Seorang teman tiba-tiba singgah di sebelah saya, di tempat saya duduk-duduk sambil minum kopi. Dia lalu berkata, Â " Gue ada novel nih, hadiah dari om gue. Mau baca gak lw?"Â
Saya berjumpa pertama kali dengan karya Pramoedya Ananta Toer dari adegan tersebut, sekitar tahun 2011-an. Ternyata novel yang dimaksud itu adalah roman Bumi Manusia. Saya coba terima tawarannya. Siapa tahu ceritanya oke, pikir saya.Â
Buku bernuansa hijau kuning dengan gambar dua wanita bersama dua pria sedang naik dokar itu pun saya baca. Walhasil, cara penulisan dan tema yang dituliskan oleh Pram di Bumi Manusia membuat saya terpukau.Â
Saya merasakan dorongan untuk cepat-cepat melahap ceritanya. Selepas menghabiskan Bumi Manusia yang ternyata itu adalah tetralogi atau cerita yang  bersambung hingga empat buku, saya melahap judul-judul selanjutnya hingga judul lainnya di luar tetralogi tersebut.Â
Pengalaman perdana saya membaca karya Pram itu tidak membuat saya mengenal istilah "Manikebu" atau pun kompleksitas "konflik politik" di sejarah sastra Indonesia yang saya ketahui jauh hari sesudahnya, dari "omong-omongan" rekan mahasiswa dan dosen.Â
Pengalaman bergaul dengan karya Pram itu membuat saya mengenal nama-nama yang hingga sekarang masih terkenang di benak saya yaitu Wiranggaleng, Minke, TAS atau Tirto Ardi Suryo, Tunggul Ametung, Â Darsam, Nyai Ontosoro, Arok, Dedes, Mpu Gandring, tokoh-tokoh epik yang diceritakan dengan begitu estetik oleh Pram.Â
Cara penulisan Pram berhasil membuka jendela pengetahuan saya, bahwa karya sastra dapat menyajikan peristiwa sejarah menjadi kemungkinan fakta yang indah sebagai cerita.
***
Perjumpaan perdana saya dengan karya Pram datang justru dari ketidaksengajaan bahkan dari orang yang sama sekali tidak suka membaca buku. Ya, dari teman saya itu.Â
Dia menghibahkan buku hadiah dari pamannya kepada saya, karena dia tidak suka membaca buku, apalagi novel.Â