Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Love

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (2)

25 Oktober 2021   22:47 Diperbarui: 25 Oktober 2021   23:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Jatuh "Cinta"

Terkait cinta, yang paling banyak diyakini dan disalahpahami orang adalah anggapan bahwa "jatuh cinta" itu sama dengan cinta, atau "jatuh cinta" itu sekurang-kurangnya merupakan salah satu bentuk perwujudan cinta. Anggapan yang salah tersebut sudah mengakar sebab jatuh cinta dirasakan oleh yang jatuh cinta sebagai pengalaman cinta. Bila orang jatuh cinta, yang mereka rasakan adalah "Aku cinta dia". Tapi ada dua masalah menyangkut fakta ini.

Yang pertama, pengalaman jatuh cinta adalah pengalaman erotis dan bertalian dengan seks. Kita tidak jatuh cinta kepada anak-anak kita sekalipun cinta kita kepada mereka sangat besar. Kita tidak jatuh cinta kepada sahabat yang berjenis kelamin sama --kecuali kita memang homoseksual-- meski kita sangat menyayangi mereka. Kita jatuh cinta bila penyebabnya, entah kita sadari atau tidak, adalah seks.

Masalah kedua adalah pengalaman jatuh cinta selalu bersifat sementara. Kepada siapa pun kita jatuh cinta, cepat atau lambat kita akan putus cinta setelah hubungan berjalan cukup lama. Namun tidak selalu kita berhenti mencintai orang yang kita jatuh cintai.

Artinya, rasa cinta yang sangat menyenangkan ketika kita jatuh cinta tidak akan berlangsung selamanya. Bulan madu selalu berakhir. Indahnya percintaan akan berangsur hilang.

Untuk bisa memahami kejadian jatuh cinta dan bahwa jatuh cinta ada akhirnya, kita perlu memahami apa yang psikiater namai batasan ego (ego boundaries). Meskipun tidak dapat kita buktikan langsung, bisa dipastikan bahwa bayi yang baru berumur beberapa bulan tidak mampu membedakan dirinya dengan alam semesta. Waktu ia menggerakkan kaki dan tangan, dunia bergerak. Ketika ia lapar, dunia lapar. Saat ia melihat ibunya bergerak, dia seakan-akan juga bergerak. Ketika ibunya bernyanyi, sang bayi tidak tahu bahwa yang bersuara bukan dia.

Bayi tidak tahu beda dirinya dengan pembaringan, dengan kamar dan dengan orang tuanya. Baginya, benda yang bernyawa maupun yang tidak, sama saja. Aku dan kamu belum ada bedanya. Dirinya dengan dunia menjadi satu. Tidak ada batasan, tidak ada pemisah. Tidak ada jati diri.

Tetapi dari pengalaman, sang anak akan mulai melihat dirinya sendiri sebagai badan yang terpisah dari yang lain. Ketika ia lapar, ibu tidak selalu menyuapi. Saat ia ingin bermain, ibu belum tentu ingin bermain. Sang anak kemudian belajar bahwa keinginannya bukan kemauan sang ibu. Ia belajar bahwa kehendaknya tidak sama dengan yang diminta ibu. 

Dia mulai paham tentang "aku". Sang bayi mulai mengerti identitasnya berkat interaksi yang terjalin dengan sang ibu. Sesuai hasil pengamatan, bila interaksi antara bayi dengan ibunya memang betul terganggu --misalnya karena ibunya tidak ada, pengganti ibu tidak sebaik ibu sendiri atau karena ibunya menderita gangguan jiwa sehingga sama sekali tidak peduli atau tidak mau mengurus anak-- sang bayi akan tumbuh menjadi anak atau orang dewasa yang tidak sepenuhnya sadar akan jati dirinya.

Saat bayi tahu bahwa kehendaknya adalah kehendak sendiri dan bukan kehendak yang lain, ia mulai melihat perbedaan antara dirinya dengan dunia. Bila ia memutuskan untuk melakukan gerakan, ia melihat tangannya bergerak, tetapi tempat tidur atau langit-langit kamar tetap diam. Jadi sang anak belajar bahwa tangan dan kehendaknya berkaitan, sehingga ia tahu bahwa tangannya adalah tangannya sendiri, bukan tangan sesuatu atau seseorang.

