Mohon tunggu...
Abah Raka
Abah Raka Mohon Tunggu... Buruh - catatan-catatan receh tentang filsafat dan politik

kanal personal: https://abahraka.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Curug Muncar; Negeri Dua Turbin

14 November 2009   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam hitungan zaman, dunia kita dikatakan memasuki era millennium ketiga dan memasuki zaman post industri. Namun tentu saja, jauh dari kenyataan jangankan memasuki era post Industri, bahkan untuk menikmati jalan yang nyaman saja masih banyak daerah-daerah pelosok Indonesia yang belum tersentuh aspal sama sekali. Seandainya dunia maya telah masuk ke tengah-tengah daerah yang belum terkena aspal tersebut dan ditanya daerah mana saja, barang kali akan sangat banyak yang ‘mengacungkan tangan’ dan protes kepada pemerintah, mengapa pembangunan itu selalu di kota-kota besar.

Eiits tapi tidak begitu juga sih, walaupun pemerintah belum menurunkan aspalnya ke daerah yang jauh berpelosok, atau seorang teman sering berkelakar dan menganalogikan daerah pegunungan yang curam dengan sebutan “negeri dimana langit bisa disentuh”, atau dalam bahasa sundanya teman saya mengatakan,“wah langit oge tinggal ngajul atuh didieumah”, bukan berarti pemerintah tidak memperhatikan daerah yang seolah jauh dari peradaban tersebut. Salah satunya adalah daerah Curug Muncar. Saya berkesempatan mengunjungi Desa Curug Muncar sekitar akhir tahun 2008 dalam rangka survey Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Curug Muncar adalah sebuah tempat atau lebih tepatnya sebuah Desa dengan dua Rukun Warga yang berada di wilayah pemerintahan Kecamatan Petungkriono Kabupaten Pekalongan. Perjalanan dapat ditempuh dari Kota pekalongan sekitar 2 s.d. 2,5 Jam perjalanan menggunakan sepeda Motor, entahlah jika menggunakan mobil. Belum ada akses angkutan umum ke desa curug muncar, begitupun dengan ojeg dari pekalongan.

Sampai saat ini Curug Muncar sama sekali belum teraliri listrik dari PLN, barangkali karena lokasinya yang sulit dijangkau, saat itu saja saya harus menggunakan ojeg ke daerah Curug Muncar dengan perjalanan yang cukup melelahkan karena jauhnya. Kemudian saat kembali ke Penginapan di Pekalongan harus jalan kaki karena hujan dan jalanan licin sehingga motor pun tidak bisa digunakan, bahkan pengojek pun kadang-kadang menuntun motornya.

Walaupun Curug Muncar belum teraliri listrik PLN namun bukan berarti masyarakat Curug Muncar tidak bisa menikmati tayangan televise, bahkan beberapa penduduk ada yang memiliki alat pendingin (kulkas). Ini dikarenakan masyarakat Curug Muncar tidak betah menunggu kebaikan dari pemasangan kabel PLN, sehingga memacu masyarakat untuk kreatif menciptakan kincir air yang menghasilkan listrik bagi masyarakat sendiri. Kincir ini merupakan hasil swadaya masyarakat setempat.

Sesuai dengan arus informasi yang masuk kepada masyarakat Curug Muncar, beberapa tahun ke belakang masyarakat Curug Muncar mengajukan bantuan untuk membangun turbin listrik karena potensi air yang cukup besar, dan dengan proses yang cukup lama akhirnya pemerintah melalui Dinas Pertambangan Energi Jawa Tengah mengabulkan permohonan masyarakat. Dan dibangunlah rumah turbin di curug muncar. Dengan turbin pertama ini rumah turbin Curug Muncar dapat menghidupi Dua Desa yaitu curug muncar sendiri dan Desa sebelahnya.

Karena listrik sebesar sekitar 50 kW yang dihasilkan oleh rumah Trubin tidak bisa secara merata menerangi dua desa tersebut dan seringkali terjadi percekcokan antara kedua masyarakat tersebut karena perebutan aliran, maka masyarakat Curug muncar mengajukan lagi bantuan ke pemerintah dengan system kredit lunak, dan dikabulkan sehingga di desa Curug Muncar berdiri dua rumah turbin yang masing masing rumah turbin pertama mengaliri desa sebelah dan rumah turbin kedua khusus untuk desa curug muncar. Dengan pasokan listerik yang cukup kini masyarakat tidak hanya bisa menikmati terangnya di malam hari namun juga bisa menikmati layer televise dan juga pendingin, karena sebelumnya karena pasokan listerik kurang, masyarakat hanya dapat menikmati lampu saja.

Hal yang cukup unik karena aliran listerik dari turbin memiliki jaringan sendiri dan tidak di on-kandengan PLN, ketika listerik PLN mati maka masyarakat Muncar tetap dapat menikmati aliran listerik, karena tidak bersumber dari aliran listerik PLN.

Pengalaman terindah mengunjungi negeri dua turbin ini adalah ketika harus berjalan sejauh 3 kilo meter di malam hari melewati hutan-hutan dengan jalan yang masih terjal dan Lumpur. Saat itu karena hujan, ojeg yang kami sewa tidak bisa ditumpangi karena jalanan begitu licin, di tambah jalannya yang cukup curam dan kadang berlumpur, jadi kami terpaksa jalan kaki, tetapi untung para pengojek menyediakan jas hujan untuk penumpangnya sehingga kami tidak terlalu basah sesampainya di penginapan.

Hal yang tak dapat dilupakan adalah keramahan penduduk, terutama kepala desanya yang masih muda beserta rekan-rekan pengelola Turbin—o ya listrik Turbin ini lebih dikenal dengan naman PLTMH, atau Pembangkit Listerik Tenaga Mikro Hidro. Pengelola PLTMH sangat antusias menerima kedatangan kami (saya dan 1 orang teman). Bahkan rela menemani kami dari jam satu siang sampai menjelang magrib untuk survey PLTMH ke lokasi yang tidak terlalu jauh dari perkampungan penduduk. Salah satu hal yang unik juga, ternyata dua turbin hasil kreatifitas anak Indonesia ini dijadikan bahan penelitian oleh seorang mahasiswi asal Belanda dan saat itu mahasiswi tersebut rela menginap selama 3 hari di rumah kepala desa.

Pada sisi lain keramahan alam yang saya dapatkan sejak masuk wilayah ekowisata Petungkriyono, saya sampai terkagum-kagum dengan keadaan alamnya yang masih asli, seolah tidak ada pohon bekas tebangan, bahkan pohon-pohon dipinggir jalan yang tinggi menjulang sampai berjanggut dan menutupi jalan. Walaupun ketika masuk pedesaan Curug Muncar aspalnya berubah menjadi batu kali dan kadang digantikan dengan tanah, namun keadaan alam ini mampu menjadi aromatherapy sehingga perjalanan tersebut seolah tidak membuat kami cape, bahkan sepanjang perjalanan kami bisa tersenyum dan bercanda. Dengan menjaga alam seperti ini tetap asli,barangkali cukup bisa menangkal global warming.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun