Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lewat 'Arus Bawah', Berkenalan dengan Punakawan

3 Oktober 2016   20:11 Diperbarui: 3 Oktober 2016   20:31 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi/gambar : Doc Pribadi

Empat sosok pada gambar ilustrasi artikel ini tentu bukan sesuatu yang asing bagi orang Indonesia, khususnya orang - orang tua. Sedangkan bagi kaum muda, selagi kita seneng jajan es dawet, atau doyan pelesiran ke tempat-tempat wisata, pastinya kita pernah barang sesekali menjumpai sosok tersebut, baik berupa patung kecil, potret gambar, maupun wayang-wayang. Ya, mereka adalah Punakawan. Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong  (dari kiri ke kenan), tokoh yang berada dalam wilayah kesenian adi luhung wayang kulit, dan juga wayang golek, dalam artistik bentuk dan nama yang berbeda.

Lalu pernahkah kita, kaum muda, penasaran kepada sosok-sosok Punakawan tersebut? Mengenai siapa dan apa Punakawan itu? untuk apa dan bagaimana Punakawan? Jawabannya tentu ada di mana Punakawan eksis secara konsisten, yakni pementasan wayang. Masalahnya, apakah terpikirkan oleh kaum muda, untuk menyatroni acara yang terkesan purba, dan enggak zaman itu. Terlebih banyak anak muda ibu kota yang tidak memahami bahasa komunikasi pentas kesenian itu, walau sesungguhnya kaum muda bukan tidak mungkin memiliki sedikit hasrat ingin tahu.

Seperti yang saya alami, lewat buku ‘Arus Bawah’ karya Emha Ainun Najib, kita yang memiliki hasarat ingin tahu lebih tentang Punakawan, mendapatkan salah satu ruang alternatif untuk dapat lebih efektif dalam mengenal Punakawan. Tentang bagaimana proses terbentuknya Punakawan, tentang bagaimana karakter mereka satu sama lain, tentang kecenderungan sikap mereka, tentang orientasi dan makna dari adanya mereka di lakon pedalangan ( wayang ), maupun bagaimana pesannya untuk kehidupan sosial. 

Selain desain sampul buku yang cerah dan berkesan kekinian. Novel gaya essai ini juga menjanjikan racikan kisah-kisah kuno yang disinggung dengan banyak isu-isu sosial, politik, dan budaya di Indonesia dengan cerdas dan menarik.

Dikisahkan dalam salah satu bab, ketika Kiai Semar ( Hyang Ismoyo) menangkap dua raja jin, Mercu dan Mercukilan lantas diangkat menjadi anaknya, Gareng dan Petruk. Kemudian mereka dibawa Semar turun ke bumi untuk sebuah misi dari Sang Hyang Wenang. Di tengah jalan Semar mengambil bayanganya, yang kemudain menjadi anak terakhirnya yaitu Bagong. 

Kemudian bertahun-tahun menjalani peran Punakawan, sebagai pengontrol sosial umat manusia lewat rakyat kecil. Akan tetapi, di suatu masa, tiba-tiba terjadi semacam krisis identitas dalam intern Punakawan. Lantas seringkali terjadi perdebatan-perdebatan yang dilontarkan anak-anak Semar kepada Semar.

Melalui dialog-dialog dan monolog permenungan 4 sudut pandang tokoh, yakni Gareng sang pemikir kampung yang profokatif, Petruk si kantong bolong yang cenderung santai dan masa bodo, Bagong sosok Rock n Roll, pelanggar etika yang suka semena-mena kepada bapaknya, juga  Kiai Semar sang sepuh desa serta ayah yang arif, demokratif dan apa adanya,  Cak Nun (sapaan pengarang) dengan cerdas menyajikan dongeng klasik pewayangan yang dituangkan dalam wadah modern dengan begitu rasional. Sehingga, mitos-mitos dalam kebudayaan Jawa, dan kesereman-kesereman khasanah mistiknya, menjadi lebih enteng untuk dicerna logika.

Misalnya, epos kuno seperti Bharatayudha yang direlevankan dengan realita perang politik di dunia modern. Karang Kedempel, latar cerita Arus Bawah, menjadi cerminan di mana era kemelut panas anatara rakyat dan pemimpinanya pada suatu orde, yang disebut dengan orde Kades. Diceritakan, pejabat-pejabat kelurahan yang keji, bagaimana  sikap otoriter petugas kamtip, bagaimana kisah pembunuhan Sri Kresna kepada Ekalaya dalam konfliknya dengan Arjuna. 

Bagaimana hubungan Ratu Kidul, politik feodalisme, dan hubungannya dengan alam dan manusia. Untuk itu, tatkala membaca buku ini,  kita perlu juga  bekal kacamata wawasan sejarah-sosial-politik di Indonesia, agar  mendapatkan ‘keasyikan’ yang lebih, juga demi mendapatkan makna pesan yang padat. 

Buku Arus Bawah terbitan Bentang Pustaka  tahun 2015 yang saya ulas ini merupakan terbitan ulang, yang mana Arus Bawah sudah terbit secara berkala sebagai cerita bersambung di harian Berita Buana tahun 1991, dan terbit menjadi buku pada 1994.  Lantas atmosfer politik tahun 90an, besar kemungkinan mempengaruhi gaya kritik sosial yang dituangkan pengarang,  menjadi sedemikian lembut, berwujud kunci-kunci realitas. Bukan utuh kenyataan, namun kuncinya. Sehingga kita dapat memasuki realita yang lebih utuh, tentunya di luar buku.  

Pada bab akhir yang berjudul “ Kiai Semar Terpana, Orang – Orang Minum Tuak”, dikisahkan. Suatu ketika, menjelang terjadinya goro-goro, Gareng, Petruk, Bagong, diminta Semar untuk menghadap bergiliran ke sebuah kamar khusus, guna diberi semacam introgasi. Hal yang diluar kebiasaan Semar ini membuat bingung anak- anaknya itu, khususnya Petruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun