Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meliatkan Diri Menjadi Sang Pengasih (9)

13 Juni 2022   14:48 Diperbarui: 13 Juni 2022   14:54 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[foto pribadi -- The Penguin Thesaurus of Quotations, Rhoda Thomas Tripp]

Karena keduanya merasa kebutuhan mereka untuk menggantungkan diri satu sama lain bisa terpenuhi, kondisi di atas tidak mereka lihat sebagai sesuatu yang salah atau sebagai masalah yang perlu ditangani.

Pernah ada bankir yang sebetulnya luar biasa cerdas. Isterinya tiba-tiba tidak mau menyetir mobil lagi pada usia 46 tahun karena "fobia". Saya katakan kepada dia bahwa sang isteri sepertinya bermasalah dan butuh bantuan psikiater.

Jawab sang bankir, "Oh, bukan, kata dokter dia menopause, jadi kita tidak bisa apa-apa." Isteri ini tidak khawatir karena tahu bahwa suaminya tidak akan berselingkuh dan meninggalkan dia sebab sepulang kantor sang suami sibuk mengantar isterinya belanja dan mengajak anak-anaknya jalan-jalan. Suami juga tidak merasa cemas karena tahu isterinya tidak akan berselingkuh dan meninggalkan dia sebab tanpa dia sang isteri tidak bisa ke mana-mana untuk bertemu orang.

Sikap semacam itu akan membuat perkawinan orang yang pasif & bergantung tetap bertahan dan aman namun terbilang tidak sehat atau tidak dilandasi cinta sejati karena untuk mendapatkan rasa aman ini kebebasan pasangan dikorbankan, dan hubungan ini membuat masing-masing sulit atau tidak bisa berkembang. Kami tidak bosan-bosan menjelaskan kepada pasangan semacam ini bahwa "perkawinan yang baik hanya dapat terwujud jika suami dan isteri kuat dan mandiri."

Ketergantungan pasif muncul karena kurangnya cinta. Perasaan kosong di dalam diri orang-orang yang pasif & bergantung timbul karena mereka tidak mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua ketika masih anak-anak. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada bab pertama, anak-anak yang hampir selalu mendapat perhatian dan kasih sayang selama masa kanak-kanak akan menjadi dewasa dan merasa bahwa mereka patut dicintai dan berharga, dan karena itu akan dicintai dan disayangi selama mereka tetap bersikap apa adanya.

Anak-anak yang tumbuh tanpa atau kekurangan cinta dan kasih sayang akan menjadi dewasa namun tanpa rasa aman. Mereka akan menyimpan rasa tidak aman; ada perasaan "tidak cukup" dan ada perasaan bahwa dunia ini tidak bisa diduga dan tidak bisa memberi mereka apa-apa. Dalam hati mereka juga muncul perasaan bahwa mereka tidak patut dicintai dan tidak berharga.

Tak heran jika mereka kemudian merasa perlu mencari-cari cinta, kasih dan perhatian di mana pun bisa mereka temukan itu, dan mereka akan berusaha mempertahankan cinta yang mereka temukan tersebut mati-matian sampai akhirnya mereka malah menjadi orang yang tidak pengasih, manipulatif serta licik dan suka memperdaya. Sikap mereka akhirnya justru merusak hubungan yang ingin mereka pertahankan.

Dalam bab terdahulu pun sudah dibahas bahwa cinta dan disiplin harus sejalan. Orang tua yang tidak pengasih dan penyayang adalah orang yang tidak disiplin. Karena tidak mampu membuat anak-anak mereka merasa dicintai, mereka juga tidak mampu membuat anak-anak mereka mampu mendisiplinkan diri. Jadi orang-orang yang pasif & bergantung yang banyak sekali menggantungkan diri pada orang lain adalah orang yang mengalami gangguan kepribadian.

Orang yang pasif & bergantung tidak punya disiplin. Mereka tidak ingin atau tidak mampu menahan diri dan menekan perasaan mereka yang haus perhatian. Karena mati-matian menjalin dan mempertahankan cinta, mereka tidak lagi bersikap jujur. Mereka tetap mempertahankan hubungan yang sudah basi dan seharusnya sudah berlalu. Yang pasti, mereka kurang punya tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Mereka pasif dan melihat orang lain, kebanyakan anak sendiri, sebagai sumber kebahagiaan dan kepuasan. Itulah sebabnya bila mereka tidak bahagia atau puas, mereka merasa yang salah adalah orang lain. Akibatnya mereka selalu marah karena mereka selalu merasa dikecewakan orang lain padahal orang lain sebetulnya tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhan mereka atau "membuat" mereka bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun