Hari ini nama Siti Fauziah, pemeran Bu Tejo dalam film Tilik, menjadi trending topic di Twitter. Salah satu laman berita memaparkan bahwa pemeran Bu Tejo ini ternyata mengalami "depresi" akibat nyiyiran pedas netizen. Hal itu terjadi setelah film Tilik yang diproduksi tahun 2018 mendapat antusias penonton ketika diunggah di kanal Youtube beberapa waktu lalu.
Artis yang sempat  terlibat di sejumlah film seperti Mencari Hilal, Talak 3, Sultan Agung, Bumi Manusia, dan Mekkah I'm Comming ini mengaku sempat menangis berhari-hari karena tak tahan membaca nyinyiran pedas para netizen. Netizen menyebut film yang dibintanginya tidak worth it buat ditonton dan tidak mendidik. Dirinya pun mengaku, meskipun lama melintang di dunia teater, akting, maupun perfilman, namun dirinya tetap manusia biasa.
Selain menyinyiri film Tilik ataupun Siti Fauziah, ternyata saban hari netizen Indonesia juga kerap menyinyiri berbagai persoalan terkait pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini. Bahkan tak sekedar menyinyiri, tak sedikit bahasa caci maki juga terlontar di platform yang sebenarnya diperuntukkan untuk media perekat sosial tersebut.
Tak jarang juga, dari yang awalnya sekedar nyinyiran belaka justru berujung pada pertengkaran fisik. Bahkan saat ini muncul tren jika tak puas dengan pertengkarandi  media sosial, maka duel fisik digelar secara terbuka. Anehnya, orang-orang yang tidak saling mengenal dalam dunia maya ini justru kubu-kubuan mendukung orang-orang yang saling bertentangan ini.
Tak dapat dipungkiri, kehadiran media sosial telah membuka wajah baru demokrasi umat manusia. Tidak hanya menjadi saluran kebebasan berekspresi, media sosial dewasa ini juga menjadi saluran informasi alternatif warga. Bahkan informasi yang ada di media sosial tak jarang jauh lebih cepat dibandingkan media-media konvensional.
Tapi dampak negatif media sosial juga tak bisa dinafikkan. Masyarakat kita yang dulunya relatif terbuka, akhir-akhir ini mendadak menjadi lebih sensitif. Lebih mudah untuk tersinggung sekalipun tak menyinggung pribadinya secara langsung.
Selain itu, munculnya fenomena nyinyir juga ikut mematikan budaya bermusyawarah untuk mendapatkan mufakat. Budaya nyinyir menuntut setiap orang merasa paling benar dan menjado hakim yang memutuskan orang lain benar ataupun salah.
Perang Melawan Covid-19
Dalam perang melawan Covid-19 tentu tak adil jika kita hanya membebankan segala persoalan kepada pemerintah. Covid-19 adalah perang bersama, bahkan perang semesta. Kita semua harus terlibat aktif untuk bersama-sama memperjuangkan umat manusia agar tak dipunahkan oleh musuh yang terlihat ini.
Pemerintah memang regulator yang mempunyai peranan penting dalam penanganan Covid-19. Tapi, setiap orang di muka bumi hari ini juga mempunyai perannya masing-masing untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Percuma kita memiliki strategi yang bagus dalam pertempuran, tapi dalam pelaksanaannya tak ada sinergi dan justru berantakan di lapangan.
Jika memang pemerintah hari ini masih jauh dari harapan rakyat, maka kritikan yang konstruktif adalah solusi terbaik untuk kita bisa tetap berjalan bersama memenangkan perjuangan melawan Covid-19 ini, daripada sebatas nyinyiran tak berujung. Bukankah pemerintah di negara lain juga banyak yang tergagap dengan serangan mendadak Covid-19?