Ijtima Ulama akan kembali digelar untuk membahas kecurangan Pemilihan Umum 2019. Meski menggunakan atribut ulama, kegiatan tersebut lebih banyak motif politiknya.
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF), Yusuf Martak, mengatakan ijtima ulama ini merupakan tindak lanjut dari ijtima pertama dan kedua.
Sebagaimana diketahui, kedua ijtima sebelumnya itu terkait dengan pencalonan Prabowo Subianto. Kemudian saat Prabowo menunjukan posisinya yang hampir kalah saat ini, para ulama yang sebagian besar eksponen 212 itu pun berencana menggelar kembali Ijtima Ulama kembali.
Inilah yang menguatkan kesan politis tersebut.
Bila memang Ijtima Ulama itu murni untuk kepentingan agama dan umat Islam seharusnya itu berdasarkan pedoman, aturan atau hadisnya. Jadi ada dasar hukumnya yang benar.
Jangan sampai itu berdasarkan kepentingan politis. Pendapat seperti itu sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI, Jusuf Kalla.
Selain soal motif, jalannya ijtima ulama itu juga akan bergantung pada kelompok-kelompok yang hadir. Kalau yang hadir adalah kelompok-kelompok tertentu, seperti ijtima ulama sebelumnya, maka sudah dapat dipastikan akan "berat sebelah" mendukung Prabowo dkk.
Jika yang hadir Ulama dari NU, Muhammadiyah dan kelompok Islam lainnya yang lebih beragam, maka isi Ijtima itu akan berbeda. Kemungkinan besar justru akan sesuai dengan kepentingn agama, bukan karena alasan politis.
Komposisi ulama yang hadir itu akan menunjukan posisi ijtima ulama yang politisnya atau tidak.
Yang pasti pelaksanaan Ijtima Ulama III bukan solusi untuk membuktikan isu kecurangan Pemilu yang dituduhkan kubu 02. Karena sudah ada mekanisme hukum yang jelas dalam mengadili permasalahan Pemilu.
Penyelenggaraan Ijtima Ulama III yang membahas kecurangan Pemilu sama saja merendahkan dan mempolitisasi agama. Hal ini semakin menegaskan bahwa kekalahan Prabowo-Sandiaga itu mendekati kebenaran.