Kita belajar kita ini siapa dan kita itu bukan siapa; kita belajar diri kita ini apa dan diri kita itu bukan apa, pada tahun pertama kehidupan. Pada akhir tahun pertama, kita tahu bahwa ini lengan kita, kaki kita, kepala kita, lidah kita, mata kita dan juga pandangan kita, suara kita, pikiran kita, sakit perut yang kita alami, dan perasaan kita. Kita tahu seberapa besar tubuh kita dan kita tahu keterbatasan fisik kita. Hal-hal yang membatasi itulah yang menjadi batasan kita. Batas kemampuan yang ada di benak kita disebut batasan ego.

Batasan ego berkembang, dan prosesnya berlangsung sepanjang masa kanak-kanak hingga yang bersangkutan remaja dan bahkan sampai masuk usia dewasa, meski batasan yang terbentuk setelah itu lebih bersifat psikis daripada fisik. Sebagai contoh, usia dua hingga tiga tahun biasanya merupakan masa anak-anak sadar bahwa daya mereka terbatas.

Dulu anak akhirnya tahu bahwa kehendaknya bukan keinginan ibunya, namun demikian ia tetap berharap bahwa kehendaknya bisa saja merupakan keinginan ibunya, dan tetap merasa bahwa kehendaknya seharusnya merupakan keinginan sang ibu. Harapan dan perasaan inilah yang biasanya membuat anak usia dua tahun mencoba bertingkah seperti diktator lalim, menyuruh orang tua, saudara kandung dan binatang peliharaan seakan-akan mereka semua anak buah, dan akan bereaksi seperti raja yang murka jika titahnya tidak dituruti. Orang tua menyebut usia ini sebagai "umur yang merepotkan".

Saat berusia tiga tahun, anak biasanya lebih penurut dan sikapnya melunak karena sudah bisa menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata tidak berdaya. Tapi perasaan anak bahwa dirinya mahakuasa akan selalu jadi impian manis yang tidak akan pernah sirna sekalipun dia sudah dengan susah-payah berusaha mengingkari diri selama bertahun-tahun bahwa dirinya memang tidak mampu apa-apa. Sekalipun anak usia tiga tahun sudah bisa menerima kenyataan bahwa dayanya terbatas, bertahun-tahun setelah itu ia sesekali masih berkhayal bahwa ia ada di dunia di mana orang-orang (terutama dirinya) punya kekuasaan luar-biasa. Itulah dunia Superman dan Kapten Marvel.

Para tokoh pahlawan perlahan-lahan akan mereka lupakan, dan begitu masuk usia remaja, anak-anak muda sadar bahwa mereka itu manusia dengan tubuh dari daging dengan kekuasaan yang terbatas. Mereka semua makhluk hidup yang relatif lemah dan tidak berdaya; mereka hanya bisa hidup jika mau bekerja sama dengan kelompok makhluk hidup lain yang disebut masyarakat. Mereka tidak jauh beda dengan orang lain dalam kelompok tersebut, tapi mereka terasing dari yang lain gara-gara identitas diri, batasan dan keterbatasan mereka.

Kita hidup sendiri tanpa siapa-siapa di balik batasan tersebut. Ada orang --khususnya yang dijuluki skizoid oleh psikiater-- ketika masih anak-anak mengalami hal tidak menyenangkan penyebab trauma. Mereka ini menganggap dunia luar sangat berbahaya, kejam, tidak pasti dan tidak ramah. Orang-orang seperti ini merasa terlindung dan nyaman di balik batasan mereka, dan sekalipun sendirian mereka merasa aman. Namun, kebanyakan orang merasa bahwa kesepian itu menyakitkan, dan mereka ingin sekali keluar dari balik dinding identitas diri untuk lebih menyatu dengan dunia di luar kita sendiri.

[bersambung ke bagian 3]

Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun