Selain investasi, dunia pariwisata sepertinya juga menjadi sektor yang ingin didorong pemerintah untuk lebih maksimal di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Hal tersebut tercermin dalam fokus jangka pendek 2021, Kementerian Parekraf terkait langsung dan bertanggung jawab pada dua area Prioritas Nasional dalam mempercepat Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Sosial yaitu PN1 untuk memperkuat ketahanan ekonomi berkualitas dan berkeadilan serta PN3, meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.
Dalam pelaksanaannya, berbagai langkah mulai dilakukan seperti reaktivasi pasar wisatawan (domestik & mancanegara), percepatan 5 destinasi super prioritas (Toba, Borobudur, Lombok, Labuan Bajo, Likupang) dan 5 DSP berikutnya (BTS, Wakatobi, Bangka Belitung, Raja Ampat, Morotai), pengembangan Benoa, penambahan flight seat hingga re-skilling, up-skilling, dan standarisasi kualitas destinasi wisata.
Selain itu, upaya pemerintah mendongkrak industri pariwisata juga terlihat dari upaya Presiden Jokowi mendorong realisasi penggabungan BUMN penerbangan dan pariwisata.
Namun sepuluh hari berselang, pasca Jokowi berpidato di depan Rapat Paripurna DPR RI, optimisme Jokowi tentang pertumbuhan ekonomi terkesan mengendor.
Presiden Jokowi terkesan "angkat tangan" dan memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mencari cara agar pertumbuhan investasi Indonesia tidak terus anjlok pada kuartal III 2020. Diketahui, pertumbuhan investasi Indonesia pada kuartal II 2020 tergeret minus 8 persen.
Mampukah menteri Luhut menyelesaikan misi yang diberikan Jokowi di tengah iklim global yang juga ikut rontok akibat pandemi Covid-19? Tentu ini pekerjaan berat.
Kondisi global hari ini, berdasarkan laporan dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa proyeksi ekonomi dunia akan minus sampai minus 7,6 persen. Begitu juga halnya dengan sektor investasi. Pandemi memunculkan potensi credit crunch (kredit macet) dan turunnya credit rating.
Jadi pemulihan ekonomi global melalui pembiayaan dari jalur pariwisata dan investasi tampaknya sulit diwujudkan dalam waktu yang cepat karena kesulitan likuiditas global.
Apalagi kenaikan secara eksponensial angka Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat, di sisi lain kebijakan pegendalian Covid-19 juga terkesan mencla-mencle. Padahal dalam sektor pariwisata maupun investasi, faktor resiko sangat diperhitungkan.
Coba bayangkan, siapa yang akan datang maupun berinvestasi di daerah yang beresiko besar?