadian-kejadian yangmenimpa mereka itu berbeda sesuai dengan pemahaman mereka terhadap keyakinan mereka.

Saat banyaknya bencana seperti angin puting beliung, banjir bandang, tanah longsor, kecelakaan yang bertubi-tubi. Bagi sebagian orang menyikapi kejadian itu bagai sebuah kutukan alam yang jalan keluarnya adalah harus mempersembahkan sesuatu agar alam tidak murka.

Salah satunya dengan menanam kepala kerbau, hajat uwaratau ruwatan tanda mereka tetap setia, tetap bersyukur kemudian meminta danberdoa agar alam tetap aman dan tetap damai.

Berbeda lagi kemampuan seseorang dalam memahamikejadian-kejadian yang tadi, dalam perspektif Islam kejadian bencana atau musibah yang beruntun itu merupakan suatu ujian yang harus disikapi dengan berserah diri pasrah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kemudian berdoa sebagaimana mestinya agar kita tetap terjaga dari semua mara bahaya dan bencana,tetap berusaha kemudian bersikap tawakal kepada Allah.

Dalam Islam mencaci keyakinan orang lain sangatlah tercela, bisajadi ketika kita mencela orang lain, dia balik mencaci keyakinan kita, mencaci ke Tuhan yang disembah oleh kita dengan demikian itu sama saja kita mencaci Tuhan kita sendiri.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 

"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembahselain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batastanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baikpekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akanmemberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 108)

Kalau begitu apa yang bisa dilakukan oleh masing-masing di antara keduanya. dialog adalah jalan yang paling baik, utamakan komunikasi saling memberi pengertian dan pemahaman dengan sebaik-baiknya. Jangan menyinggunghal-hal yang sensitif, tetap mengedepankan netralitas terhadap pendapatmasing-masing karena tujuan berdialog atau berdiskusi bukan untuk mematikansatu pendapat lantas memunculkan pendapat lain tapi benar-benar mencari solusidari setiap problem yang ada.

Baca juga: Harga Diri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun